Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB X)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB X)

Baca Sebelumnya..

BAB 10

 

Kekuatan kami kini terasa lebih nyata. Setiap hari, semakin banyak buruh yang datang menghampiriku, berbisik, bertanya-tanya bagaimana caranya bergabung. Bahkan beberapa dari mereka yang sebelumnya diam, kini mulai berani angkat suara, meski tak berani terang-terangan. Mereka memberi tahu tentang ketidakadilan yang mereka alami, tentang upah yang tak sesuai, tentang jam lembur yang tidak dihargai. Tentang cara-cara tak manusiawi yang diterapkan oleh pabrik untuk memeras tenaga mereka.

Hari itu, aku dan kawan-kawan di serikat buruh memutuskan untuk bertindak lebih jauh. Kami tidak lagi hanya mengumpulkan bukti. Kami tidak hanya menunggu keputusan dari Disnaker. Hari itu kami membuat keputusan besar. Aku merasakan beban itu menekan dadaku—ini adalah titik balik.

Kami harus menghentikan produksi.

“Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan terus diperas, terus dibohongi. Ini saatnya kita hentikan mesin yang memperbudak kita!” aku berkata pada mereka di ruang serikat, suara serak karena emosi.

Di tengah kebingunganku, Wati mendekat. “Rina… kita siap?”

Aku menatapnya dalam-dalam. “Kami tidak mundur. Tidak lagi. Sekarang kita tunjukkan pada mereka siapa kita.”

Rencana kami sederhana: Kami akan mengadakan aksi besar-besaran, berhenti bekerja di seluruh pabrik. Kami sudah mengumpulkan cukup banyak tanda tangan dari buruh. Kami sudah mempersiapkan materi dan argumentasi tentang hak-hak kami sebagai pekerja. Kami tahu bahwa dalam skala ini, jika kami berhasil menghentikan produksi, perusahaan akan tersudut. Kami bukan hanya menuntut hak kami, kami juga menuntut agar kami diperlakukan dengan layak.

Keesokan harinya, tepat pukul 10 pagi, kami memulai aksi tersebut. Aku berdiri di depan pintu gerbang pabrik bersama Wati, Aji, dan beberapa kawan-kawan yang sudah lama mendukung perjuangan kami. Semua mesin dimatikan. Para buruh mulai berkumpul. Beberapa dari mereka bahkan membawa poster dan spanduk yang bertuliskan:

“Hentikan Penindasan!”
“Kami Pekerja, Kami Manusia!”
“Masa Depan Kami Bukan Milikmu!”

Kami bergerak perlahan, dengan keyakinan yang mengalir di setiap langkah kami. Tak ada yang berteriak-teriak, namun langkah kami begitu berat, tapi penuh dengan makna.

Tak lama, beberapa manajer datang keluar dari kantor Managemen, wajah mereka marah dan penuh ancaman. Mereka berusaha menenangkan kami dengan kata-kata manis, tetapi aku tahu, ini adalah permainan waktu mereka. Mereka berusaha mengalihkan perhatian dengan cara yang sama seperti yang sudah-sudah—mengancam akan mem-PHK siapa pun yang ikut demo.

“Tunggu, Rina! Jangan berlebihan!” teriak Pak Rudi, manajer SDM yang selalu terlihat dingin. “Kami bisa selesaikan ini dengan baik-baik, kamu harusnya tahu itu.”

Aku menatapnya. “Saya sudah cukup sabar, Pak. Saatnya kalian mendengar kami.”

Wati dan beberapa teman yang lain mengangkat poster tinggi-tinggi. Kata-kata di poster itu menjadi senjata kami. Lebih banyak pekerja keluar dari area pabrik dan bergabung dengan kami. Dengan gerakan pelan, mulai muncul lebih banyak wajah yang sebelumnya tak tampak, tetapi kini menjadi bagian dari kekuatan ini.

Protes kami semakin besar. Di luar, di depan gerbang pabrik, banyak buruh dari pabrik lain mulai datang bersolidaritas. Mereka berteriak, meneriakkan yel-yel penyemangat, Mereka membawa semangat yang sama: perlawanan terhadap ketidakadilan. Mereka membawa bendera serikat pekerja yang mereka percayai. Perlawanan ini lebih dari sekadar menghentikan produksi—ini adalah tentang mendapatkan hak yang sudah lama diambil dari kami.

