Gelombang Aksi Buruh Menjelang Penetapan UMP 2019

Buruh menolak penetapan upah minimum sebesar 8,03 persen dan mendesak agar PP 78/2015 segera dicabut. (Foto: Kahar S. Cahyono)

Jakarta, KPonline – Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengeluarkan surat edaran terkait dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi/Upah Minimum Kabupten atau Kota (UMP/UMK) 2019 tertanggal 15 Oktober 2015. Isinya, tanpa melalui mekenisme perundingan di dalam Dewan Pengupahan, kenaikan UMP/UMK 2019 hanya sebesar 8,03%.

Kenaikan sebesar 8,03% tersebut diperoleh dari penjumlahan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015). Juga disebutkan, bagi Kepala Daerah yang menetapkan UMP/UMK tidak sesuai dengan PP 78/2015 bisa diberhentikan.

Bacaan Lainnya

Kaum buruh bereaksi menanggapi surat edaran tersebut. Respon paling keras disampaikan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan bahwa kenaikan UMP/UMK 2019 sebesar 8,03 memiskinkan kaum buruh. Karena kenaikan sebesar itu tidak akan bisa menutup daya beli akibat kenaikan harga-harga kebutuhan seberti kenaikan tarif dasar listrik, BBM, harga makanan, dan sebagainya.

Said Iqbal juga menduga pemerintah pusat mengedepankan tangan besi kekuasaan dalam merumuskan kenaikan upah. Padahal, seharusnya kenaikan UMP/UMK dirumuskan berdasarkan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan (UU 13/2003). Jadi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekonomi. Kebutuhan riil kaum buruh.

Ancaman untuk memberhentikan Kepala Daerah yang menetapkan UMP/UMK tidak sesuai dengan PP 78/2015 juga dinilai sebagai ancaman. Terhadap hal itu, Said Iqbal meminta Kepala Daerah mengabaikan surat edaran itu.

Selang beberapa hari setelah itu, para buruh melakukan konsolidasi secara nasional. Salah satunya adalah yang dilakukan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang merupakan serikat pekerja anggota Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada hari Kamis, tanggal 18 Oktober 2018. Para pimpinan FSPMI dari berbagai daerah seperti seluruh Jawa, Sumatera, dan Kepulauan Riau bertemu di Jakarta. Rapat ini diadakan sebagai respon cepat terhadap surat edaran Menaker. Hanya ada dua agenda yang dibahas, strategi perjuangan UMP/UMK 2019 dan konsolidasi aksi perjuangan upah minimun 2019.

Dalam rapat tersebut disepakati, untuk melakukan perlawanan di berbagai daerah guna menjawab keluarnya surat edaran Menaker. Aksi akan dilakukan secara bergelombang mulai tanggal 24 hingga 31 Oktober 2018.

Gelombang aksi buruh menolak kenaikan UMP/UMK sebesar 8,03 persen. Infografis: Media Perdjoeangan

Aksi 24 Oktober 2018

Kantor Kementerian Ketenagakerjaan RI, Jakarta

Ini adalah aksi pembuka. Untuk mengawali rangkaian aksi para buruh di berbagai daerah. Aksi diikuti ribuan orang dari berbagai afiliasi KSPI (FSPMI, FSP KEP, FSP Farkes Reformasi, Aspek Indonesia, FSP ISI, SPN) dan FSPASI. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Karawang, Tangerang, Depok, Serang, Cilegon, dan sebagainya. Dalam aksinya, para buruh menyerukan agar PP 78/2015 dicabut, menolak kenaikan UMP/UMK 8,03%, dan menuntut kenaikan 20 hingga 25%.

Aksi 25 Oktober 2018

Kantor DPRD dan Gubernur Jawa Barat

Aksi diikuti anggota FSPMI dari Bandung Raya, Cianjur, Cirebon, Purwakarta, dan Subang. Dalam aksinya, para buruh memberikan dukungan kepada Gubernur Jawa Barat yang telah menerima aspirasi FSPMI pada tanggal 8 Oktober 2018. Dimana pada saat itu, Gubernur berjanji akan melakukan evaluasi dan kajian terhadap Pergub Nomor 54 tahun 2018.

Di Kantor DPRD Jawa Barat, aksi dilakukan pukul 11.00 hingga 14.00 wib. Dimana perwakilan FSPMI diterima oleh Sekretaris beserta anggota Komisi V. Sementara itu, di Kantor Gubernur Jawa Barat, perwakilan FSPMI diterima oleh Kadisnaker dan Kabag Yansos. FSPMI menyampaikan dukungan dari DPRD Kab./Kota (Cimahi, Depok, Bekasi & Bogor) berupa rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat agar mencabut/merevisi Pergub No 54 tahun 2018.

