Industri Garmen Gulung Tikar, Tergerus Impor Atau Karena Upah Terlalu Mahal? Terus Mana Pesangon Pekerja?

Purwakarta, KPonline – Selasa, 22 Oktober 2019. Pemerintah telah membuka keran untuk investasi seluas-luasnya. Berbagai regulasi yang selama ini menghambat investasi, sudah direvisi. Namun pada kenyataannya dengan segala kemudahan atas fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah tersebut, masih ada saja pengusaha yang bandel dan tidak mau mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Mulai dari pembayaran upah dibawah ketentuan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak tanpa uang pesangon menjadi masalah klasik yang terjadi saat ini di dalam dunia industri dan dibalik itu semua, kemudian ujung-ujungnya adalah pekerja kembali yang dirugikan.

Bacaan Lainnya

Selain revisi regulasi, salah satu keran investasi yang mendominasi di tahun 2018 adalah impor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan nilai impor pada Desember 2018 dari sektor non migas naik menjadi US$ 13,31 miliar, jika dibandingkan tahun sebelumnya di bulan yang sama hanya US$ 12,54 miliar. Sedangkan nilai ekspor pada bulan Desember 2018 dari sektor non migas turun menjadi US$ 12,43 miliar, jika dibandingkan dengan bulan Desember 2017 sebesar US$ 13,37 miliar.

Baru dari sisi non migas saja, sudah terlihat ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan, akibat impor yang terus ‘meroket’ dan impor yang terus menurun. Wajar saja jika tahun 2018 neraca perdagangan mengalami defisit paling rendah dan paling parah dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun terakhir.

Mencermati dari hal tersebut dirasakan sektor industri garmen paling merasakan dampaknya, banyak industri garmen tidak mampu bertahan. Tetapi yang sangat disayangkan kebanyakan dari mereka mengatakan tidak mampu bertahan akibat biaya produksi tinggi, apalagi ada juga yang berkata; “kalau upah pekerja terlalu mahal”

Satu persatu, disepanjang tahun 2018 pabrik garmen pun tutup. Dan itu terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, dimana salah satunya di wilayah kabupaten Purwakarta. Ada beberapa perusahaan yang tutup di tahun tersebut. Diantaranya adalah PT. Dada Indonesia.

Perusahaan yang berbendera Korea Selatan tersebut tutup 31 Oktober 2018 dan hingga saat ini PT. Dada Indonesia belum juga melakukan kewajiban mereka selaku pelaku usaha dalam memberikan hak yang wajib diterima oleh pekerja sesuai pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan 2003 yaitu berupa uang pesangon.

Selaku anggota DPR-RI, Obon Tabroni sangat kecewa atas hal yang sudah dilakukan oleh PT. Dada Indonesia dan sempat menyambangi Tenda Juang PT. Dada Indonesia pada Jumat (18/10) lalu, Obon mengatakan kepada Media Perdjoeangan; “Saat ini permasalahan hubungan industrial yang terjadi di PT. Dada Indonesia masih dalam proses hukum dan saya minta masukan kepada rekan-rekan, apa saja untuk langkah selanjutnya agar permasalahan yang terjadi bisa terselesaikan. Kemudian saya akan membantu, baik itu yang terlihat ataupun yang tidak terlihat. Dimana untuk selanjutnya, kawan-kawan pekerja PT. Dada Indonesia bisa mendapat uang pesangon sesuai harapan mereka,” ucapnya.

Senada dengan hal yang sama, Didin Hendrawan sebagai anggota DPRD Kab. Purwakarta pun mengatakan; “Turut prihatin melihat kasus atau permasalahan hubungan industrial yang terjadi antara PT. Dada Indonesia dan pekerjanya yang belum terselesaikan hingga saat ini, mudah-mudahan untuk selanjutnya pemerintah daerah kabupaten Purwakarta beserta Dinas terkait yang sebetulnya memiliki kewenangan dan tanggung jawab bisa lebih membantu dan memberikan solusi. Agar PT. Dada Indonesia tidak lari dari tanggung jawab mereka dalam memberikan uang pesangon kepada pekerja,” ujarnya.

Berbagai hal dan daya upaya terus dilakukan pekerja PT. Dada Indonesia untuk mendapatkan haknya, yaitu berupa uang pesangon. Mulai dari pengadilan hubungan industrial hingga Mahkamah Agung telah mereka tempuh, namun sampai saat ini belum juga mendapat hal yang pasti berupa uang pesangon.

Melihat hal yang terjadi di PT. Dada Indonesia, sebetulnya mereka itu tutup akibat tergerus oleh impor atau karena upah terlalu mahal? kalau upah terlalu mahal, bukankah sudah membayar upah di bawah UMK, walau pada akhirnya tutup juga. Begitulah drama telenovela dunia industri garmen di Tanah Air, bisa jadi berkilah upah terlalu mahal dan biaya produksi terlalu tinggi menjadi suatu alasan dibalik ketidakmampuan mereka dalam mengahadapi derasnya impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam kurun waktu belakangan ini.

Pos terkait