Surabaya, KPonline – Di balik gemuruh mesin dan tumpukan kertas yang selama ini menjadi saksi bisu kerja keras mereka, kini ribuan pekerja PT. PAKERIN hanya ditemani sunyi dan luka. Mereka yang selama puluhan tahun setia membesarkan perusahaan, kini harus menghadapi kenyataan pahit: gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2025 tak kunjung dibayarkan.
Mereka tidak meminta lebih. Hanya hak yang dijanjikan undang-undang. Hanya kepastian untuk bisa membawa pulang beras, membayar sekolah anak, dan menyalakan lampu di rumah yang kini mulai redup.
Di bawah panji Serikat Pekerja Aneka Industri (SPAI) FSPMI, para buruh ini tak tinggal diam. Berbulan-bulan mereka berjuang, berpindah dari satu titik ke titik lain: dari pabrik di Mojokerto, Kantor Bank Prima, hingga bermalam di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Timur. Namun suara mereka masih saja mengambang di udara, belum juga bersambut.
Permasalahan bukan karena perusahaan bangkrut, tapi karena perseteruan internal tiga pemilik PT PAKERIN—yang ironisnya terikat darah dan keluarga. Sebuah konflik di balik meja makan elit, yang justru menjerat leher buruh di ruang produksi.
Dan hari ini, Jum’at (4/7), ratusan buruh kembali melangkah. Mereka mendatangi kediaman salah satu pemilik, Steven, yang tinggal di kompleks mewah Darmo Hill, Jalan Pakis Bukit Anggrek, Surabaya. Di bawah terik matahari, dengan keringat menetes di dahi dan semangat tetap menyala, mereka berdiri dengan satu tanya: “Apakah kami tidak layak untuk didengar?”
Hingga pukul 13.00 siang, tak ada kabar, tak ada sapaan, apalagi solusi. Tapi mereka tidak beranjak. Karena mereka tahu, pulang tanpa kejelasan sama saja dengan mengkhianati perut anak-anak mereka.
Salah satu dari mereka, Ipang, menyuarakan suara hati yang tak lagi bisa ditahan.
“Kami hanya buruh. Kami tak ikut dalam urusan warisan, tak tahu soal saham, tak paham siapa lebih berhak atas perusahaan. Yang kami tahu hanya kerja—memutar mesin, mengangkat bahan, mencetak hasil. Tapi mengapa kami yang harus memikul akibatnya? Kami hanya menuntut hak kami—itu saja,” ucapnya lirih, namun tegas.
Di balik pagar-pagar tinggi rumah mewah itu, mungkin segalanya tampak tenang. Tapi di luar sana, peluh dan air mata menyatu di atas aspal panas perjuangan. Tak ada kamera media nasional. Tak ada panggung. Yang ada hanyalah keyakinan bahwa keadilan tak seharusnya hanya milik mereka yang berkantong tebal.
Jika hingga hari ini tidak ada kepastian, para buruh sepakat akan mendirikan “Tenda Keprihatinan”—sebuah simbol bahwa mereka akan bertahan. Bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka tidak punya pilihan selain melawan demi hidup yang layak.
Di tengah benteng kekuasaan dan kekayaan, mereka hanya membawa satu tuntutan sederhana:
dimanusiakan sebagai manusia.