Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB XI-XIII)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB XI-XIII)

BAB 11

Hari itu, aku terbangun dengan perasaan cemas yang mengganggu. Pagi itu, ada suasana yang berbeda di pabrik—seperti ada sesuatu yang besar akan terjadi. Aku merasakan ketegangan di udara, meskipun ada juga rasa harapan yang semakin menguat di hati buruh-buruh yang tetap bersama kami.

Begitu aku sampai di pabrik, aku langsung merasakan perubahan. Ada yang aneh. Manager HRD sudah menungguku di depan pintu gerbang, dengan wajah yang sangat serius. Ketika aku melangkah masuk, dia langsung memanggilku ke ruangannya tanpa basa-basi.

“Aku harus menginformasikan sesuatu yang penting, Rina,” kata Pak Rudi dengan nada yang lebih tajam dari biasanya.

Aku duduk dengan hati-hati. Meskipun aku tahu ini adalah bagian dari permainan mereka, tetap saja perasaan was-was itu datang. Mereka pasti akan memanfaatkan posisi ini untuk menekan kami lebih dalam.

“Ada surat keputusan yang harus kamu terima,” lanjut Pak Rudi, seraya menyodorkan sebuah surat. “Pihak manajemen telah memutuskan untuk memberhentikanmu dengan alasan merusak kelancaran produksi dan melakukan aksi yang merugikan perusahaan.”

Aku membaca surat itu dengan detak jantung yang semakin cepat. Di dalamnya tertulis bahwa aku di-PHK sepihak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mereka bahkan mencantumkan alasan yang mengada-ada, seolah-olah aku adalah satu-satunya penyebab kerusakan besar yang mereka alami. Ternyata, ancaman mereka tidak hanya sekadar kata-kata, tapi benar-benar mereka lakukan.

“Ini tak adil!” kataku dengan suara yang bergetar. “Kalian tidak bisa melakukan ini begitu saja! Ini ilegal. Kalian harus mengikuti aturan-aturan yang ada.”

Pak Rudi menatapku dingin, seolah tak peduli dengan kata-kataku. “Ini sudah keputusan final. Jika kamu tidak terima, kami akan bawa masalah ini ke jalur hukum.”

Aku berdiri dengan tegas. Tentu saja, ini adalah langkah mereka untuk mematahkan semangat kami. Tapi aku tidak akan menyerah. Selama ini, kami sudah memperjuangkan hak-hak yang seharusnya kami dapatkan. Jika aku diam sekarang, semua yang sudah kami lakukan selama ini akan sia-sia.

“Kami akan melawan keputusan ini,” kataku dengan suara yang lebih keras, walau bibirku bergetar. “Kalian tidak bisa begitu saja mengabaikan undang-undang tenaga kerja. Kami punya hak untuk bekerja dan dihargai dengan layak!”

Pak Rudi hanya tersenyum sinis, lalu berkata, “Kamu bebas mengajukan banding. Tapi selama proses itu, kamu akan dianggap tidak aktif di sini, dan gaji akan dipotong.”

Aku tahu mereka sedang berusaha menekan. Aku juga tahu mereka ingin membuatku merasa tak berdaya, terpojok, dan akhirnya menyerah. Tapi aku punya keyakinan bahwa ini bukanlah akhir. Justru ini adalah awal dari perjuangan yang lebih besar.

Segera setelah aku keluar dari ruang HRD, aku melihat beberapa teman buruh yang juga tampaknya sudah mendengar kabar buruk itu. Wati, Aji, dan beberapa lainnya sudah menunggu di luar, wajah mereka penuh kecemasan.

“Apa yang terjadi, Rina?” tanya Aji dengan suara pelan, namun jelas terdengar ketakutan.

Aku tidak bisa menahan diri. Air mata mengalir begitu saja. “Aku di-PHK. Mereka tidak bisa begitu saja melakukan ini… Tapi mereka sudah melakukannya. Aku tak tahu apa yang harus kita lakukan.”

Wati menepuk pundakku dengan lembut. “Jangan khawatir, Rina. Kita bersama. Kamu bukan sendiri. Mereka mungkin mencoba mematahkan kita, tapi kita tidak akan mundur.”

Aku mengusap air mataku dan mencoba menenangkan diri. Aku harus menjadi kuat, bukan hanya untuk diriku, tapi untuk semua orang yang masih bersama kami. Ini adalah saat yang krusial—saat di mana kami harus lebih bersatu dari sebelumnya.

Kami memutuskan untuk berkumpul dengan yang lain. Mereka sudah mengetahui kabar buruk ini, dan aku tahu mereka juga merasa ketakutan. Namun, justru di saat seperti ini, aku merasa mereka membutuhkan semangatku untuk tetap bertahan.

Aku berdiri di hadapan mereka, meskipun hati ini terasa berat, aku tahu aku harus memberikan mereka keyakinan. “Ini bukan saatnya untuk takut,” kataku dengan suara yang penuh tekad. “Kami sudah sampai sejauh ini, dan aku tidak akan mundur hanya karena mereka mencoba memecah belah kita. Kita harus melawan ini. Kita semua punya hak yang harus diperjuangkan.”

Mereka mulai berdiri satu persatu, memberikan dukungan. Tidak ada lagi wajah cemas yang terlihat—hanya tekad yang membara di mata mereka. Kami bersumpah untuk melanjutkan perjuangan ini, apa pun yang terjadi.

Dengan semangat baru, kami merencanakan langkah selanjutnya. Hari itu, aku sadar betul bahwa ini adalah momen yang menentukan. Ini bukan hanya soal aku. Ini tentang setiap buruh yang terpojok, yang tidak punya suara. Kami akan memperjuangkan hak kami hingga titik darah penghabisan.

Aku tahu ini akan lebih berat, lebih sulit, tetapi satu hal yang pasti—kami tidak akan menyerah.

***

Kami telah membuat pilihan, dan pilihan itu mengubah segalanya. Sekarang, kami harus siap menghadapi perlawanan yang lebih besar, bahkan jika itu berarti bertarung melawan kekuatan yang jauh lebih besar.

Hari itu, atmosfer pabrik terasa semakin tegang. Kami yang sebelumnya mengumpulkan kekuatan, menyiapkan rencana, kini harus menghadapi kenyataan pahit: mereka tidak hanya akan menekan kami dengan kata-kata dan ancaman. Pabrik mendatangkan bala bantuan yang lebih berbahaya—preman bayaran.

Malam itu, aku menerima pesan dari salah satu teman buruh, Zainal. “Rina, hati-hati, ada yang tidak beres. Aku lihat beberapa orang asing masuk ke pabrik tadi siang. Mereka kelihatan seperti bukan orang biasa.”

Aku tahu apa artinya ini. Mereka datang untuk membuat kami mundur, untuk membungkam suara kami dengan cara yang lebih kejam. Beberapa dari kami sempat mendengar desas-desus bahwa manajemen telah menyewa orang-orang ini untuk menakut-nakuti kami, untuk mengintimidasi agar kami berhenti berdemo dan melawan. Namun, kami tetap teguh pada tujuan kami.

Esoknya, suasana di pabrik semakin mencekam. Ketegangan tidak hanya terasa di dalam pabrik, tapi juga di luar. Pagi itu, aku melihat beberapa pria besar dengan wajah dingin dan tatapan mengancam berdiri di dekat pintu masuk. Mereka bukan orang biasa. Mereka mengenakan jaket kulit hitam, rambut cepak, wajah dan lengan mereka dipenuhi tato yang membuatnya terlihat menakutkan. Tak ada yang berani mendekat, bahkan buruh yang biasanya berbicara bebas tampak merunduk ketakutan.

Kami, yang sudah berkumpul di halaman depan pabrik, mulai merasakan ketidaknyamanan yang semakin mengganjal. Aku bisa melihat dari wajah teman-teman yang hadir bahwa mereka mulai ragu. Sejumlah orang mulai berdiskusi dengan suara pelan, beberapa memilih untuk mundur sedikit demi sedikit.

“Rina, bagaimana ini? Mereka sudah membawa preman!” suara Aji terdengar cemas. “Mereka bilang kalau kita tetap melawan, mereka akan menyelesaikan semuanya dengan cara mereka. Apa kita masih bisa melanjutkan ini?”

