Cuti Haid, Anugerah yang Dirampas

Foto bersama usaia penandatanganan Deklarasi Bersama dari 4 pimpinan konfederasi (KSPI, KSPSI, KSBI, dan KPBI): Kampanye 14 Minggu Cuti Melahirkan dan Stop Periksa Haid. (Foto: Iwan)

Bekasi, KPonline – Cuti haid merupakan hak cuti yang diberikan kepada karyawan perempuan sehari hingga dua hari setiap bulannya.

Dalam peraturan perundang-undangan cuti haid tertuang dalam Pasal 81 Undang-undang ketenagakerjaan No 13 tahun 2003.

” (1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

“(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”

Ironis memang, yang sejatinya haid merupakan suatu siklus alamiah yang dialami oleh perempuan dewasa dikategorikan sebagai suatu penyakit.

Atas dasar itu sering dijumpai pula dalam suatu peraturan perusahaan (PP) ataupun peraturan kerja bersama ( PKB ) di perusahaan yang mensyaratkan adanya Surat Keterangan Dokter.

Perempuan dipaksa untuk berkunjung serta merintih kesakitan karena haid/pms ke dokter atau praktisi kesehatan untuk bisa mendapatkan sepucuk surat keterangan agar bisa mendapatkan hak atas cuti haid.

Doktrin kata sakit, peraturan kerja yang sama atau lebih rendah dari undang-undang, surat keterangan dokter sebagai bukti semakin membuat nyata diskriminasi serta penghilangan hak-hak perempuan dalam suatu perusahaan.

Kerugian secara fisik dan psikologis pun tak ayal dirasakan kaum perempuan. Suatu anugerah alami yang dirasakan kaum perempuan harus menyatakan haid adalah sakit/penyakit.

Dalam hubungan kerja pun akan menjadi bomerang bagi buruh PKWT (kontrak) yang pasti akan semakin takut untuk menggunakan hak cuti haid karena sakit yang membuat jatuhnya penilaian kerja sehingga takut tidak di perpanjang.

Ketakutan demi ketakutan kian membuat Cuti haid , Hak perempuan makin terenggut dan terabaikan

Penulis: Nurohman