Tak lama setelah kami mengumpulkan cukup banyak orang, manajemen mulai semakin panik. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Pekerja yang sebelumnya tampak ketakutan kini berdiri tegap, bersatu. Suasana menjadi semakin tegang.

“Kalian semua ini akan dibayar mahal,” ancam Pak Rudi, berdiri di depan kami. “Kalian harus siap menghadapi konsekuensinya.”

“Konsekuensi?” balasku dengan suara lantang. “Yang kami hadapi sudah cukup berat, Pak. Kami bukan lagi takut dengan ancaman.”

Aku memandang ke arah gerbang pabrik yang kini dipenuhi dengan buruh yang sedang berdemo. Aku tahu, perjuangan kami belum berakhir. Kami harus tetap kuat.

Dan saat itulah, di tengah keramaian yang semakin memanas, aku melihat mereka. Polisi datang, dengan kekuatan yang besar. Tapi kali ini, kami tidak akan mundur. Kami tahu, jika kami mundur, kami akan kehilangan segalanya. Dan kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Ketegangan antara kami dan polisi semakin jelas. Namun, berkat persatuan kami, mereka tidak bisa dengan mudah membubarkan kami. Polisi hanya bisa diam, menunggu instruksi lebih lanjut.

Dan saat itulah, aku mendengar suara dari jauh—seperti suara gemuruh. Aku memandang Wati, yang memegang tangan kecilku dengan erat. “Ini dia, Rin. Perubahan besar akan datang.”

Ribuan buruh dari daerah lain datang dengan berbagai kendaraan, terutama motor. Suara knalpotnya menuliknan telinga. Ada mobil komando yang memperdengarkan lagu-lagu perjuangan buruh.

Kulihat beberapa orang di atas mobil komando itu, termasuk Bu Indri, si senior pengurus Federasi. Mereka bergantian berorasi.

Aku tahu saat itu bahwa langkah besar ini bukan hanya tentang pabrik ini. Ini adalah simbol bagi semua buruh yang telah lama terpenjara dalam sistem yang tidak adil. Kami melawan untuk mereka.

****

Ketegangan semakin memuncak. Setelah polisi datang untuk mengamankan situasi, aku merasa ada yang berubah. Mereka—manajemen—tidak hanya marah, mereka benar-benar kesal. Mereka merasa terpojok dan tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi perlawanan kami yang semakin meluas.

Namun, di balik ketegangan itu, aku merasakan sesuatu yang lebih dalam. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Mereka ingin menghentikan kami dengan cara apa pun, dan mereka akan menggunakan segala cara untuk membuat kami takut.

Tepat saat itu, aku menerima telepon dari seorang pengacara yang bekerja sama dengan serikat pekerja. “Rina, kamu harus hati-hati. Manajemen sedang menyusun strategi untuk melawan kalian di jalur hukum. Mereka akan menuntut kamu sebagai provokator. Mereka bilang kamu telah merusak proses produksi dan menyebabkan kerugian besar bagi pabrik.”

Kata-kata pengacara itu membuat hatiku tercekik. Aku tahu, ini bukan hanya masalah hukum. Ini adalah masalah hidup atau mati bagi perjuangan kami. Mereka tidak hanya ingin menyingkirkanku, tetapi mereka juga ingin membuat contoh dari aku—membuat aku takut untuk berbicara lebih banyak, untuk melawan ketidakadilan yang ada.

Aku mencerna informasi itu dengan tenang. Ada ketakutan, tentu saja, tapi aku lebih merasa marah daripada takut. Aku bukan orang yang mudah menyerah, dan aku tahu, aku tidak akan diam saja.

Benar saja, aku dipanggil ke kantor HRD. Wati, Aji, dan beberapa orang yang ikut dalam gerakan ini mendampingiku. Mereka memanggilku untuk dimintai keterangan mengenai demo yang kami lakukan. Aku tahu, ini bukanlah panggilan biasa. Mereka sudah menyiapkan semuanya untuk memojokkanku.