Aku menatap mereka, mencoba memberikan semangat yang aku sendiri belum sepenuhnya yakin. Aku tahu betapa sulitnya situasi ini. Melawan perusahaan yang memiliki kekuasaan dan uang adalah hal yang jauh lebih besar daripada yang pernah kami bayangkan. Tapi aku juga tahu satu hal: jika kami mundur, maka kami akan kehilangan semua yang sudah kami perjuangkan. Seluruh perjuangan akan sia-sia.

“Aji, kita tidak bisa mundur sekarang,” kataku dengan suara yang lebih yakin. “Mereka mencoba menakut-nakuti kita, tapi itu justru membuktikan bahwa kita berada di jalan yang benar. Kita berjuang untuk hak kita. Kita berjuang untuk masa depan kita.”

Beberapa teman yang tadinya ragu, mulai mengangguk. Kami memutuskan untuk tetap berdiri teguh dan tidak melangkah mundur. Kami sudah sampai sejauh ini, dan tak ada yang bisa menghalangi kami.

Tapi, segalanya berubah begitu cepat. Sore itu, saat kami sedang berkumpul di luar, tiba-tiba sekumpulan orang berseragam hitam muncul. Mereka membawa pentungan dan mulai menghampiri kami dengan langkah pasti. Tatapan mereka kosong, tanpa emosi, hanya ada kekerasan yang tampaknya terencana. Mereka tidak hanya datang untuk mengintimidasi, tapi untuk menghancurkan semangat kami.

Aku bisa mendengar teriakan beberapa teman yang terkejut, beberapa sudah mulai mundur dan mencari tempat berlindung. Namun aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa meninggalkan teman-temanku. Ini adalah ujian terbesar kami.

“Jangan mundur!” teriakku, mencoba menenangkan semua orang. “Kita kuat, kita sudah sampai sejauh ini. Kita tidak akan menyerah!”

Namun, mereka semakin mendekat. Aku bisa mendengar suara langkah kaki mereka yang berat, semakin dekat. Mereka tidak hanya ingin mengusir kami, mereka ingin membuat kami takut. Aku tidak tahu seberapa banyak dari mereka, tapi yang aku tahu, mereka semua dilatih untuk menakut-nakuti, untuk menghancurkan perlawanan.

Aku menatap mereka dengan mata yang penuh tekad. “Kalian tidak akan bisa membuat kami mundur,” kataku dengan berani.

Tiba-tiba, salah satu dari mereka bergerak mendekat. Dia memegang tongkat kayu dan menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku tahu dia akan menakut-nakuti aku, tetapi aku tidak akan goyah. Aku tidak bisa goyah. Aku harus tetap berdiri.

“Jangan coba-coba. Kalau kalian ingin menghentikan kami, kalian harus mengalahkan kami semua,” seruku, mencoba menguatkan hati teman-teman.

Namun, salah satu preman itu mengangkat tongkatnya dan melangkah maju. Sebelum aku sempat bereaksi, dia mengayunkan tongkatnya ke arahku. Aku menutup mata, merasakan angin yang cepat, tetapi tubuhku tidak terhantam. Teman-teman kami sudah bergerak maju, melawan mereka dengan semangat yang luar biasa.

Aji, Zainal, dan beberapa lainnya mulai maju dengan berani, melawan para preman. Suasana menjadi chaos, tapi kami tidak menyerah. Kami tidak takut. Kami melawan untuk masa depan kami.

Tiba-tiba, suara sirene polisi terdengar. Polisi datang, dan di tengah keributan itu, mereka mulai berusaha meredakan ketegangan. Polisi memisahkan kami dari para preman yang sengaja dihadirkan untuk membuat kami mundur.

Saat semuanya mulai mereda, aku tahu satu hal—perjuangan kami baru saja dimulai. Tidak ada yang bisa menghalangi langkah kami, bahkan kekerasan sekalipun.

Dengan hati yang penuh semangat, kami berdiri tegak, siap untuk melawan apa pun yang datang. Kami tahu bahwa jalan kami masih panjang. Tapi kami juga tahu satu hal: tidak ada yang bisa menghentikan kami, karena kami berjuang untuk hak kami.

