Isu Perjuangan Perempuan

Launching buku 'Perempuan di Garis Depan' yang disupervisi oleh tim Media Perdjoeangan.

Cerita ini disampaikan Sokrates, lebih dari 1.600 tahun yang lalu. Saat itu, Leontinus sedang berjalan dari Piraeus ke Athena. Ia melihat mayat dari orang-orang yang dihukum mati bergelimpangan di bawah tembok utara kota. Piraeus, dengan jijik mendekat dan menatap tubuh-tubuh yang kehilangan nyawa.

Berdasar interpretasi dari Adi Ophir, pusat berhatian kita bukanlah pada siapa Leontinus. Tapi perhatian kita tertuju pada jasad yang tergeletak dan tak dikubur itu. Mereka yang dikorbankan. Disisihkan keadilan.

Bacaan Lainnya

Mustinya, seperti itulah kita harus bersikap terhadap isu perjuangan buruh perempuan.

Membicarakan isu perjuangan buruh perempuan, sejatinya berbicara tentang dampak. Menguliti ketidakadilan, intimidasi, dan diskriminasi yang dialami. Meminjam redaksi Adi Ophir, pusat perhatian kita bukanlah pada si perempuan.

Ada banyak catatan isu perempuan di dalam dunia kerja. Mulai dari diskriminasi, cuti haid dan melahirkan, pelecehan seksual, serta beragam persoalan lain. Semua permasalahan ini memang menyangkut perempuan, tetapi ia bukan membicarakan perempuan — sebab merupakan sebentuk penistaan terhadap nilai kemanusiaan. Bahkan berdimensi kejahatan.

Karena ia masalah kemanusiaan, maka tidak hanya menjadi urusan perempuan saja. Itulah dasarnya, saya berpendapat bahwa sesungguhnya laki-laki lebih membutuhkan pelatihan gender dan lebih banyak mengikuti seminar mengenai hak-hak perempuan daripada si perempuan itu sendiri.

Dengan bersinergi, sesulit apapun permasalahan yang terjadi bisa lebih mudah diurai.

Adam Smith menggaungkan pemikiran, “Rakyat harus mengurus diri sendiri dulu, kemudian mengurus orang lain. Negara lebih baik diam.” Pemikiran yang melahirkan sikap individualis, masa bodoh, nggak usah kepo urusan orang. Pemikiran ini sukses memudarkan solidaritas, gotong rotong.

Sesuai dengan sifat dasarnya, solidaritas, di dalam serikat pekerja isu perempuan musti diletakkan dalam kerangka gerakan. Bukan hanya diserahkan pada divisi tertentu, yang kerapkali diberi nama pemberdayaan perempuan itu. Sama seperti masalah yang dihadapi buruh outsourcing, yang tidak bisa diserahkan pada si buruh outsourcing itu sendiri untuk mengatasi persoalannya.

Itulah sebabnya, gerakan buruh juga harus berbicara politik untuk mendesak pemerintah agar membuat regulasi yang melindungi. Negara harus dipaksa untuk turun tangan.

Sekali lagi, untuk bisa mengurai benang kusut ini, solidaritas menjadi kunci…

Jakarta, 28 April 2019

KAHAR S. CAHYONO

Pos terkait