Kehidupan Pekerja Kantoran: Kisah di Balik Blazer Necis dan Rias Wajah Manis

Jakarta, KPonline – Dina berlari memasuki stasiun Tanah Tinggi, Tangerang. Commuterline dari Tangerang sudah datang. Sementara dia baru saja turun dari ojeg online.

Jika ketinggalan Commuterline ini, maka ia harus menunggu jadwal pemberangkatan berikutnya. Dina khawatir terlambat.

Sesaat ketika perempuan berkacamata masuk ke gerbong khusus untuk perempuan – yang terdekat dengan pintu masuk stasiun – pintu Commuterline ditutup. Lega. Meski nafasnya memburu.

Pagi itu Dina mengenakan blazer necis yang dipadu dengan celana warna hitam. Terlihat anggun dan manis dengan riasan wajah yang saya taksir bukan kosmetik murahan.

Tetapi apakah kehidupan Dina semanis senyumnya? Belum tentu.

Bagi Dina, tiada pagi tanpa perjuangan. Bangun lebih pagi, mempersiapkan diri, memesan ojeg melalui aplikasi, dan kadang berlari kecil di stasiun seperti tadi demi mendapatkan kereta tercepat.

Apakah perjuangannya selesai sampai di situ? Tidak. Di kereta, dia masih harus berjejal dengan yang lainnya. Berdiri selama hampir satu jam.

“Hampir pasti tidak mendapat tempat duduk. Karena jam seperti ini jam-jam sibuk. Kereta selalu penuh,” kata Dina.

Dari stasiun Tanah Tinggi Commuterline menuju stasiun Duri. Ini ditempuh kurang lebih 30 hingga 60 menit. Sepanjang waktu itulah ia harus berdiri.

Dari Duri, Dina akan berganti kereta jurusan Bogor atau Depok, dan berhenti di stasiun Sudirman.

Jika waktunya sudah mepet, dia kembali memesan ojeg melalui aplikasi online menuju kantornya yang ada di jalan MH Thamrin. Alternatif lain naik Transjakarta atau jalan kaki.

“Tapi kalau berangkat yang paling sering naik ojeg online agar tidak telat di kantor. Baru pulangnya agak santai. Bisa naik Transjakarta atau jalan kaki,” ujar Dina.

“Kerja di Jakarta gajinya Gede ya?” Tanya saya.

Dina tersenyum. “Alhamdulillah, cukup. Yang penting kita syukuri,” ujarnya.

“Cukup itu berapa? Sesuai UMP?”

“Emang UMP DKI berapa?” Dia balik bertanya.

“Kalau sekarang sekitar 3,6 juta.”

“Ya, lebih tinggi dari itu lah. Tapi nggak banyak sih lebihnya.” Kemudian dia mengaku, besarnya di angka 4 jutaan.

Untuk ke kantor, sekali jalan Dina harus mengeluarkan 17.000. Itu termasuk dua kali naik ojeg online dan Commuterline. Sehari, tidak kurang dari 34.000. Dalam sebulan, 21 hari kerja, dibutuhkan anggaran 714.000 hanya untuk pulang pergi ke kantor.

Dina mengaku jarang masak. Alasannya, tak ada waktu. Ia harus berangkat pagi-pagi dan pulang sudah malam. Kadang kalau libur dan lagi pingin saja dia masak.

Suaminya juga kerja. Jadi dua-duanya sering makan di luar.

Dalam sehari, untuk makan siang dan malam, Dina mengaku tak kurang dari 50 ribu. Pagi dia jarang makan nasi. Paling hanya cemilan. Jika dijumlahkan, dalam sebulan totalnya mencapai 1,5 juta.

Untuk kebutuhan transportasi dan makan, saja sudah 2,2 juta. Tersisa sekitar 2 juta untuk berbagai kebutuhan yang lain. Bayar listrik, angsuran rumah, uang saku anak, bayar kredit ini dan itu, nyaris tak tersisa.

“Jadi tiap bulan uang gajian hanya numpang lewat,” ujarnya.

Meskipun ia dan suaminya bekerja, Dina mengaku tak punya tabungan. Malah yang ada tungggakan dimana-mana.

Ada banyak pekerja kantoran di kota-kota besar yang bernasib seperti Dina. Ia merasa bukan buruh, dengan status yang lebih baik, meskipun sejatinya pendapatannya tidak mampu mencukupi kebutuhan.