Dokter Yang Berlawan

Pekan ini, sekelompok dokter berdemonstrasi menolak RUU Kesehatan. Korps seragam putih menyusun barisan aksi bersama perawat dan apoteker di jalanan. Mereka berpanas-panas di bawah terik, membeber spanduk, sembari menyemburkan tuntutan. Sebagian orang mengeryitkan dahi mendapati pemandangan ini. Dokter kok demo?, gumam terkejut atau mungkin sinis dari tak sedikit orang.

Di negeri ini, seperti sebagian pekerjaan lain, profesi dokter memang mendapat pemuliaan lebih. Glorifikasi ekstra. Sebuah profesi elite, karenanya berdemonstrasi dianggap tak cocok. Aktivitas unjuk rasa dipandang lebih sesuai untuk rakyat kebanyakan, buruh dan petani semisal. Dokter hadir dengan mobil komando dan toa besar di muka gerbang kekuasaan, tak ayal benar-benar menjadi berita.

Jumlah dokter di Indonesia memang sedikit, untuk tidak menyebutnya minus. Menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah dokter di Indonesia baru mencapai 176.110 orang pada tahun 2022. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

Angka dokter yang tak sampai 200 ribu itu berbanding penduduk Indonesia sebesar 273 juta jiwa. Itu kenapa mereka terlihat ‘sangat elite’, jumlah kecil diantara pancang kebutuhan yang amat besar. Anda jelas tidak bisa menandingkan ini dengan Kuba. Negeri Karibia itu memiliki rasio 9 dokter untuk 1000 penduduk. Pencapaian ini bahkan diraih di bawah kondisi sulit, blokade ekonomi lebih dari setengah abad.

Surplus dokter membuat Kuba bisa melayani kemanusiaan lebih luas, mengirim tenaga dokter mereka ke lebih 40 negara dalam berbagai misi, termaksud saat tsunami Aceh dan gempa Jogja. Di negara yang dianggap sebagai representasi model ‘welfare state’, Swedia, angka per kapita dokter juga cukup bagus. Di jantung Skandinavia itu tersedia 4,29 dokter per 1.000 orang. Indonesia sekali lagi mesti menundukkan kepala, malu.

Kembali ke dokter yang berdemonstrasi, apakah ia benar-benar unik? Jawabnya, sama sekali tidak. Perihal kisah dokter yang berlawan, dunia tak kurang-kurang tauladan. Pertama-tama pantas kita mengajukan nama Ernesto Che Guevara. Pria Argentina ini telah menjadi simbol perlawanan sejak paruh kedua abad 20. Wajah tampannya terpampang dari kaki gunung Andes, Tepi Barat Palestina, hingga pemukiman kumuh di sudut Jakarta.

Che Guevara meraih gelar kedokterannya di Universitas Buenos Aires. Dia menambahkan peran mengobati yang sakit, menjadi pertempuran melawan kediktatoran lewat jalan gerilya di sepanjang jalur Sierra Maestra. Dokter gondrong ini mengangkat bedil, dan selebihnya adalah sejarah tentang Revolusi Kuba. Lewat pemikirannya yang tertuang di ‘On Revolutionary Medicine’, Che turut meletakkan pondasi filosofis atas pencapaian hebat kedokteran Kuba.

Di Indonesia ada nama Adnan Kapau Gani atau biasa disebut AK Gani. Putra ranah Minang, sosok pejuang kemerdekaan. Gani meraih gelar dokter melalui jalan yang berliku. Mula-mula ia masuk ke sekolah tinggi kedokteran STOVIA. Sialnya, pada tahun 1927 sekolah ini ditutup. Akhirnya Gani melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School/GHS) Jakarta. Gani lulus pada 1940, menjadi dokter di umur 35.

Salah satu peran menonjol Pak Dokter satu ini yaitu aktivitas penyelundupan. Aksi berbahaya selama blokade militer Belanda dilancarkannya. Gani menyelundupkan minyak mentah dan aneka hasil bumi. Uangnya dipakai untuk membiayai pemerintahan Republik muda yang baru merdeka. Lewat tangan dan nyali Gani pula, penyelundupan senjata berhasil dilakukan untuk memperkuat barisan pejuang.

Di kubu ‘kiri jauh’, terdapat sosok Norman Bethune. Ahli bedah asal Kanada yang melanglang buana dari satu palagan revolusi ke palagan revolusi lainnya. Dia pergi jauh ke semenanjung Iberia untuk berada di garis depan kaum Republikan. Menyabung nyawa dalam Revolusi Spanyol 1936. Si Dokter rupanya tak kenal jera, usai dari Spanyol dia melancong jauh ke Benua Asia. Berjuang bersama rakyat Tiongkok mengusir penjajahan fasis Jepang.

Dokter yang berlawan merupakan kisah normal, meski mungkin makin terasa jarang. Profesi dokter sesungguhnya setara dengan pemadam kebakaran, penjaga mercusuar, atau tukang ledeng. Tiap pekerjaan memiliki fungsi sosial, melayani kebutuhan masyarakat, disitulah apresiasi diletakkan. Kapitalisme terkutuk yang membuatnya menjadi langka dan mahal. Dokter bagian dari kelas pekerja. Kala mereka melawan, kita sambut peluk solidaritas dan tepuk tangan

Adityo Fajar – Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh