Korban-Korban Pembangunan

Jakarta, KPonline – Kemacetan yang terus menghantui jalanan Ibukota Jakarta dan wilayah sekitarnya (Jabodetabek) sebenarnya bukanlah hal baru. Setidaknya sejak belasan tahun bahkan puluhan tahun yang lalu Jakarta sekitarnya sudah menunjukkan potensi kemacetan yang parah.

Masalahnya, dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir kemacetan yang melanda semakin parah dan semakin tidak terkendali. Banyak pihak mensinyalir “kemacetan dahsyat” ini dipicu banyaknya mega proyek infastruktur (jalan dan gedung) yang dibangun serentak dan dibiayai dari hutang luar negeri buah gagasan dari Presiden Jokowi.

Editorial KP melihat disinilah letak permasalahan utama mengapa saat ini Jakarta sekitarnya bisa mengalami kemacetan parah. Harus diakui awal mula kemacetan memang dipicu keterlambatan pembangunan sistem transportasi massal, mengingat pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta yang mencapai 12 persen pertahun, berbanding terbalik dengan pertumbuhan jalan yang hanya 0,01 persen per tahun.

Pun demikian, Editorial KP menilai dalam menangani persoalan ini pemerintah seharusnya tidak membabi buta mengejar ketertinggalan pembangunan jalan tanpa memikirkan dampak negatifnya. Alhasil saat ini kita melihat hampir disetiap sudut Ibu Kota ada pembangunan jalan yang menimbulkan kemacetan parah.

Kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan tingkat prokdutifitas kaum buruh di Ibu Kota dan sekitarnya. Karena bisa dipastikan kaum buruh akan menghabiskan sebagian besar waktu produktifnya berjibaku di jalanan menghadapi kemacetan. Kelelahan yang mendera kaum buruh otomatis akan menurunkan produktifitasnya.

Disisi lain, pengusaha dipastikan tidak akan mau merubah (mengurangi) jam kerja demi mensiasati masalah yang dialami oleh buruh, jika ada buruh yang terlambat jelas sanksi tegas sudah menanti. Berharap pengusaha memaklumi situasi ini jelas bisa disebut mimpi, karena bagi pengusaha setiap jam dari jam kerja buruh adalah sesuatu yang tidak mungkin dinegosiasikan karena menyangkut keuntungan perusahaan.

Alhasil, mau tidak mau kaum buruh disisi lain harus mengorbankan waktu-waktu lainnya dalam hidupnya, seperti waktu istirahat, waktu bersama keluarga dan waktu bersosialisasi dengan lingkungan demi memenuhi kewajiban atas jam kerjanya.

Sebagai contoh, editorial KP akan mengilustrasikan pemanfaatan waktu bagi kaum buruh di wilayah Jakarta sekitarnya. Sehari 24 jam, bekerja 8 jam sehari ditambah lembur rata-rata 3 jam sehari, berarti 24-8-3 = 13 jam sisa waktu. Selanjutnya waktu tempuh dalam sehari menuju tempat kerja sekitar 4 hingga 6 jam pulang pergi dalam sehari. Kita ambil rata-rata 5 jam. Berarti 13-5=8 jam.

Artinya buruh harus bisa memanfaatkan sisa waktu 8 jam dalam sehari tersebut untuk waktu beristirahat, waktu bersama keluarga dan waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Masuk akal  jika ada yang menuding kondisi kerja saat ini mirip dengan perbudakan. Jika selama ini perbudakan diidentikkan dengan tenaga kerja outsorcing dan kontrak, maka kemacetan membuat semua tenaga kerja baik, pekerja tetap, outsourcing dan kontrak mengalami situasi mirip dengan perbudakan.

Pertanyaan besarnya, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi situasi ini? Jawabannya adalah nihil. Pasalnya jangankan untuk mengatasi kondisi ini, editorial KP yakin sebenarnya pemerintah tidak tahu atau tidak mau tahu dengan kondisi ini.

Bagi pemerintah selama pengusaha masih bisa mengambil keuntungan besar dari investasinya maka tidak ada masalah yang harus dipikirkan, tak peduli jika pembangunan itu kembali harus mengorbankan buruh. Editorial KP teringat sebait lirik dalam lagu Iwan Fals medio 80 an yang berjudul Lancar “Asal jangan pembangunan dibuat kesempatan, Asal jangan pembangunan dijadikan korban”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *