Green Guide BPJS Kesehatan 2025: Lateral Perspektif dan Solusi Finansial JKN (Bagian 1)

Green Guide BPJS Kesehatan 2025: Lateral Perspektif dan Solusi Finansial JKN (Bagian 1)

Penulis : Ipang Sugiasmoro
Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran Jamkeswatch Nasional

Rekor BPJS Kesehatan mencatatkan surplus anggaran selama tiga tahun berturut-turut, kemungkinan akan terhenti di tahun 2025 ini. Mulai bulan Oktober kemarin, terdeteksi peningkatan beban pembiayaan yang mengindikasikan ketimpangan cash flow keuangan BPJS Kesehatan.

Bacaan Lainnya

Meningkatnya pembiayaan ini tidak terlepas dari semakin tingginya klaim utilisasi pemanfaatan JKN, serta masih adanya kegagalan bayar dari peserta. Banyaknya kelas menengah yang harus turun kasta dan lambatnya pembayaran peserta PBID oleh Pemda, karena pembiayaan kontestasi politik, dituding menjadi faktor turunnya penerimaan iuran.

Kemungkinan lain berupa pengeluaran tidak terduga yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan penjaminan kesehatan, bisa jadi turut mempengaruhi.

Dari data yang diolah di berbagai sumber. Rekor surplus dicatatkan BPJS Kesehatan tahun 2021, sebesar Rp. 38,71 T. Pada tahun 2022 surplus menjadi Rp. 56,51 T dan di tahun 2023 Rp. 57,76 triliun. Adapun, sisi beban BPJS Kesehatan mengalami peningkatan menjadi Rp 130,38 triliun dari Rp 102,13 triliun.

Sepanjang 2023, penerimaan iuran dibukukan sebesar Rp 151,4 triliun, tetapi beban jaminan mencapai Rp 158,85 triliun.

Opsi Pemerintah

Dari awal, pemerintah hanya menawarkan tiga opsi untuk penyelesaian finansial JKN. Opsi yang disebut tindakan khusus itu berupa penambahan anggaran, pengurangan manfaat dan penyesuaian tarif.

Tiga opsi itu dinilai belum mengakomodir perkembangan dan filosofi Jaminan Sosial. Di saat semakin tahun, pembiayaan kesehatan dan kebutuhan medis semakin meningkat. Kebijakan anggaran yang diambil justru membuat pembiayaan kesehatan semakin kronis dan masuk lingkaran setan.

Contohnya, opsi penambahan anggaran. Perubahan UU Kesehatan, malah menganulir mandatory spending kesehatan yang seharusnya dipergunakan untuk pelayanan kesehatan bagi kelompok rentan, seperti warga miskin, lansia dan anak terlantar.

Ruang fiskal yang didapatkan Pemerintah maupun Pemda pun semakin sempit, sehingga penganggaran kesehatan dialokasikan secara opsional dan menjadi non prioritas. Akibatnya, alokasi anggaran PBIN dan PBID, semakin rumit dan cenderung bias dalam pelaksanaannya.

Karena BPJS Kesehatan adalah pemberi jaminan dan menjual pelayanan, tentu tidak mungkin untuk mengambil opsi kedua yaitu mengurangi manfaat. Walaupun pada Juli tahun 2025 besok akan diterapkan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS), pastinya enggan dikatakan bahwa itu akan mengurangi manfaat.

Kebijakan penyesuaian tarif juga dipandang tidak populis dan rawan gejolak sosial. Ekonomi masyarakat telah terbebani akibat kenaikan pajak, inflasi atau pengurangan subsidi. Memaksakan penyesuaian tarif akan berdampak pada sudut pandang dan kemampuan bayar masyarakat pada program JKN.

Dengan kebijakan finansial itu, pelayanan kesehatan justru rawan terjebak komersialisasi dan melanggengkan ketimpangan. Sangat disayangkan karena menjadikan BPJS Kesehatan seperti ayam mati di lumbung padi atau menjadi kambing hitam atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam undang-undang.

Lalu bagaimanakah solusi finansial JKN yang menganut tiga Azas, sembilan Prinsip dan dua Tujuan ini berkembang dan berjalan lebih baik? Selanjutnya kita bahas solusi finansial JKN.

Pos terkait