Disebut Ilegal, Guru Honorer Serukan Jihad Guru

Jakarta, KPonline – Ketua PB PGRI Didi Suprijadi memposting satu tulisan menarik tentang jihad guru. Ini adalah dukungan terhadap perjuangan guru honorer.

Redaksi Koran Perdjoeangan menerbitkan tulisan ini, sebagai bentuk dukungan terhadap para guru:

Bacaan Lainnya

H. Mohamad Surya (Ketua Umum PB-PGRI 1998-2008): “JIHAD GURU”

“Jihad Guru” adalah gerakan spontan para guru di Kabupaten Garut di bawah
kordinasi Pengurus PGRI kabupaten Garut, sebagai reaksi terhadap ucapan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut yang dipandang amat melukai dan melecehlan martabat guru.

Berdasarkan pernyataan dalam http://jabarnews.com/2008/09/guru-honorer-meradang-disebutilegal-oleh-plt-kadisdik-guru.html. Plt Kadisdik Kabupaten Garut menuding bahwa guru honorer itu illegal dalam melaksanakan tugasnya.

Ungkapan itu benar-benar melukai dan melecehkan para guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolahnya. Itulah gambaran kalau birokrat yang mengurus pendidikan kurang memiliki wawasan pengetahuan tentang pendidikan (atau tidak berpengetahuan) sehingga ucapannya sangat tidak layak.

“Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Undang-undang tersebut baik guru PNS, maupun honorer memiliki kedudukan dan hak yang sama.

Berdasarkan hal itu di mana logikanya bahwa guru “honorer illegal”, karena nyatanya mereka sudah memenuhi tuntutan Undang-undang seperti pendidikan akademik minimal S-1, menguasai empat kompetensi, dan sudah memiliki sertifikat pendidik. Yang menjadi kendala adalah mereka belum memperoleh “tunjangan profesi” yang menjadi haknya, hanya karena belum ada surat tugas dari Bupati. Jadi ucapan itu sangat tidak layak diucapkan oleh pejabat terkait.

Jangan lupa guru masa kini berpendidikan minimal S-1, bahkan sudah banyak yang S-2 atau juga S-3, yang berarti guru telah memiliki tingkat penalaran berbasis wawasan keilmuan yang mendukung tugas profesionalnya.

Kalau sekarang mereka bereaksi itu karena unsur manusiawi yang harga diri dan martabatnya diinjak.

Wajar kalau yang tersinggung bukan hanya guru honorer yang merasa dilecehkan tetapi semua guru dan tidak hanya yang berada di Kabupaten Garut tetapi di seluruh kawasan tanah air. Perlu diingat bahwa solidaritas guru sangat kuat di seluruh kawasan tanah air, laksana satu bagian tubuh tercubit maka rasa sakitnya dirasakan oleh seluruh bagian tubuh lainnya dan selanjutnya membangun kesadaran kolektif untuk bereaksi.

Di bawah kordinasi Pengurus PGRI Kabupaten Garut, tanggal 18 Seprtember 2018 para guru akan melakukan “JIHAD GURU” dalam bentuk aksi damai ke DPRD Kabupaten Garut untuk menyampaikan beberapa tuntutan antara lain pemecatan plt Kadisdik dan tuntutan hukum atas tindakannya, segera Bupati mengeluarkan surat penugasan, menghargai jasa pengabdian para guru honorer yang telah
jelas-jelas memberikan pengabdiannya.

Terhadap gerakan ini dihimbau agar para petugas memberikan layanan keamanan dengan sebaik-baiknya, ingat mereka adalah guru kelompok intelektual yang berperadaban dan bermoral. Kepada pimpinan DPRD terimalah mereka sebagai rakyat yang Anda wakili, mereka dalam mengutarakan aspirasinya.

Pimpinan Daerah khususnya Bupati harus memperlakukan para guru secara bijak dengan penuh empati sebagai mitra dan insan intelektual. Memenuhi tuntutan mereka merupakan jiwa pemimpin yang
mengayomi rakyatnya. Jangan lupa apa jadinya negeri ini tanpa guru. Dengan kemajuan teknologi komunikasi masa kini, gerakan ini bakal dipantau, disupport, dan iringan doa dari warga PGRI di seluruh tanah air.

Gerakan dengan menggunakan kata: “JIHAD” merupakan upaya membela kebenaran dan melawan kebatilan serta memiliki makna yang amat mendalam berbasis keyakinan religi.

Oleh karena itu saya ikut berempati atas suasana emosional para guru dan bersimpati atas langkah respon gerakan yang dilaksanakan. Semoga ini akan menjadi sumber pembelajaran bagi siapapun terutama para pinpinan daerah dan birokrat yang menangani guru dan
pendidikan pada umumnya. Jangan sampai terulang lagi peristiwa di masa lalu yaitu lengsernya seorang Bupati, kepala dinas pendidikan karena melecehkan guru.

“HIDUP GURU, HIDUP

Pos terkait