Jakarta, KPonline – Kalangan buruh kembali tersentak. Pasca omnibus law UU Cipta Kerja diundangkan, yang gemuruh suara penolakannya masih terasa hingga sekarang, kini terdengar kabar jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan dari omnibus law itu sudah rampung.
Bukan hanya pembahasan yang sudah diselesaikan. Bahkan, RPP itu sudah diserahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Itu artinya, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi beleid itu akan disahkan. Melengkapi UU Cipta Kerja sebelumnya yang sedang dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Setali tiga uang dengan omnibus law, RPP ini pun membuat buruh galau. Pasalnya, di dalam RPP ada sejumlah ketentuan yang dianggap semakin memperburuk tingkat kesejahteraan. Salah satu kritik tajam ditujukan tentang pengaturan pesangon. Di mana dalam RPP ada ketentuan yang mengatur bahwa pesangon bisa diberikan sebesar 0,5 (setengah). Terutama untuk perusahaan yang mengalami kerugian.
Hal yang lain, RPP dinilai tidak bisa menambal kelemahan yang terdapat di dalam undang-undang. Jika di dalam omnibus law ada sejumlah pasal yang mendegradasi ketentuan di aturan sebelumnya, aturan yang didegradasi itu tidak mungkin dikembalikan melalui RPP.
Kalangan Buruh Tak Mau Terlibat
Itulah sebabnya, beberapa serikat buruh menolak untuk ikut dalam pembahasan RPP.
Presiden KSPI Said Iqbal, misalnya, menegaskan bahwa tidak mungkin pihaknya yang menolak UU Cipta Kerja kemudian secara bersamaan juga terlibat dalam pembahasan RPP tersebut.
Hal lainnya yang melatari serikat buruh tidak mau terlibat dalam pembahasan RPP, karena saat ini serikat buruh sedang melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenakerjaan.
Dengan demikian, apabila MK mengabulkan tuntutan serikat buruh, maka pembahasan RPP mengenai perjanjian kerja waktu tertentu, alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat, serta PHK akan menjadi sia-sia. Sebab RPP itu dengan sendirinya juga harus dibatalkan.
Terkait dengan hal ini, Said Iqbal menyebut bahwa pembahasan RPP hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Bahkan RPP itu sendiri diragukan manfaatnya kaum buruh. Atau, memang, ada pemikiran; tidak apa-apa UU dibatalkan MK, toh sudah diatur dalam PP?
4 (Empat) RPP Keramat
Sebagaimana saya sebutkan di atas, Kemenaker telah merampungkan 4 (empat) RPP sebagai pendukung implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun keempat RPP tersebut antara lain RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta PHK, RPP tentang Pengupahan, dan RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Bagaimana pun, keempat RPP ini cukup keramat. Karena di sinilah sesungguhnya ruh dari hubungan industrial akan diatur secara detail.
Bayangkan, yang akan diatur adalah PKWT atau karyawan kontrak, alih daya atau outsourcing, waktu kerja, waktu istirahat, pengupahan, hingga PHK. Hal-hal tersebut sangat substansial bagi setiap karyawan.
Dari sini beberapa kalangan berkesimpulan, bahwa beleid ini diciptakan untuk membuat hubungan kerja yang semakin fleksibel. Hubungan kerja yang mudah rekrut dan mudah pecat. Hubungan kerja yang minim perlindungan, mengabaikan kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial.
Sesuatu Harus Dilakukan
Gerakan buruh tidak diam menyikapi ini. Berbagai protes sudah dilakukan.
Tidak berlebihan jika kemudian, di dalam pernyataannya yang diupload akun YouTube Bicaralah Buruh Presiden KSPI Said Iqbal terlihat sangat emosional.
Bagaimana pun, ini tidak hanya tentang nasib orang-orang yang saat ini bekerja. Tetapi juga masa depan generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja.