Festival Kelas Pekerja: Ruang Perayaan yang Menguatkan atau Sekadar Pelarian dari Realita?

Festival Kelas Pekerja: Ruang Perayaan yang Menguatkan atau Sekadar Pelarian dari Realita?

Bekasi, KPonline – Working Class Festival (Festival Kelas Pekerja) kali ini. Sabtu, (31/5) diselenggarakan di Gedung Juang 45, Tambun, Bekasi. Festival tahunan ini, menjadi ruang kebudayaan dan solidaritas yang digagas untuk merayakan perjuangan, semangat kolektif, serta ekspresi kreatif kaum pekerja dari berbagai sektor, termasuk buruh, petani, nelayan, masyarakat miskin kota dan desa, penyandang disabilitas, hingga kelompok rentan lainnya.

Acara yang berlangsung selama sehari penuh ini menghadirkan perpaduan antara hiburan, edukasi, seni perlawanan, serta diskusi publik seputar isu-isu ketenagakerjaan. Namun, di balik semarak panggung musik, dan bazar komunitas, pertanyaan muncul: apakah festival semacam ini merupakan kebutuhan nyata bagi kelas pekerja, atau sekadar ruang pelarian dari kerasnya realitas hidup?

Bacaan Lainnya

Acara ini diinisiasi oleh sejumlah serikat buruh, yang selama ini aktif memperjuangkan hak-hak pekerja. Festival Kelas Pekerja 2025 mengusung tema besar “Dunia yang adil, kita bangun sama-sama” dengan tujuan menjadikan ruang publik sebagai tempat bertemunya aspirasi, budaya, dan perlawanan.

Ketua Komisi 4 DPRD Kabupaten Bekasi, Martina Ningsih bersama Surohman (anggota DPRD Kab. Bekasi) pun menghadiri agenda tersebut.

“Semoga kegiatan ini berjalan lancar dengan sukses sesuai tema dan bisa terealisasi untuk masyarakat bekasi,” pungkas Martina Ningsih.

Dikesempatan yang sama, Rina sebagai salah satu orang pengunjung festival sekaligus anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mengatakan bahwa Festival ini bukan hanya tempat berkumpul atau bersenang-senang. “Kami ingin menunjukkan bahwa perjuangan buruh tidak selalu harus berbentuk demonstrasi. Seni, musik, dan ruang dialog bisa menjadi alat perjuangan yang efektif dan membumi,” ujarnya.

Selama sehari, festival ini menampilkan beragam aktivitas, seperti: panggung musik rakyat dengan musisi independen yang menyuarakan isu buruh, forum diskusi publik (Ruang curhat kelas pekerja), Lounching kawal prolegnas, Workshop pembuatan CV, Ruang Anabul, Cek Kesehatan gratis.

Kemudian live Painting, Layar pekerja, Workers Talk, Stand Up Comedy dan panggung anak. Tak ketinggalan, UMKM binaan komunitas pekerja turut membuka lapak, menjajakan produk-produk lokal yang menjadi simbol kemandirian ekonomi akar rumput.

Namun, tidak semua pihak melihat festival ini sebagai bentuk perjuangan yang efektif. Ahmad Baehaqi, seorang aktivis buruh yang tidak terlibat dalam penyelenggaraan acara, menilai ada risiko festival menjadi “pemanis” tanpa dampak langsung. “Saya khawatir acara seperti ini justru menjauhkan kita dari tuntutan-tuntutan konkret, seperti penghapusan sistem kerja outsourcing, revisi regulasi upah, dan penguatan hak berserikat,” katanya.

Meski demikian, para penyelenggara menegaskan bahwa hiburan dan perjuangan tidak harus dipertentangkan. Menurut mereka, justru dalam format yang lebih cair dan inklusif seperti festival, isu-isu kelas pekerja bisa menjangkau lebih banyak pihak, termasuk generasi muda yang selama ini mungkin merasa asing dengan dunia serikat buruh.

Hal ini diamini oleh Bagas dari kalangan masyarakat umum yang juga menghadiri festival. Ia melihat bahwa transformasi bentuk-bentuk perjuangan sosial menjadi lebih kultural adalah langkah strategis. “Kelas pekerja tidak hanya butuh ruang menuntut, mereka juga butuh ruang untuk membangun identitas kolektif, berbagi pengalaman, dan merasa tidak sendiri. Festival seperti ini, bila dikelola dengan benar, bisa menjadi medium konsolidasi gerakan,” jelasnya.

Di tengah inflasi yang belum sepenuhnya mereda, tekanan biaya hidup, dan fleksibilitas kerja yang kian tidak menentu, banyak pekerja memang mencari ruang untuk ‘bernapas’ sekaligus menyuarakan keresahan. “Datang ke sini itu seperti recharge semangat,” ujar Suryana, seorang karyawan pabrik di wilayah kawasan industri Ejip yang datang bersama teman-teman seorganisasi (FSPMI). “Kami bisa berbagi cerita, nonton teater yang mengangkat realita kami, dan yang paling penting, merasa didengar”.

Festival Kelas Pekerja 2025 juga turut menyuarakan sejumlah tuntutan kolektif: Sahkan RUU Perampasan Aset, Berikan Jaminan Pekerjaan dan Hapus Outsourcing.

Festival ini mungkin belum bisa menyelesaikan persoalan sistemik yang dihadapi kelas pekerja, tetapi ia menawarkan satu hal yang tak kalah penting: rasa memiliki, rasa bersama, dan keyakinan bahwa perjuangan bisa diwujudkan dalam beragam bentuk.

Apakah Festival Kelas Pekerja merupakan kebutuhan atau hanya hiburan?
Jawabannya mungkin tidak sesederhana dikotomi itu. Di tengah arus neoliberalisme dan individualisme yang merayap ke segala lini, mungkin justru perayaan seperti inilah yang menjadi ruang perlawanan paling relevan hari ini.

Pos terkait