Langit dan Bumi Kendeng Tidak Tuli

Ada ibu yang memilih Diam
Ada ayah yang memilih Pergi
ada kakak yang memilih Lari
Dan ada Pemangku keluargamu yang memilih Tuli

Dalam kubur senyum ada sukma yang bersemayam
Dalam ruang pengap ada kehadiran yang di Bungkam
Dan di dalam Gelap ada sinar yang di padamkan

Adeku, Oh adeku kendeng
Telah kakak jaga tidurmu di ambang tangis
Telah kakak cium keningmu sebelum jasadmu ada
Telah kakak rapikan meja makanmu sebelum engkau lapar
Dan telah kakak siapkan selimut tempat tidurmu sebelum engkau pinta

Di pekarangan rumahmu kulon progo ada pamanmu yang bersimbah darah karena ladangnya di curi
Di teras rumahmu Surokonto wetan
Bibimu menderita karena Buih kehidupanya di sita paksa
Di halaman rumahmu tubuh eyang bermandikan air mata
Karena,
rumahmu telah di ambil
Indahnya kebunmu di hancurkan
padimu di musnahkan
airmu minumu di lenyapkan
Dan hutan penyejuk harimu telah di tumbangkan

tidak ada yang bisa kakak berikan untumu langit kecilku
ketika engkau ada mungkin yang tersisa hanya lah padang ilalang pohon kerontang dan saudaramu yang tersedu menangis kelaparan

Raut pucat opa dan Bibimu di ruang tamu
Berharap engkau tak pernah tau
Agar tidak terbawa engkau dalam pagimu
Sedang ayah dan ibumu melawan dinding agar tidak terbawa nya engkau dalam Sendu

Bumi dan langit tak pernah tuli
dan Semesta tak pernah Buta
Meski matahari dan bulan masih berdiam diri

Maafkan kakak sayangku
tidak sepanjang malam kakak mendekapmu, Meski nanti ketika kau terlelap sebenarnya sudah kakak belai tidurmu di dalam sunyi yang telah di Rampas oleh waktu

Semarang,
Nukhan Dzu (29′ January)