“Janji November”, Janji Penerapan Upah Layak yang Tak Kunjung Ditepati

Perjuangan buruh menuntut agar PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dihapus. Hal ini agar upah buruh menjadi layak.

Jakarta, KPonline – Permasalahan upah di Indonesia tidak hanya terjadi saat ini. Jauh sebelum Indonesia merdeka, masalah upah sudah menjadi fokus perjuangan kaum buruh. Hal ini, misalnya, seperti yang bisa kita lihat dalam “Janji Nopember” atau November Belofte, tahun 1918.

Mengenai “Janji November”, kita bisa membaca dalam buku Buruh, Serikat, dan Politik, Indonesia pada 1920an-1930an yang ditulis Jhon Ingelson.

Bacaan Lainnya

Memasuki akhir masa Perang Dunia I, komunitas Eropa di Hindia mulai terancam dan lemah kedudukannya. Mereka khawatir Revolusi Bolshevik di Rusia akan menyebar ke Eropa Barat dan berdampak pada masa depan politik

Pada tanggal 18 Nopember 1918, Gubernur Jenderal Graef van Limburg Stirrum berpidato di depan Volksraad atau Dewan Rakyat yang menjanjikan perubahan besar dalam lapangan pemerintahan Hindia Belanda. Janji ini kemudian terkenal dengan istilah Janji Nopember (November Belofte). Dalam pidatonya itu, dijelaskan bahwa pemerintah Belanda menjanjikan untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada India Putera (pribumi) untuk mengurus kepentingannya di Hindia Belanda.

Dalam hal ini, Gubernur-Jenderal Van Limburg Stirium mengumumkan rangkaian perombakan pada November 1918 dengan tujuan menjinakkan kaum nasional.

Janji November mencakup pelibatan lebih banyak orang pribumi dalam pemerintahan di koloni, peninjauan kembali kondisi kerja orang Indonesia dan hubungan industrial, serta memberikan perlindungan hukum yang lebih luas bagi buruh-buruh Indonesia. Salah satu hasil “Janji November” tersebut ialah dibentuknya komisi untuk menyelidiki kemungkinan ditetapkannya upah minimum di Jawa tahun 1919.

Hasilnya tidak memuaskan, Ketua Sindikasi Pengusaha Gula pada 1928, mengatakan tanggung jawab utama industri di koloni adalah menghasilkan laba, bukan mengurusi kepentingan orang Jawa. Sindikasi Gula dengan keras menolak upah minimum dengan alasan secara ekonomi tidak realistis dalam kondisi Indonesia.

Jika upah dinaikkan maka mereka akan mengurangi jam kerja, modal modal besar akan memutuskan untuk hengkang ke tempat lain. Akibat dari ancaman itu, penetapan upah minimum tidak mungkin dilakukan, diawasi dan dijalankan.

Menghadapi tantangan keras dari kepentingan tuan kebun, industri gula, asosiasi pengusaha serta para pejabat, Gubernur-Jenderal akhirnya mendiamkan rekomendasi yang diberikan.

Jadi kalau ada pengusaha yang keberatan dengan kenaikan upah, itu bukan hanya terjadi sekarang ini. Sejak zaman Belanda, Pengusaha selalu menolak upah buruh menjadi layak.

Penetapan upah minimum secara legal menjadi tuntuan utama serikat buruh sepanjang 1920an dan 1930an. Ketika orang Indonesia menduduki kursi mayoritas di kursi dewan-dewan kota pada tahun 1930an, beberapa dewan menetapkan kebijakan upah minimum untuk perusahaan-perusahan di wilayah mereka.

Pemimpin Fraksi Nasional di Volksraad, Husni Thamrin, terus menekan pemerintah terkait isu ini. Pada tahun 1938, pemerintah menanggapinya dengan cara yang sungguh tidak maksimal, yakni mengirimkan surat edaran kepada pengusaha swasta untuk lebih memperhatikan upah buruh.

Akhirnya setelah perjuangan panjang serikat buruh, salah satu aturan perburuhan pertama yang diberlakukan sesudah Indonesia merdeka adalah penetapan upah minimum Kebijakan upah minimum akhirnya diperkenalkan awal 1970an setelah dibentuk Dewan Pengupahan Nasional (DPNN) berdasarkan Keppres No. 85 tahun 1969 dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) oleh Pemerintah Daerah.

Awalnya kebijakan upah minimum ditetapkan berdasarkan biaya Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), yang berlaku tahun 1965-1995 mengatur lima kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman; bahan bakar, penerangan, dan penyejuk; perumahan dan alat dapur; pakaian; dan lain-lain.

Setelah KFM, diperkenalkan indikator Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) terdiri atas makanan dan minimuman, perumaham dan fasilitas, sandang dan aneka kebutuhan. KHM berlaku pada tahun 1996-2005. Kemudian pada tahun 2006 Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Tahun 2015, meskipun kebihakan KHL belum dihapus, Pemerintah menaikkan upah minimum berdasarkan inflansi nasinal dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan ini dilawan oleh serikat buruh karena menghilangkan survey pasar untuk menentukan nilai KHL.

Pos terkait