BAB 9
Tapi gema itu, rupanya, tak hanya menggetarkan hati para buruh. Ia juga membangunkan raksasa yang selama ini tidur di menara kekuasaan: MANAGEMEN.
Pagi itu, saat aku masuk ke pabrik dengan semangat karena laporan kami sudah diterima baik oleh federasi, suasana mendadak sunyi. Tak ada senyuman. Tak ada obrolan di barisan mesin. Semua kepala menunduk.
“Kenapa, Mbak?” tanyaku ke Yati, salah satu rekan seperjuanganku.
Ia menoleh padaku, matanya merah.
“Wati… di-PHK, Rin. Tanpa surat peringatan. Tanpa sebab yang jelas. Tadi pagi dia dipanggil HR, langsung disuruh pulang. Dibilang kontraknya tidak diperpanjang.”
Darahku seperti berhenti mengalir.
Wati adalah salah satu anggota aktif Serikat Suara Mesin, ikut menyusun laporan keselamatan kerja, bahkan ikut dalam pelatihan hukum tenaga kerja dari federasi. Dia tulus. Jujur. Tak pernah buat masalah.
Aku menahan napas, mencoba tetap tenang. Tapi di dalam dadaku, amarah berdesak-desakan mencari jalan keluar.
Beberapa jam kemudian, saat waktu istirahat tiba, aku mengajak teman-teman berkumpul di belakang gudang. Biasanya tempat itu ramai diskusi. Tapi kali ini, hanya tujuh orang yang datang. Yang lain memilih diam.
“Apa kalian tahu ini tidak adil?” kataku pelan.
Mereka saling pandang.
“Tahu, Rin. Tapi kita takut. Aku masih punya dua anak kecil. Kalau aku dipecat, aku nggak tahu harus gimana,” ucap salah satu buruh yang dulu paling semangat di rapat serikat.
“Wati pun punya anak,” jawabku lirih. “Dan sekarang dia sendirian.”
Sunyi. Tak ada yang membantah. Tapi tak ada juga yang menyahut.
Sorenya, aku temui Wati di rumahnya yang sempit. Ia masih menangis. Anaknya memeluk lututnya, kebingungan. Aku ikut terduduk di lantai, menahan air mata.
“Maaf ya, Rin… aku jadi beban,” katanya.
Aku genggam tangannya.
“Justru kamu korban. Dan ini belum selesai.”
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Gambar Wati terus muncul di kepalaku. Suaranya. Tangisnya. Dan wajah teman-teman yang mulai melempem, menyerah sebelum bertarung.
Tapi aku tahu. Ketakutan adalah senjata mereka. Dan selama kita diam, mereka akan terus menakut-nakuti.
Aku mengambil ponsel. Kubuka kembali file PDF Undang-undang Ketenagakerjaan yang dulu kubaca bersama tim hukum federasi. Kuketik pesan di grup Suara Mesin:
“PHK sepihak tanpa SP dan tanpa alasan melanggar hukum. Kita bisa lawan ini. Jangan biarkan satu teman tumbang membuat seribu mundur.”
Aku tahu, ini tidak akan mudah. Tapi perlawanan sejati selalu dimulai dari rasa sakit yang paling dalam. Dan hari ini, rasa sakit itu ada di mana-mana.
Tinggal siapa yang berani menyulutnya jadi nyala.
***
Dan aku… aku memilih untuk jadi penyulutnya.
Pagi itu, aku berdiri di depan gerbang pabrik dengan dada berdebar. Bukan karena takut, tapi karena tahu, langkah kecilku hari ini bisa jadi awal dari gelombang besar. Aku menunggu Wati. Kupanggil dia semalam, kupaksa datang meski dia sempat ragu.
Dan dia datang, mengenakan jilbab hitam, wajahnya masih menyimpan luka batin yang dalam.
“Kamu yakin, Rin?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk. “Kita laporkan. Kita tidak bisa terus diam.”