 

Dan kami akan terus berjuang.

BAB 12

 

Kami telah melalui pertempuran yang panjang, dan meskipun suara sirene polisi mulai mereda, ketegangan di udara masih terasa kental. Namun, saat kami kembali berdiri dengan semangat yang tidak luntur, kami menyadari satu hal: hari ini bukanlah akhir. Hari ini adalah titik balik.

Polisi sudah meninggalkan lokasi, dan kerumunan pendemo mulai menghilang satu per satu, tetapi kami masih bertahan. Udara terasa panas, penuh ketegangan. Beberapa teman mulai membersihkan sisa-sisa kekacauan, sementara yang lainnya berdiri diam, seakan merenungkan apa yang baru saja terjadi. Kami masih berada di luar pabrik, namun kami tahu—mereka tidak akan membiarkan kami pergi begitu saja.

Ketika matahari hampir terbenam, sebuah mobil besar meluncur ke dalam area pabrik, diikuti oleh beberapa mobil lainnya. Seketika, suasana menjadi hening. Semua mata kami terarah ke pintu masuk, tempat mobil tersebut berhenti. Dari dalam mobil itu keluar seorang pria berbaju formal dengan wajah yang tampak lebih tua, namun penuh ketegasan. Dia terlihat berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya datang ke sini. Dia bukan preman, bukan orang yang hanya ingin mengintimidasi kami. Ini adalah seseorang yang datang dengan kuasa yang lebih besar.

“Aku CEO pabrik ini,” kata pria itu dengan suara yang dalam dan penuh wibawa. “Namaku Xu Liang. Aku datang untuk berbicara denganmu, Rina.”

Namaku disebut, dan aku merasa ada ketegangan baru yang menjalar dalam diriku. Aku melangkah maju, dikelilingi oleh teman-temanku yang juga tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku harus siap menghadapi apapun yang akan ditawarkan oleh pria ini, tapi aku tahu, apapun itu, aku tidak akan mundur.

“Apa yang bisa kamu tawarkan kepada kami, Pak Xu?” tanyaku, suara ku berusaha tetap tenang meskipun hati berdebar.

Xu Liang menatapku dengan mata yang penuh perhatian. “Aku tidak tahu banyak tentang situasi di sini. Yang saya tahu, ada pelanggaran yang terjadi, dan saya merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Saya ingin mendengar dari pihak buruh, dari kalian, untuk menemukan solusi yang adil bagi semua.”

Teman-temanku terkejut, beberapa bahkan saling berpandangan. Ini bukan seperti yang mereka bayangkan. Xu Liang tidak datang dengan ancaman, melainkan dengan tawaran untuk mediasi. Tapi, apakah itu benar-benar akan membawa perubahan yang kami inginkan? Atau apakah ini hanya trik lain untuk menenangkan kami?

“Jadi, Anda baru datang setelah melihat demonstrasi besar-besaran ini?” tanya aku dengan nada penuh skeptisisme.

Xu Liang mengangguk. “Ya. Saya minta maaf jika saya terlambat mengetahui hal ini. Tetapi sekarang saya di sini, dan saya ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Saya tahu bahwa kalian berjuang untuk hak kalian, dan saya menghargai keberanian kalian. Mari kita cari solusi bersama.”

Aku terdiam, berpikir. Dalam hati, aku merasa ada sedikit harapan. Namun, aku juga tahu bahwa ini bisa saja hanya omong kosong, dan aku tidak bisa begitu saja mempercayai kata-kata manisnya. “Kami berjuang untuk hak-hak dasar kami. Kami ingin ada perbaikan dalam kondisi kerja, pengakuan serikat buruh, dan agar kami diperlakukan dengan adil,” jawabku tegas.

Xu Liang menatapku lebih dalam, seakan mencoba membaca pikiranku. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, dia mengangguk pelan. “Saya mengerti. Saya akan memeriksa lebih lanjut apa yang terjadi di sini. Saya juga ingin tahu lebih banyak tentang manajemen pabrik yang lama. Apa yang mereka lakukan yang tidak sesuai dengan hukum.”

