Kumuh

Bogor, KPonline – Kumuh. Satu kata ini menggambarkan kondisi deretan kontrakan di ujung kampung itu. Tak ada kemewahan. Tak ada.

Aku sudah berusaha menepisnya. Pasti ada. Setidaknya sesuatu yang mungkin menurut para penghuni deretan kontrakan ini adalah mewah. Tetapi sia-sia. Aku tak menemukannya.

Kususuri gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh 1 motor atau 2 orang lebarnya. Kutengok kanan dan kiri gang yang kulalui sambil menggilas hamparan sendal jepit dan sepatu usang yang bertebaran hampir dari ujung ke ujung gang.

Helmku menabrak gantungan-gantungan baju yang menggantung sejak pintu kontrakan pertama kulewati. Kaos, kemeja, dan hampir bisa kupastikan banyak juga seragam kerja yang warna bajunya hampir sama dengan seragam kerjaku. Celana dalam dan kutang perempuan dijemur bergelantungan.

Kusen-kusen yang keropos dan serangga yang berseliweran kesana kemari membuatku bertanya-tanya, dengan kondisi kontrakan petak yang seperti ini, apa yang membuat mereka betah, kecuali harganya yang murah?

Aku ke sini bersama Rahmi. Aku belum lama mengenalnya hingga kemudian jadian. Kami pacaran.

Aku sudah sejak lama meminta untuk bermain ke rumahnya. Tetapi ia selalu menolak. Baru kali ini, setelah aku memaksa, dia mengijinkan. Dengan catatan, jangan menyesal setelah tahu kondisinya yang sebenarnya. “Aku anak orang tak punya,” katanya.

Aku mengangguk. Jika ukurannya adalah pendapatan, meskipun kini masih bekerja, toh tiap bulan aku masih saja berhutang untuk menutupi kebutuhan hidup. Nombok.

“Masuk, Bang.” Rahmi mengajakku masuk. Ternyata kami sudah sampai di rumahnya.

“Cuma ada teh sama kopi sachet aja Bang. Nggak apa-apa kan yaa?” Senyumnya tetap saja sumringah.

Kuamati yang ada di dalam. Ruang tamu merangkap tempat tidur, dapur sempit yang berhimpitan dengan kamar mandi dan WC. Sedikit teras diluar sana.

Mataku menyapu semua ruangan yang bisa kujangkau, tak terkecuali tirai kumal yang menjadi pemisah antara ruang tamu dan dapur.

Disela-sela tirai, kulihat Rahmi mengganti pakaiannya tanpa ragu. Dianggap tidak ada orang. Tetapi kemudian aku tahu, tak ada pilihan lain. Di tempat sesempit ini, tidak ada lagi ruang privat.

“Diminum bang kopinya.” Seraya meletakkan gelas berisi kopi hitam di atas karpet berbahan styrofoam.

“Ehh iya.” Hanya itu jawabanku. Kuangkat gelas tersebut dan menyeruput kopi hitam buatan Rahmi.

“Tadi kamu bilang, kamu tinggal bersama 2 adik dan ibu kamu. Mana? Kok nggak ada.” Pertanyaan demi pertanyaan mulai meluncur dari mulutku.

“Jam segini biasanya adik-adikku mengaji di musholla belakang. Ibuku sedang mencuci pakaian di kompleks perumahan depan. Itu loh perumahan orang-orang kaya.” Agak sarkastik memang, tapi itulah keadaan yang sebenarnya.

Ketimpangan yang ada antara perumahan mewah dengan deretan kontrakan kumuh.

“Biasanya, Ibuku pulang malam. Jadi kita bisa berduaan sampai….” Aku pura-pura tak mendengarnya ketika ia bercerita tentang ibunya. Pandanganku tertuju pada seragam pabrik yang sedang di jemur. Aku seperti mengenalnya.

“Itu seragam siapa, Mi? Itu, yang lagi dijemur itu loh,” tanyaku.

“Owh, itu seragam kerja aku punya Bang. Emang kenapa?”

“Lohh itu bukannya seragam kerja PT. XYZ yang di kawasan industri sana kan?”

Rahmi sedikit terkejut aku mengenali seragam itu. Sebelum akhirnya berucap? “Iya, Bang. Bener banget. Abang kok tau sih.”

“Kamu kerja di sana? Sudah berapa lama? Gimana kondisi pabrik itu setelah demo setahun yang lalu?” Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan.

Dadaku tiba-tiba sesak, seakan berhenti memompa oksigen ke seluruh tubuh. Mataku sebab dan mulai meneteskan airmata di ujung bola mataku. Karena kuteringat kejadian setahun yang lalu di PT. XYZ. Sangat ingat dan tak akan pernah terlupakan, saat PHK massal terjadi di perusahaan ini.

“Setahun yang lalu, aku pernah bersolidaritas ke perusahaanmu,” kataku.

Ia nampak bersedih. Kemudian berceritak, sejak setahun yang lalu dia sudah tidak lagi mendapatkan gaji. Sementara mencari pekerjaan baru, tak semudah yang dibayangkan.

Di sini, dia hanya tinggal bersama ibu dan adiknya. Ayahnya sudah lama pergi. Sejak saat itu, untuk menyambung hidup, ibunya bekerja sebagai buruh cuci.

Sebagai aktivis serikat buruh, aku merasa bersalah. Tak bisa membantu menyesaikan kasusnya. Terlalu fokus pada isu sektoral — pabrik — hingga lupa pada isu kerakyatan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, hingga transportasi.

Aku tahu, ada banyak buruh yang sedang dalam proses penyelesaian terkait kasusnya. Terkadang kita melupakannya. Kurasa, ada baiknya kita selalu mempererat silaturahmi, sehingga mereka tak merasa sendiri dalam berjuang.

Kuingat kembali isi orasi para pemimpin buruh. Jangankan ketika di PHK, saat masih bekerja pun para buruh itu tak memiliki daya beli akibat upah murah. Aku menyaksikannya kini. Di sini. Di kampung kumuh pinggiran kawasan industri.

Penulis: Rinto Dwi Wahana