Kami pun melangkah menuju kantor Lembaga Bantuan Hukum Buruh yang selama ini membantu serikat kami secara sukarela. Mereka sudah mendengar kabar soal Wati. Tanpa banyak tanya, mereka langsung menerima laporan kami.
“PHK sepihak tanpa alasan jelas, tanpa surat peringatan, dan tanpa hak-hak normatif… ini jelas melanggar Pasal 151 dan 155 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kita bisa gugat ke Dinas Tenaga Kerja,” kata Mbak Hana, pengacara muda yang berdedikasi itu.
Wati mulai menangis. Tapi kali ini bukan karena takut… tapi karena merasa ada yang membelanya.
Hari-hari berikutnya aku gunakan untuk menyusun dokumen. Aku bolak-balik ke kantor LBH, berkonsultasi dengan tim federasi. Di waktu senggang, aku hubungi kawan-kawan yang masih punya nyali. Sedikit… tapi cukup untuk jadi fondasi gerakan.
Sementara itu, di dalam pabrik, suasana makin mencekam.
Suatu sore, aku dipanggil ke ruangan HRD. Di sana sudah menunggu Pak Rudi—manajer SDM yang dulu ramah, tapi kini wajahnya dingin seperti marmer.
“Kami dengar kamu terlibat dalam upaya mengadu pabrik ke Disnaker,” katanya datar. “Apakah benar?”
Aku menatap langsung ke matanya. “Saya hanya menuntut keadilan.”
“Ini bisa membahayakan posisi kamu sendiri, Rina.”
Aku tersenyum kecil. “Saya tahu hak saya. Dan saya juga tahu apa yang kalian langgar.”
Ia diam beberapa saat. Lalu berkata, “Kalau kamu seperti ini, konsekuensinya berat. Ingat keluarga kamu.”
Aku berdiri dari kursi. “Justru karena saya punya keluarga, saya melawan.”
Aku keluar ruangan dengan tangan gemetar. Tapi langkahku mantap. Keluarga yang kumaksud, adalah teman-teman sepabrik itu.
Keesokan harinya, surat somasi pertama dari LBH dikirimkan ke pihak manajemen, menuntut agar Wati dipekerjakan kembali dan meminta klarifikasi atas PHK sepihak. Berita itu cepat menyebar di antara para buruh.
Beberapa mulai kembali mendekatiku. Diam-diam mereka bertanya, “Gimana caranya kalau aku juga mau melapor?” — “Apa bisa ikut konsultasi juga?”
Ketakutan mereka belum hilang, tapi aku bisa melihat: harapan itu belum mati.
Namun, manajemen tidak tinggal diam. Mereka mulai menyebarkan isu bahwa aku dibayar LSM luar negeri, bahwa aku sengaja membuat kekacauan. Bahkan, di papan pengumuman, mereka menempel surat yang menyebutkan bahwa ‘Setiap aktivitas serikat yang mengganggu stabilitas kerja akan ditindak.’
Aku tertawa kecil membaca itu. “Mereka mulai panik,” kataku pada Yati.
Malamnya, aku menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal:
“Berhenti sebelum kamu menyesal. Kami tahu rumahmu.”
Dan beberapa pesan lagi dengan nada yang sama. ANCAMAN.
Kupandangi pesan-pesan itu. Tanganku sempat gemetar, tapi segera kututup layar ponselku dan menatap langit kamar.
“Aku tidak akan mundur, Dit. Mama sudah terlalu lama diam.”
Dan keesokan paginya, bersama Wati dan dua pengacara dari LBH, kami resmi melayangkan gugatan ke Disnaker. Hari itu, nama Rina — buruh biasa — resmi tercatat sebagai pelapor resmi kasus pelanggaran ketenagakerjaan.
Langkah ini mungkin kecil di mata mereka.
Tapi bagi kami, ini bukan sekadar gugatan.
Ini adalah perlawanan.
—————————-