Ini Tanggapan Budi Wardoyo Atas Ditundanya RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Bogor, KPonline – Ditundanya pembahasan RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan, telah diumumkan oleh Presiden Jokowi secara resmi pada Jumat 24 April 2020. Kaum buruh, khususnya KSPI dan serikat buruh yang tergabung dalam MPBI pun mengapresiasi atas penundaan/ penghentian pembahasan RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan. Akan tetapi, tidak sedikit yang pesimis dengan pernyataan Jokowi tersebut. Bahkan, ada pula yang menyayangkan sikap “pilih kasih” Jokowi yang hanya menunda/menghentikan pembahasan mengenai RUU Cipta Kerja.

Seperti yang diungkapkan oleh Budi Wardoyo, salah seorang aktivis buruh yang saat ini konsern terhadap RUU Cipta Kerja Omnibus Law. “Saya heran, kenapa pengumuman penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan oleh Presiden Jokowi, diberikan apresiasi, bahkan cenderung berlebihan pula. Ditunda pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, itu artinya hal tersebut tetap akan dibahas pada nantinya. Dengan menggunakan logika, sedikit saja, bagi yang sudah membaca drafnya, kita juga sudah mengerti, RUU Cipta Kerja Omnibus Law itu terdiri dari 11 klaster, dan klaster ketenagakerjaan bukanlah klaster urutan teratas,” ungkap Budi Wardoyo ketika dihubungi oleh Media Perdjoeangan.

Bacaan Lainnya

Budi Wardoyo menilai, secara keseluruhan RUU Omnibus Law itu sudah bermasalah, bahkan kasarnya, sudah busuk sejak dari niatnya. “Makanya, seluruh gerakan dari berbagai lapisan rakyat, aktivis, akademisi, NGO, guru, jurnalis, bahkan pengamat ekonomi, pengamat politik pun ikut menolak RUU Cipta Kerja tersebut. Jadi, apa alasannya, penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketengakerjaan perlu diberikan tepuk tangan, sambil berdiri pula?,” lanjutnya.

Hingga saat ini pun, pihak pemerintah tidak mau mendengar protes-protes yang dilancarkan rakyat, melalui aksi demontrasi atau aksi unjuk rasa, hingga memviralkan secara massive di dunia maya. Protes-protes sudah dilancarkan pada saat Presiden Jokowi mengumumkan rencana pemerintah membuat RUU Cipta Kerja Omnibus Law didalam pidato pelantikannya. Bahkan, ketika proses pembuatan draft RUU tersebut yang mayoritas luas isinya hanya melibatkan segelintir golongan, yaitu para pengusaha, protes pun semakin gencar.

“Protes semakin keras, waktu publik mengetahui apa isi dari draft RUU Cipta Kerja Omnibus Law. Protes muncul dari semua lapisan masyarakat, dimulai dari kaum buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, kaum muda dan mahasiswa, akademisi, penggiat lingkungan, penggiat HAM, pengamat ekonomi, bahkan dari kalangan guru dan jurnalis pun ikut memprotes RUU Cipta Kerja Omnibus Law,” tutur Budi Wardoyo.

Protes terus berlanjut ketika publik mengetahui bahwa DPR masih saja terus membahas RUU Cipta Kerja Omnibus Law di tengah-tengah pandemi virus Covid-19. Bahkan rencana aksi demontrasi untuk turun ke jalan sudah disiapkan pada 30 April 2020 oleh kaum buruh, salah satunya yaitu oleh KSPI, KSPSI dan KSBSI yang tergabung dalam MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia).

“Semua protes tersebut bermuara pada satu tuntutan, yaitu agar RUU Cipta Kerja Omnibus Law harus dibatalkan. Pemerintah, (dalam hal ini Presiden) harus menarik draft RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang sudah ada di Badan Legislasi DPR (Baleg DPR). Dan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law klaster ketenagakerjaan, bukan saja tidak menjawab tuntutan publik selama ini, akan tetapi juga telah menghina akal sehat publik,” tegas Budi Wardoyo.

Jika RUU Cipta Kerja Omnibus Law tidak dibatalkan secara keseluruhan, maka sudah bisa dipastikan klaster yang ditunda pun akan sangat bisa dilanjutkan. Kita bisa menilik sejarah pahit kaum buruh, ketika Jokowi mulai berkuasa pada 2014. Pengalaman diberlakukannya PP 78/2015 bisa dibilang sebagai pengalaman kekalahan pahit gerakan buruh, yang bergerak tanpa dukungan masyarakat luas. Pengalaman pahit yang lainnya, seperti aksi-aksi publik dalam menolak revisi UU KPK, adalah pengalaman sebaliknya. Kekalahan pahit bagi publik, ketika gerakan buruh tidak massive terlibat dalam gerakan rakyat.

Rezim yang berkuasa saat ini, diduga sudah mengetahui, jika RUU Cipta Kerja Omnibus Law dibahas secara keseluruhan, ini akan memunculkan protes keras dari persatuan gerakan rakyat. RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah menyatukan kita semua. 

Dan itulah kekuatan kita, kekuatan publik yang hendak dilemahkan dengan cara membahas RUU Cipta Kerja Omnibus Law klaster demi klaster dan menunda klaster lainnya. “Jadi, jangan turunkan, walau pun hanya 1 cm, panji-panji perjuangan dalam penolakan terhadap RUU Cipta Kerja Omnibus Law secara keseluruhan. Dan angkat lebih tinggi panji persatuan gerakan rakyat, itulah sejatinya kekuatan kita,” pungkas laki-laki berkaca mata, yang akrab disapa dengan panggilan Yoyok ini.

Sejak awal, gerakan rakyat (termasuk gerakan buruh) dalam menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law, yaitu menolak untuk dibahas di DPR. Intinya, Presiden Jokowi harus mencabut RUU Cipta Kerja Omnibus Law atau DPR menolak membahas RUU tersebut.

“Jika nanti, demi memuluskan pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law, ada “gula-gula” berupa salah satu klaster dikeluarkan (misalnya saja klaster ketengakerjaan atau klaster-klaster lainnya), dan bagian dari gerakan rakyat yg terkait dgn klaster tersebut akhirnya memilih diam atau pasif, atau bahkan bisa saja lebih jelek lagi, akhirnya mendukung RUU Cipta Kerja Omnibus Law, maka itulah inkonsistensi dalam pergerakan rakyat. Itulah penghianatan yang terang benderang dalam sebuah perjuangan. Dan tentu saja, klaster yg dikeluarkan pun, dengan berbagai cara, (ingat perubahan konsep upah tidak membutuhkan UU yang baru, cukup dengan Peraturan Pemerintah), juga akan terus didorong sesuai dengan kepentingan investor. Jadi tidak ada siasat lain, hanya ada satu, yaitu gagalkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law secara bersama-sama, dengan persatuan gerakan rakyat,” pungkas Yoyok.

Pos terkait