Ini Perbedaan Sri Mulyani dan Rizal Ramli Dalam Menyikapi Utang Negara

Rizal Ramli

Jakarta, KPonline – Defisit anggaran negara makin besar. Tahun ini, diperkirakan mencapai 2,92 persen. Hanya selisih 0,08 persen dari batas defisit yang ada di undang-undang, sebesar 3 persen. Akibatnya, untuk menutupi defisit anggaran, yang dilakukan Pemerintah adalah dengan memperbanyak hutang negara. Akibatnya, utang negara melonjak. Tembus ke angka Rp 3.672 triliun per Mei 2017 , atau naik Rp 1.069 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir 2014 lalu.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, satu-satunya jalan untuk keluar dari persoalan defisit itu yakni dengan meningkatkan penerimaan negara khususnya dari perpajakan. Itulah sebabnya, pemerintah berupaya melakukan reformasi perpajakan.

Bacaan Lainnya

“Ini paling esensial agar negara bisa belanja kebutuhan mendesak dan penting tetapi enggak membahayakan fiskal kita, juga enggak meninggalkan beban untuk anak cucu kita,” kata Sri Mulyani.

Sebagai langkah konkret atas hal ini, Kementerian Keuangan sudah membentuk Tim Reformasi Perpajakan dan Tim Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai. Pembentukan tim reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, meningkatkan pengelolaan basis data perpajakan, dan meningkatkan integritas pegawai pajak dan kepabeanan dan cukai.

Kebijakan Sri Mulyani Dikritik Rizal Ramli

Namun demikian, ekonom senior yang pernah menjabat Menko Perekonomian di masa pemerintahan Gus Dur, Rizal Ramli, mengkritik langkah-langkah itu.

“Di negara lain, ketika ekonomi melambat, pajak dilonggarkan. Kalau membaik baru digenjot,” ujar Rizal Ramli. Ia menganggap langkah Sri Mulyani menggenjot pajak hanya bertujuan mencapai target setoran utang, atau dengan kata lain, mengabdi pada IMF.

“SMI (Sri Mulyani Indrawati) genjot pajak, hanya sekedar uber setoran utang,” katanya. Menurut Rizal, kebijakan Menteri Keuangan memotong anggaran di sana-sini, serta menaikkan tarif dan menguber pajak malah berdampak negatif pada daya beli masyarakat.

“Potong-potong anggaran, naikkan tarif dan uber pajak membuat ekonomi melambat, daya beli menengah bawah merosot sehingga penjualan retail merosot,” kata Rizal Ramli. Masih menurut Rizal, salah satu sebab turunnya daya beli adalah kebijakan pengetatan anggaran dan pajak yang super-konservatif ala Sri Mulyani.

Rizal Ramli memberikan pendapat .”Satu-satunya pos anggaran yang tidak diubah: pos pembayaran pokok dan bunga utang negara. Yang lain semuanya bisa dipotong, jelas sekali ke mana kesetiannya.”

Padahal banyak cara inovatif untuk mengurangi utang. Kemudian Rizal Ramli menyebut kasus hutang negara yang pernah ia tangani tanpa harus menumpuk lebih banyak utang atau “gali lubang tutup lubang”. Misalnya di tahun 2000 silam, Rizal Ramli menyepakati Debt for Nature Swap dengan Jerman. Saat itu, ratusan juta dolar AS utang Indonesia dihapus dan ditukar dengan konservasi hutan.

Kemudian, tahun 2001, Rizal Ramli juga mengatur Debt Swap dengan Kuwait. “Utang mahal ditukar dengan utang bunga rendah. Kuwait saking gembiranya berhadiah gratis flyover Pasopati di Bandung,” ungkap Rizal Ramli.

Jika memang demikian, masihkan Presiden Joko Widodo memberikan kesempatan untuk Sri Mulayani?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *