Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB VIII)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB VIII)

Baca Sebelumnya..

BAB 8

Tapi harapan, sekuat apa pun, selalu akan diuji. Dan ujiannya datang lebih cepat dari yang kami duga.

Tiga hari setelah kami resmi mendeklarasikan Suara Mesin—walau masih diam-diam dan belum terdaftar secara formal—mandor mendadak memanggil Nina ke ruang administrasi. Tidak biasanya ia dipanggil ke sana. Lebih aneh lagi, ia tidak kembali ke ruang produksi sampai jam pulang.

Aku mencarinya. Di parkiran, di belakang gudang, bahkan ke toilet yang biasa jadi tempatnya sembunyi sebentar saat pusing karena bau pelumas mesin. Tapi nihil. Ponselnya tidak aktif. Pulangnya pun tak ada kabar.

Barulah malamnya, ia mengirim pesan suara. Suaranya terdengar gemetar.

“Rin… aku dimutasi. Mulai besok, aku disuruh kerja di bagian sortir limbah. Katanya karena hasil kerjaku menurun, padahal aku nggak pernah dapat SP. Mereka tahu, Rin. Mereka tahu tentang kita.”

Tanganku langsung dingin. Aku tahu ini bukan sekadar mutasi. Ini pesan. Ancaman.

Keesokan harinya, Pak Rio tak muncul. Katanya, keluarganya dijadikan alasan—anaknya katanya kedapatan ‘mencuri’ barang pabrik. Tuduhan yang bahkan belum terbukti, tapi cukup untuk menekan Rio agar diam.

Satu per satu dari kami mulai dibungkam. Tak secara langsung, tapi cukup untuk membuat takut.

Sore itu, aku duduk sendirian di ruang istirahat. Biasanya ruang itu penuh suara tawa yang dipaksakan dan keluhan yang ditahan. Tapi hari itu … sunyi.

Lalu seorang rekan kerja datang. Namanya Lela. Ia bukan anggota Suara Mesin, tapi sering memperhatikan gerak-gerik kami.

“Rina,” katanya pelan, duduk di sampingku. “Hati-hati. Ada orang kantor yang mengintai. Katanya kamu jadi ‘mata’ buruh. Mereka mau cari alasan buat pecat kamu secara sah.”

Dadaku sesak.

Aku tahu, langkah kami tak akan mudah. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini.

Malam itu aku menatap foto Adit di dinding kamarku. Senyumnya masih sama. Tapi kali ini, aku tidak menangis. Aku bicara.

“Maaf ya, Dit… Mama nggak bisa jagain kamu dulu. Tapi sekarang… Mama jagain teman-teman Mama. Mama jagain semua Adit lain yang masih bisa diselamatkan.”

Keesokan harinya, aku kumpulkan semua anggota yang tersisa. Kami pindahkan pertemuan ke tempat baru—sebuah warung kecil milik sepupu Yani, jauh dari pabrik. Di sana, kami buat rencana baru. Kami sepakat untuk mengajukan pendaftaran resmi ke Dinas Tenaga Kerja secara kolektif.

“Kalau kita diam, satu per satu akan dibungkam. Tapi kalau kita bergerak bersama, mereka harus mendengarkan.”

Lelah, takut, dan terancam, tapi tidak menyerah.
Kami tahu jalan ini berbahaya. Tapi kami juga tahu: diam bukan pilihan lagi!

***

Dini hari itu, sebelum matahari terbit, aku berdiri di depan cermin. Seragam pabrik masih tergantung rapi, tapi di dalam dadaku, ada gejolak yang tak bisa lagi kutenangkan. Hari ini, aku dan dua puluh sembilan buruh lainnya akan mengajukan pendirian resmi Serikat Pekerja Suara Mesin ke Dinas Tenaga Kerja. Langkah yang selama ini hanya jadi bisikan, kini akan menjadi kenyataan—dengan segala risiko yang menyertainya.

Di dalam angkot menuju kantor dinas, wajah-wajah tegang mengelilingiku. Ada Pak Rio yang akhirnya kembali setelah dua hari ‘menghilang’. Ada Nina, masih mengenakan masker medis untuk menutupi luka emosional dari mutasi yang ia terima. Ada Yani, dengan mata sembab tapi langkah tegap. Tak ada yang bicara banyak. Tapi sorot mata kami semua sama: tekad!

Sesampainya di sana, kami menyerahkan dokumen yang sudah kami susun rapi. Nama-nama anggota, struktur awal, hingga visi dan misi yang kami tulis semalaman penuh air mata dan harapan. Petugas dinas membaca perlahan, lalu mengangguk.

“Kalau semua lengkap, nanti akan diproses. Tapi bersiaplah, pasti akan ada tekanan dari manajemen.”

Kami hanya saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Kami tahu. Tapi kami juga tahu, hak kami bukan hadiah dari atasan, melainkan sesuatu yang harus kami perjuangkan sendiri.

Dua hari kemudian, pabrik gempar.

Manajemen mengumumkan bahwa mereka mengetahui ada upaya pembentukan serikat buruh. Dalam pengumuman yang dibacakan di depan seluruh karyawan, mereka berkata: “Kami mendukung semua kegiatan yang legal dan sesuai peraturan. Tapi kami tak akan mentoleransi aksi penghasutan atau mengganggu stabilitas produksi.”

Kalimat itu terdengar manis, tapi nadanya dingin. Semua orang tahu, itu peringatan.

Namun sesuatu yang tidak mereka duga terjadi.

Keesokan harinya, puluhan buruh yang selama ini diam, mulai berdiri di sisi kami. Bahkan para ibu bagian packing, yang dulu selalu menghindari obrolan kami, kini mulai ikut duduk bersama saat istirahat. Mereka mulai bertanya. Mulai membaca. Mulai mengerti.

Bahkan, beberapa mandor pun diam-diam memberi dukungan. Salah satunya berkata, “Kami juga lelah. Tapi dulu nggak ada yang berani mulai.”

Aku sadar… perjuangan ini bukan milikku saja. Bukan soal Adit saja. Ini tentang semua buruh yang selama ini dianggap hanya bagian dari mesin. Kami bukan baut. Bukan mur. Kami manusia. Dan sekarang, kami bersuara.

Malam itu aku menatap bintang. Udara dingin, tapi hatiku hangat. Untuk pertama kalinya sejak Adit pergi, aku merasa hidupku mulai berarti lagi.

Bukan karena aku kuat. Tapi karena aku tidak sendiri.

*****

Dan kini, suara-suara itu mulai menggema lebih jauh dari dinding pabrik kami.

Dua minggu setelah kami resmi mendaftarkan Suara Mesin sebagai Serikat Pekerja, kabar tentang perjuangan kami sampai ke telinga orang-orang yang bahkan belum pernah bertemu kami. Salah satunya adalah seorang pengurus senior dari salah satu federasi serikat pekerja terbesar di negeri ini—Federasi Nusantara Pekerja Mandiri.

Namanya Bu Indri. Ia datang ke warung tempat kami biasa berkumpul, tanpa pengawalan, tanpa formalitas berlebihan. Ia duduk di kursi kayu sederhana sambil menyapa kami dengan senyum hangat, seolah ia bukan siapa-siapa.

“Aku dengar ada suara kecil yang mulai berani bersuara besar,” katanya, memandangku lurus.

Aku gugup. Tapi juga tersentuh.

Bu Indri tak datang hanya untuk memberi selamat. Ia datang dengan tawaran dukungan konkret. Pelatihan hukum ketenagakerjaan, pendampingan advokasi jika ada PHK sepihak, bahkan pengacara jika dibutuhkan. Federasi yang ia pimpin memiliki jaringan luas—dan yang paling penting, memiliki kekuatan politik yang diakui.

“Kalian bukan lagi sendirian,” ucapnya. “Perjuangan kalian adalah bagian dari perjuangan buruh di seluruh negeri ini.”

Suasana mendadak hening. Beberapa dari kami mulai menitikkan air mata. Rasanya seperti… setelah bertahun-tahun berteriak di dalam ruangan tertutup, akhirnya ada yang membuka pintu dan berkata, “Kami mendengarmu.”

Hari-hari berikutnya, pergerakan kami tumbuh lebih sistematis. Kami membentuk divisi-divisi kecil: advokasi, pelatihan, dokumentasi, dan komunikasi. Para buruh yang dulu bahkan takut bicara di depan umum, kini berlatih pidato saat jam makan siang. Kami mulai membagikan selebaran edukatif tentang hak-hak buruh, upah minimum, dan jam kerja yang layak.

Dan sesuatu yang luar biasa mulai terjadi: perubahan perlahan muncul.

Salah satu mesin yang selama ini dibiarkan rusak hingga mengancam keselamatan, tiba-tiba diperbaiki setelah kami ajukan laporan resmi dengan tembusan ke Dinas. Seorang buruh yang sebelumnya ditolak cuti karena orang tuanya sakit, kini mendapat izin setelah pendampingan dari perwakilan kami.

Tentu, tekanan masih ada. Sebagian mandor tetap bersikap dingin. Beberapa dari kami masih diintai gerak-geriknya. Tapi rasa takut yang dulu membelenggu… kini berubah menjadi kewaspadaan yang tidak membungkam.

Kami tidak lagi berjuang hanya untuk gaji. Tapi untuk harga diri. Untuk keberadaan kami sebagai manusia.

Malam itu, saat aku menuliskan laporan perkembangan serikat untuk dikirim ke federasi, aku melihat foto Adit di layar ponselku. Senyumnya masih sama. Tapi kali ini aku membalasnya dengan senyum juga.

“Mama nggak diam, Dit. Mama sudah belajar bersuara. Dan sekarang, suara Mama jadi gema.”

Baca Kelanjutannya..