Tiba-tiba, aku merasa seolah ada harapan yang terlahir kembali. Sejak pertama kali aku memutuskan untuk melawan, aku selalu berpikir bahwa suara kami akan tenggelam begitu saja. Namun, hari ini, ada seseorang yang berkuasa yang siap mendengarkan kami. Itu adalah awal yang baru, meskipun aku tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan.

“Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” tanya Aji, salah satu teman yang selalu mendukungku sejak awal.

Xu Liang mengangkat alis. “Sekarang saya akan segera melakukan penyelidikan internal. Saya ingin tahu apa yang terjadi di sini dan siapa yang bertanggung jawab. Saya akan berbicara dengan manajer dan staf, dan saya akan memberikan keputusan setelah itu.”

Setelah beberapa lama berdiskusi, Xu Liang akhirnya meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan penyelidikannya. Kami yang masih bertahan di luar pabrik merasa seolah ada angin segar yang datang. Kami tahu, meskipun tidak ada jaminan langsung bahwa semua masalah akan selesai dengan mudah, ini adalah kesempatan yang sangat langka untuk mengubah keadaan.

Sore itu, aku berdiri di tengah-tengah teman-temanku, merasakan kembali semangat yang dulu sempat padam. Kami akan terus berjuang, dengan cara yang lebih terorganisir, dengan harapan yang baru. Meskipun masih banyak yang harus dilakukan, aku tahu satu hal pasti: kami tidak akan mundur.

Di dalam hatiku, aku mulai membayangkan masa depan di pabrik ini. Pabrik yang selama ini hanya dipenuhi ketakutan dan ketidakpastian, mungkin suatu saat nanti akan menjadi tempat yang lebih baik bagi kami semua. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kami terus bersatu, terus melawan untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kami.

Dan meskipun tantangan berikutnya semakin berat, aku tahu kami sudah memulai langkah besar menuju perubahan.

BAB 13

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Xu Liang, kami tidak tahu pasti apa yang terjadi di balik layar. Namun, setiap langkah yang dia ambil membawa sedikit harapan bagi kami, dan kini, saatnya kami mengetahui lebih banyak.

Pagi itu, saat aku tiba di pabrik untuk melanjutkan perjuangan, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih tegang, lebih berat. Semua karyawan terlihat cemas, seolah menunggu kabar buruk atau mungkin, kabar baik. Aku tahu ini adalah titik balik yang bisa membawa kami ke arah yang lebih baik, atau malah semakin terperosok ke dalam ketidakpastian.

Tepat saat aku melangkah masuk ke area pabrik, aku melihat beberapa manajer berkumpul di sudut ruangan, tampaknya sedang berbicara serius. Namun, aku tidak bisa mendengar percakapan mereka. Suara mesin yang berputar dan bising menutupi semua itu. Tetapi yang membuatku merasa aneh adalah mereka tidak melihat kami dengan tatapan yang sama lagi. Ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berbuat seperti biasa. Aku merasa kami mulai mempengaruhi mereka—atau setidaknya, ada ketakutan di mata mereka.

Kemudian, tiba-tiba, Xu Liang muncul di depan kami. Dia berjalan dengan penuh keyakinan, matanya tajam memandang ke arah para manajer yang terkejut melihat kehadirannya. Semua orang diam, seolah terkejut dengan keberanian Xu Liang untuk datang ke pabrik pada jam kerja seperti ini.

“Saya telah melakukan investigasi internal,” kata Xu Liang, suaranya tegas dan penuh wibawa. “Saya menemukan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di bawah pengawasan manajemen lama. Ada banyak hal yang tidak sesuai dengan peraturan tenaga kerja yang berlaku.”

Seperti halnya ketika ada ledakan kecil di dalam kerumunan, seluruh pabrik tiba-tiba hening. Bahkan mesin-mesin yang biasanya bising pun terasa mereda. Semua mata tertuju pada Xu Liang. Suasana berubah sangat cepat dari ketegangan menjadi penuh keingintahuan.

