Kerja tanpa karir, Afriyansyah : Aktivis

Ntah harus di mulai darimana tulisan yang sudah penuh dalam fikiran ini. Dari ke waspadaan manusia akan tidak putihnya lagi sosok pejuang. Memang di era modernisasi seperti ini terlalu banyak pemikiran yang tak layak di tempelkan pada sosok pekerja sosial yang konon katanya berjiwa kemanusiaan. Menyuarakan pembebasan-pembebasan segala mahkluk dari sistem mahluk yang terdahulu membatasi segala sisi demi kekekalan materi. Sejauh ini saya melihat memang ada yang salah dari depenisi kata itu yang sebenar-benarnya. Hal itu menjadikan satu sifat yang di anut oleh beberapa, tidak sedikit pula menjadi sesuatu hal yang biasa di khalayak ramai. Kita menyebutnya Aktivis.

Artinya sih jelas yaitu orang yang bekerja aktif mendorong terlaksananya suatu jenis pemikiran dari golongannya (sosial, politik, buruh, petani, pemuda, mahasiswa atau wanita) demi nama kemanusiaan yang adil. Atau bisa di sebut juga seorang penggerak pembebasan.

Bacaan Lainnya

Belakangan ini hal-hal yang bersifat sangat lurus itu seperti terkotori oleh seorang atau kelompok dari pelaku atau juga mereka yang anti oleh pelaku pembebasan itu. Bisa saja dari ucapan perorang yang mengatakan tidak benarnya tindakan pelaku pembebasan (menjelek-jelekan). Hal itu juga menjadi kebenaran akibat tindakan-tindakan pelaku pembebasan yang membelakangi ke kekangan suatu golongan saat suaranya di bandrol oleh suatu materi yang melangit atau jabatan yang memperkaya dirinya sendiri. Tidak sedikit memang, tetapi tidak semua juga.

Melihat penomena ini, saya jadi teringat tentang satu orang dari Argentina yang melepaskan jabatannya demi melakukan pembebasan manusia dari perbudakan di negara berbeda. Bukan hal mudah, jabatan yang di dapatnya itu juga dari hasil jerih payahnya ber gerilya menyusuri hutan, merebut kemerdekaan dan membebaskan bangsa Kuba dari derita penjajahan. Kisah itu seperti mengajarkan kita bahwa jabatan bukanlah tujuan pembebasan tersebut. Ia melepaskan jabatannya, lalu ia mati saat berjuang membebaskan Negara lain dari perbudakan manusia.

Kisah yang mendunia dan di akui oleh seluruh semesta sebagai bapak Revolusi Dunia ini (Ernesto Che Guevara) bukanlah hanya satu kisah. Seharusnya kita tanamkan pula pada jiwa-jiwa muda pencari jati diri, sepenggal perjalanan aktivis dan menjadi sifat.

Saya menilai, perjuangan bukanlah pencapaian mendapatkan hasil materi semata. Kisah lainnya juga bisa kita ambil dari anak bangsa kita sendiri. Munir Said Thalib. Dalam kisahnya pernah tertulis catatan yang mengartikan bahwa “Karir tertinggi seorang Aktivis bukanlah jabatan, tapi mati”. Hal itu adalah jawaban penolakan atas permintaan Abdurahman Wahid (Gusdur) saat menawari Munir untuk menjadi Jaksa Agung.

Tentu dua kisah ini dapat mengartikan arti dari kata Aktivis yang sebenar-benarnya. Bukan karena ketidakmampuan mereka dalam mengelolah jabatan yang akan di pegangnya, tetapi ada yang mungkin kelak tak bisa di kendalikan dari naluri manusia sebagai mahluk yang tak pernah puas atas kemewahan. Kisa ini juga sedikit membantu kita untuk tetap berada di jalur utama, bukan tidak boleh mendapatkan jabatan atau kekayaan, tetapi kemampuan mempertahankan diri untuk terus bertindak menyuarakan penderitaan suatu golongan adalah yang utama.

Seperti kisah Che dan kata Munir, tentunya dapat berharap pada aktivis yang sekarang menjabat dalam hal terus menyuarakan pembebasan untuk mahluk-mahluk yang terkekang oleh sistem yang di buat oleh mahluk juga. Menjadikan kekuasaan sebagai alat pembebasan karena “Aktivis bagi saya merupakan kerja tanpa karir”, hanya atas nama kemanusiaan.

Pos terkait