Selain menuntut untuk dicabutnya Pergub No 54 tahun 2018, massa aksi juga menuntut agar Pemerintah menabut PP No 78 tahun 2015, menolak kenaikan UMK tahun 2019 sebesar 8,03%, dan menuntut kenikan upah 2019 sebesar 20%.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Jawa Timur

Selain di Jawa Barat, aksi buruh juga terjadi di Jawa Timur, tepatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, bertepatan dengan pembacaan putusan atas gugatan upah minimum sektoral yang disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

Dalam putusannya, majelis hakim menolak gugatan APINDO. Ini berita baik bagi kaum buruh Jawa Timur. Dengan adanya putusan ini, semoga ke depan upah sektoral tetap ada. Aksi didominasi massa dari FSPMI dan FSPKEP, yang merupakan afiliasi dari KSPI.

Aksi 29 Oktober 2018

Gedung Grahadi Jawa Timur

Dalam aksi yang dipusatkan di Gedang Grahadi ini, isu dan tuntutan yang dibawa oleh massa aksi hari ini antara lain menolak kenaikan upah minimum tahun 2019 sebesar 8,03%, naikkan upah minimum tahun 2019 sebesar 20 – 25%, dan menolak PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan.

Banyak hal yang disuarakan oleh massa aksi, yang mengatakan bahwa peningkatan 8,03% hanyalah sebatas penyesuaian terhadap inflasi, yang secara tidak langsung tidak menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada tingkat kesejahteraan buruh. Selain itu massa aksi menyatakan keluh kesahnya terkait tidak adanya Jamkesda dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Dalam orasinya, buruh Jawa Timur secara tegas menolak PP 78/2015. Kebijakan yang dianggap merampas hak berunding serikat pekerja sekaligus biang keladi kenaikan upah buruh makin rendah. Empat mobil komando FSPMI Jawa Timur yang berjejer ini bukti totalitas dari aksi yang mereka lakukan.

FSPMI juga menyoroti permasalahan disparitas upah. Dimana perbedaan antara ring satu Jawa Timur dan kota-kota yang lain di Jawa Timur selisihnya sangat tinggi. Hal ini, tidak bisa diatasi jika Pemerintah masih menggunakan PP 78/2015 dalam menetapakn upah minimum.

Kantor Gubernur dan DPRD Sumatera Utara

Menyikapi surat edaran tersebut, buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mengelar aksi unjuk rasa damai (29/10/18) di kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Sumatera Utara, Senin (29/10/2018).

Dalam aksi unjuk rasa damai ini Buruh membawa berbagai tuntutan: (1) Cabut PP No 78 Tahun 2015/Tolak upah murah tahun 2019 yang hanya naik 8,03%; (2) Naikan upah 2019 sebesar 20-25%; (3) Turunkan harga BBM, Sembako, dan tarif listrik; (4) Hapuskan sistem perbudakan (outsourcing, kontrak, harian lepas, borongan).

Selain itu, buruh mendesak:  (5) Copot Sdr. Drs.H. Darwin Nasution, SH MH, Direktur utama PT.Perkebunan sumatera utara yang di duga melakukan tindakan penghalang-halangan kebebasan berserikat di PT.PSU Unit tanjung kasau Batu Bara; (6) Meminta agar Gubsu, Ketua DPRDSU &Kapolda membentuk tim Investigasi atas tengelamnya KM.Mega Top yang menghilangkan nyawa dan jasad 28 ABKnya di perairan Samudera Hindia Pulau Nias; (7) Tangkap dan adili pengusaha KM. Mega Top yang di duga lalai melaksanakan standart keselamatan kendaraan laut; dan (8) Tegakkan aturah hukum UU Perburuhan demi melindungi Pekerja/Buruh Rakyat Sumatera Utara dari ketidakadilan yang di lakukan oleh Perusahaan-perusahaan hitam.

Aksi 30 Oktober 2018

Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) melakukan komvoi dari Taman Siring Jalan Kapten Piere Tendean, Jenderal R Suprapto hingga berhenti di depan Kantor DPRD Provinsi Kalsel.

Buruh menyuarakan penolakan terhadap upah murah yang kini berlangsung di Kalimantan Selatan dan meminta agar pemerintah segera mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015. Pasalnya, sejak berdasarkan pada aturan tersebut, buruh di Kalsel tidak pernah lagi mendapatkan kenaikan UMP di atas 10% atau dua digit.

Kantor Bupati Jepara, Jawa Tengah

Aliansi Serikat Pekerja Jepara melakukan aksi di Kantor Bupati Jepara. Dalam aksinya, para buruh menuntut agar Bupati menolak kenaikan upah Tahun 2019 sebesar 8,03%, cabut PP 78 Tahun 2019, naikan UMK Kabupaten Jepara sebesar 15%, dan berlakukan UMSK di Jepara

Yohanes Sri Giyanto selaku Ketua FSPMI Jepara Berharap agar pemerintah Jepara tidak takut akan Surat Edaran dari menteri karena jelas di poin 12 dalam Surat Edaran tersebut Bupati tidak salah jika menaikan UMK lebih dari 8,03% karena jelas penetapan besaran kenaikan UMK berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak dan PP 78 tahun 2015 berarti boleh menggunakan salah satunya semua tergantung keputusan daerah tersebut mau menggunakan peraturan yang mana.