Aku berdiri di sana, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Xu Liang. “Saya sangat terkejut mengetahui bahwa manajer pabrik ini, beserta beberapa bawahannya, telah menyembunyikan informasi penting tentang kondisi kerja, jam lembur yang melampaui batas, bahkan pengurangan upah secara sepihak. Ini semua melanggar hak-hak pekerja yang dilindungi oleh undang-undang.”

Aku merasa hatiku berdetak lebih cepat. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah aku duga. Ternyata, bukan hanya kami yang telah diperlakukan tidak adil, tetapi juga mereka yang sebelumnya berpura-pura tidak tahu. Tidak hanya diriku dan teman-temanku yang tersakiti, melainkan seluruh karyawan di pabrik ini. Rasa marah dan kecewa begitu menggelora dalam dada, namun ada secercah harapan yang tumbuh di dalam diriku.

Xu Liang melanjutkan, “Saya akan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku. Mulai hari ini, mereka tidak akan bekerja di pabrik ini lagi. Semua kebijakan yang melanggar hak-hak buruh akan dicabut, dan setiap pengurangan gaji atau jam kerja yang tidak sesuai dengan aturan akan dibayar kembali kepada karyawan yang terpengaruh.”

Sebuah gemuruh perlahan muncul dari teman-teman buruh yang ada di sekitarku. Aku bisa melihat air mata kegembiraan di wajah beberapa orang. Kami berjuang keras selama ini, dan akhirnya, ada orang yang berkuasa yang mendengar dan bertindak untuk kami.

Tetapi, aku tahu bahwa ini belum berakhir. Aku melihat beberapa manajer yang tadi berkumpul, kini tampak kebingungan dan marah. Mereka tidak terima dengan keputusan Xu Liang. Aku bisa merasakan suasana yang semakin panas. Mereka pasti akan melawan. Tapi kali ini, aku yakin kami sudah terlalu kuat untuk ditakut-takuti.

Xu Liang menambahkan, “Untuk sementara, saya akan menempatkan pengawas baru untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang diberlakukan benar-benar memenuhi standar yang ada. Kami akan melakukan perbaikan, dan saya mengundang para wakil buruh untuk berdialog lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang perlu diambil.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di depan mata kami. Ini bukan hanya tentang mengubah kebijakan pabrik atau mendapatkan hak-hak kami yang selama ini terabaikan. Ini lebih dari itu. Ini tentang menegakkan keadilan, tentang memastikan bahwa setiap buruh yang ada di pabrik ini tidak hanya menjadi alat produksi, tetapi juga dihargai sebagai manusia.

Namun, meskipun Xu Liang memberi harapan baru, aku tahu bahwa tantangan kami belum selesai. Manajemen yang lama pasti akan berusaha untuk mengembalikan keadaan seperti semula, mereka tidak akan menyerah begitu saja. Aku melihat beberapa teman yang mulai merasa cemas, mereka takut perubahan ini hanya akan berlangsung sementara.

“Rina, apakah kamu yakin kita bisa memenangkan ini?” tanya Aji, salah satu teman yang selalu mendukungku.

Aku menatapnya dengan tegas. “Kita tidak akan mundur. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga untuk mereka yang tidak berani bersuara. Ini adalah hak kita, dan kita harus melawan sampai akhir.”

Aku bisa melihat teman-temanku mulai percaya lagi. Di dalam hati, aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan banyak rintangan yang harus kami hadapi. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa yakin bahwa kami akan menang. Kami tidak lagi sendirian. Ada kekuatan yang lebih besar di belakang kami.

“Ini baru permulaan,” kataku, sambil menatap Xu Liang yang sedang berdiri di depan kami. “Kami akan terus berjuang, sampai semua hak kami dipenuhi.”

Xu Liang mengangguk, dan aku bisa melihat bahwa dia sungguh-sungguh ingin mendukung perjuangan kami. “Saya janji, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki ini,” katanya dengan serius.

Dan di situlah, di tengah-tengah pabrik yang penuh dengan rasa tidak pasti, kami merasa sedikit lebih kuat. Ada harapan yang mulai tumbuh, dan meskipun perjalanan kami masih panjang, kami tahu kami berada di jalur yang benar.