Ketika Investasi Lebih Berharga dari Keadilan Buruh

Ketika Investasi Lebih Berharga dari Keadilan Buruh

Bekasi, KPonline – Lekas langkah waktu, kepastian tak kunjungan menentu, bahkan kian membeku atas penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap ketua dan pengurus Serikat Pekerja di PT. Yamaha Music Manufacturing Asia yang berada di kawasan industri M2100, Kabupaten Bekasi.

Ketidakpastian hukum dan keadilan menghantui jalannya hubungan industrial yang tengah dialami serikat pekerja dengan pihak manajemen di perusahaan raksasa asal Jepang ini. Dan itu memperlihatkan bahwa perjuangan buruh melawan ketidakadilan masih berada dalam posisi berjalan di tempat.

Upaya mediasi sudah berulang kali dilakukan. Bahkan para pimpinan daerah seperti Bupati Bekasi dan beberapa anggota DPRD Kabupaten Bekasi telah turun tangan mencoba menjembatani dialog antara manajemen PT. Yamaha dan Serikat Pekerja, dan hasilnya nihil. Manajemen Yamaha tetap bergeming, bersikeras pada keputusannya untuk memecat para pengurus serikat yang selama ini memperjuangkan hak-hak buruh.

Situasi ini mencerminkan sebuah status quo yang tak mampu diubah. Ketika pemerintah daerah sudah turun tangan namun tak mampu memberikan solusi nyata, publik pun bertanya, dimana peran negara dalam melindungi pekerja yang menjadi korban kesewenang-wenangan perusahaan? Mengapa tidak ada tindakan tegas terhadap PT. Yamaha yang nyata-nyata diduga melanggar prinsip-prinsip keadilan industrial?

“Walaupun pada kenyataannya sudah menjembatani, apakah Pemerintah seolah lebih peduli pada citra iklim investasi ketimbang nasib buruhnya sendiri dengan tidak tegas menyatakan sikap, hanya sekedar memberikan instruksi tanpa tindakan pasti. Dan kalau sudah seperti ini, bagaimana pekerja bisa percaya bahwa negara akan melindungi hak-haknya?”

Alhasil, kasus ini memperlihatkan sinyal nyata bahwa kepentingan investasi ditempatkan di atas keadilan sosial bagi buruh Indonesia. Semangat untuk menjaga kenyamanan investor, terutama dari luar negeri, kerap kali berbanding terbalik dengan keberanian pemerintah menegakkan keadilan industrial di negeri sendiri.

Padahal, Undang-undang di negara ini menjamin hak pekerja untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat, serta mengatur pendirian, kegiatan, dan perlindungan serikat pekerja. Undang-Undang yang mengatur serikat pekerja dan perlindungan negara terhadap Serikat pekerja, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Ironisnya, semua itu seperti lumpuh di hadapan kepentingan modal besar. Tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah membuat PT. Yamaha seperti kebal hukum. Sementara ketua dan pengurus serikat yang berjuang malah diganjar PHK sepihak.

Sampai kapan status quo ini akan terus dibiarkan? Apakah pemerintah akan terus membiarkan nasib buruh terkatung-katung demi menjaga investasi asing? Ataukah akan hadir keberanian untuk menegakkan hukum yang adil dan berpihak pada rakyat pekerja?