Aksi 31 Oktober 2018

Kantor Walikota Batam, Kepulauan Riau

Aksi aliansi buruh batam hari ini (31/10/18) akhirnya di temui oleh Walikota Batam Rudi dan Wakil Walikota Batam Amsakar Ahmad bertempat di salah satu ruang sidang kantor Walikota Kota Batam.

Tuntutan yang disampaikan dalam aksi ini adalah, pertama tolak PP Nomor 78 Tahun 2015, kedua menolak surat edaran Menteri Tenaga Kerja dengan kenaikan UMK Sebesar 8.03 persen dan ketiga naikkan upah minimum tahun 2019 sebesar 20 hingga 25 persen.

Semarang, Jawa Tengah

Aliansi Buruh Berjuang Jawa Tengah menggelar aksi di Kantor Walikota Semarang untuk menyampaikan dua tuntutan yaitu, tolak PP78/2015 dan tetapkan UMK Kota / Kab di Jawa Tengah Tahun 2019 sebesar 25% yang berdasarkan KHL 2018+INFLASI + Pertumbuhan Ekonomi.

Berbagai elemen serikat pekerja turun dalam aksi ini. Menuntut agar Jawa Tengah sebagai “surga upah” segera diakhiri.

Cilegon, Banten

Aksi juga dilakukan buruh Cilegon yang tergabung dalam Forum SB/SP Kota Cilegon Bergerak. Aksi ini dilakukan untuk mengawal sidang pleno penetapan UMK 2019. Peserta aksi berkumpul di kawasan KIEC menuju Kantor Pemerintahan Kota Cilegon.

Forum Komunikasi SP/SB kota Cilegon ini terdiri dari FSPMI, FSP KEP – KSPI, FLOMENIK, KSPSI, FSBKS dan FSPBC menuntut Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Cilegon naik sebesar 15 persen.

Tuban, Jawa Timur

FSPMI Tuban menyuarakan aspirasinya di depan kantor Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Tenaga Kerja Kabupaten Tuban. Karena tidak mendapatkan tanggapan dari dinas terkait, pendemo yang beranggotakan para pemuda tersebut kemudian menuju ke kantor Pemkab Tuban.

“Kami berharap pemerintah memperhatikan kesejahteraan buruh, untuk itu kami minta kenaikan upah buruh,” ujar Korlap Aksi, Eko Yuwono.

Eko menilai, UMK yang saat ini telah disepakati dinilai sangat kurang layak, mengingat kesenjangan Tuban dengan wilayah ring satu Jawa Timur sangat tinggi. Menurutnya, upah yang ditetapkan sebesar Rp. 2.230.000,- masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Untuk itu, kita menolak hasil rapat pleno penetapan besaran UMK Tahun 2019 karena masih kurang layak,” imbuhnya.

Salah satu peserta aksi, Antok, dalam orasinya juga menyampaikan bahwa upah buruh di Kabupaten Tuban jauh dari kata layak. “Bupati harus merevisi kembali hasil pleno DPK dalam penetapan besaran UMK. Kami merekomendasikan UMK tahun 2019 sebesar Rp. 2.560.000,” ujarnya.

Setelah menggelar aksi di depan kantor pemkab setempat, akhirnya beberapa perwakilan massa dipersilakan berdialog dengan Asisten Sekda Bidang Pemerintahan Pemkab Tuban, Joko Sarwono.

Setelah berdialog dengan buruh, akhirnya disepakati empat poin yakni, Bupati mengembalikan usulan penetapan UMK Kabupaten Tuban kepada DPK dan dilakukan revisi ataupun dilakukan survei KHL ulang. Serta memasukkan Surat Edaran tentang peningkatan kualitas KHL, dan memperhatikan atau mengakomodir permintaan serikat pekerja FSPMI.

Kemudian, Bupati merekomendasikan upah minimum sektoral Kabupaten (UMSK) Tuban, sesuai dengan usulan serikat pekerja, besarannya dari UMK Kabupaten Tuban.

Selanjutnya, Bupati tidak akan mengusulkan UMK Tuban 2019 kepada Gubernur Jawa Timur sebelum diadakan revisi berita acara hasil rapat pleno pengusulan UMK Tuban 2019 kepada Bupati (DPK Tuban).

Terakhir, Bupati akan memanggil pihak-pihak terkait untuk merevisi kembali berita acara rapat pleno DPK Tuban tanggal 23 Oktober 2018 dan melibatkan serikat pekerja dari FSPMI Tuban

Pos terkait