Gerakan Buruh Dinilai Baru Sebatas Berharap Pada Kebaikan Pemerintah, Belum Melakukan Perlawanan

Jakarta, KPonline – Dosen UNJ dan Pengamat Politik, Ubeidillah Badrun, menilai gerakan buruh saat ini belum melakukan perlawanan. Gerakan buruh baru sebatas berharao pada kebaikan hati pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepadanya.

Padahal, menurut Ubedillah, Pemerintahnya dikendalikan pemilik modal. Dalam hal itu, tidak mungkin sekedar berharap pada kebaikan hati pemerintah. “Militansi gerakan buruh sangat menentukan agar PP 78 dicabut,” tegasnya, dalam eminar Walfare State tentang Pengupahan yang diselenggarakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Wisma Antara, Jum`at (10/3/2017).

Bagaimana gerakan buruh bisa memperjuangkan perubahan?

Dituturkan Ubeidllah, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, gerakan buruh harus berani berubah menjadi gerakan politik. Gerakan politik yang dimaksud adalah gerakan buruh yang dibangun dengan idiologi untuk memperjuangkan kelayakan hidup. Kedua, perlawanan. “Saya melihatnya kaum buruh saat ini belum sebagai sebuah perlawanan. Dalam terori gerakan sosial ada dua teori, reformatif dan revolusioner. Tidak bisa lagi berharap pada kebaikan pemerintah. Harus lebih militan lagi,” ujarnya.

Selain itu, dia juga menyampaikan, bahwa politik itu harus dipahami sebagai sebuah system. Ada input politik dan output politik. Dalam hal ini, PP 78/2015 adalah output politik yang diproduksi oleh eksekutif.

Apakah PP 78/2015 lepas dari proses dan input politik? Tidak ada outout yang lepas dari proses dan input politik. Pertanyaannya adalah, proses politiknya seperti apa?

Saat ini, Pemerintah kita menerapkan ultra liberal. Dimana kapital itu menentukan modal politik. Modal finansial menentukan calon presiden menjadi persiden.

Modal finansial terlibat dalam proses politik. Maka proses yang meliputi kebijakan itu tidak akan lepas dari finansial. Ada semacam hutang jasa.

“Saya tidak merasa aneh ketika PP 78/2015 keluar. Inilah buah dari proses politik dimana kapital menentukan kemenangan,” ujarnya.

Teroi politik dan ekonomi dalam praktek berseberangan. Demokrasi memberi ruang partisipasi terhadap rakyat dalam menentukan kebijakan. Tetapi faktanya, saat ini kebijakan pemerintah lebih condong ke siapa yang ngasih modal. Maka konsep upah buruh dalam logika ekonomi yang paling menentukan adalah pemilik modal. Padahal, harus ada partisipasi buruh terhadap upah buruh. Mereka memangkas itu.

Cara melihatnya pakai konstitusi. Aturan main apa yang konsisten. Secara hukum PP 78/2015 melangga konstitusi pasal 27, dimana setiap warga negara berhak hidup layak. “Konstitusi memerintahkan imbalan yang layak. PP 78/2015 inkonsisten dengan ketentuan ini,” tegasnya