Begitu aku duduk di depan meja HRD, Pak Rudi—manajer yang sejak awal berusaha menenangkan kami dengan ancaman—menatapku dengan tatapan dingin. “Rina, kamu tahu apa yang telah kamu lakukan? Tindakanmu telah mengganggu kelancaran produksi dan merusak reputasi pabrik. Kami tak akan diam saja.”

Aku menatapnya langsung. “Apa yang kalian lakukan pada kami selama ini jauh lebih merusak dari apa pun yang saya lakukan. Kami hanya meminta hak kami yang sudah lama diabaikan!”

Pak Rudi tersenyum sinis. “Kau mengira ini hanya masalah hak-hak pekerja? Kalian telah merusak segala hal. Mengganggu pekerjaan kami, menghentikan produksi, dan bisa membuat kami kehilangan banyak pelanggan. Itu semua karena ulahmu dan para buruh yang kau provokasi.”

Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mengental di ruangan itu. Mereka tidak hanya marah, mereka juga mulai mengancam. “Kami akan memproses ini dengan hukum. Kamu akan kami tuntut atas segala kerugian yang ditimbulkan. Dan jangan berpikir kami akan berhenti di sini. Kami punya cara untuk mengatasi orang-orang seperti kamu.”

Suara Pak Rudi semakin memburuk, seolah-olah mencoba meyakinkan diriku bahwa tidak ada jalan keluar bagi kami. Namun, aku tahu ini adalah permainan yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang ancaman—ini adalah taktik mereka untuk melemahkan kami.

Aku berdiri dengan tegap, menatap Pak Rudi. “Jika kalian pikir ini hanya soal kerugian, maka kalian salah. Ini tentang hak. Dan aku akan berjuang untuk itu. Tidak akan ada yang menghentikan kami, Pak!”

Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Mereka tidak menyangka aku akan menjawab seperti itu. Mereka tahu, aku takkan mudah menyerah. Dan Akupun tahu, langkahku ini berisiko besar, tetapi aku tak bisa mundur. Ini bukan hanya untuk diriku, ini untuk semua orang yang telah lama terdiam dan terhimpit oleh ketidakadilan.

Namun, di balik kata-kata itu, aku tahu manajemen tidak akan berhenti. Menjelang sore, aku putuskan untuk mengakhiri demo hari itu. Karena setelah konsultasi dengan Kawan-kawan di LBH, demo hari itu hanya menunjukkan kekuatan kami.

 

Namun, mereka mulai bermain lebih keras. Hari-hari berikutnya terasa lebih menekan. Beberapa dari teman-teman mulai menerima tekanan dan ancaman, ada yang dipindahkan ke bagian-bagian yang lebih berat, ada yang dibatasi jam kerjanya, bahkan ada yang diberhentikan tanpa alasan yang jelas.

Pikiran tentang apa yang sedang mereka rencanakan membuat dadaku semakin sesak. Aku tahu mereka tak akan berhenti begitu saja. Mereka pasti akan mencoba cara lain. Dan tak lama kemudian, berita itu datang—teman-teman kami yang terlibat dalam demo tempo hari mulai dipanggil satu per satu untuk dimintai keterangan. Beberapa dari mereka mulai menghilang dari radarnya. Ada yang pergi diam-diam, ada yang mulai takut untuk berbicara.

Aku bisa merasakan kekalahan mulai merayapi mereka. Mereka merasa terpojok, kehilangan harapan. Aku harus bertindak cepat. Aku harus memberikan mereka keyakinan bahwa ini bukan saatnya untuk mundur. Mereka harus tahu bahwa perjuangan ini jauh lebih besar dari ketakutan yang mereka rasakan.

Aku kembali mengumpulkan semua buruh yang masih berani berdiri tegak. Wati dan Aji berdiri di sampingku, memberikan dukungan yang luar biasa. Kami berbicara kepada mereka dengan tegas dan penuh semangat.

 

“Jangan biarkan mereka menang dengan cara ini. Kita sudah sampai sejauh ini, dan kita takkan mundur! Kita bukan hanya berjuang untuk kita, tapi untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita. Kita bisa!”

Lalu, satu per satu, wajah-wajah yang tadinya penuh keraguan kini mulai menunjukkan tekad. Mereka tidak takut lagi. Kami sudah memulai jalan ini, dan kami tidak akan berhenti sampai hak-hak kami dihargai.

Baca Kelanjutannya..