Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB VII)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB VII)

Baca Sebelumnya..

 

BAB 7

Pemakaman dilakukan siang hari itu juga. Beberapa tetangga datang. Bu Rani menangis dan menggenggam tanganku sepanjang prosesi. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa. Bahkan untuk menjawab salam pun rasanya aku hanya bisa mengangguk. Hatiku seperti sudah tidak berada di tubuh ini.

Saat tanah mulai menutupi makam kecil itu, aku terduduk di samping pusara. Tangan ini terus menggenggam surat pengunduran diri yang tak sempat kuserahkan. Ironis. Aku menulis surat itu untuk menyelamatkan waktuku bersama Adit… tapi ternyata aku kalah cepat.

Semua usahaku, semua rencana baru, semua pengorbanan itu… datang terlambat.

Dan hari itu aku sadar satu hal yang menusuk:

‘Yang paling menyakitkan bukan kehilangan… tapi tahu bahwa kita bisa mencegahnya—jika saja kita bertindak lebih cepat’.

***

Aku pulang dari pemakaman Adit seperti tubuh tanpa jiwa. Mata ini bengkak, kering, dan perih, tapi air mata tetap mengalir begitu saja, entah dari mana datangnya. Rumah terasa kosong… terlalu sunyi. Tak ada lagi suara Adit memanggilku dari dapur, tak ada tapak kecil yang biasanya menari-nari di lantai saat aku pulang kerja. Yang tersisa hanya sepasang sandal kecil di depan pintu, dan segelas susu di meja makan yang belum disentuh.

Beberapa hari kemudian, dengan langkah berat, aku kembali ke pabrik. Bukan untuk bekerja, tapi untuk mengambil surat pengunduran diri yang sempat kutinggalkan dan membawa pulang barang-barang pribadiku. Aku kira, setidaknya akan ada satu atau dua orang yang menanyakan kabar atau menunjukkan sedikit empati.

Tapi aku keliru.

Saat masuk ke area pabrik, tak ada yang menatapku lama. Bahkan teman-teman yang biasa duduk bersamaku saat istirahat hanya melirik cepat, lalu kembali sibuk menekuni mesin dan laporan. Seolah aku ini hanya bayangan masa lalu yang tidak penting lagi.

Di papan pengumuman dekat pintu masuk, aku melihat selebaran baru dengan huruf kapital tebal:

“TARGET PRODUKSI BARU DITETAPKAN: 20% LEBIH TINGGI MULAI MINGGU INI.”
“LEMBUR WAJIB BAGI SEMUA SHIFT HINGGA AKHIR BULAN.”

Aku terdiam. Nafasku tercekat. Tanganku mengepal tanpa sadar.

Tak ada satu pun ucapan belasungkawa. Tak ada surat duka. Tak ada pengurangan beban.
Justru sebaliknya—target ditambah, beban diperbesar. Seolah yang pergi hanyalah angka, bukan manusia.

Tadi, saat melewati jalur produksi, aku sempat menatap para pekerja yang akan lembur. Wajah mereka penuh kantuk, mata mereka kosong, tapi tangan mereka tetap bergerak cepat—mengejar waktu, mengejar target.

Dan di situlah aku sadar. Bukan hanya aku yang kehilangan sesuatu.
Kami semua sudah kehilangan terlalu banyak.

Waktu. Keluarga. Diri sendiri.

Target demi target terus dinaikkan, tapi harga yang harus dibayar adalah kemanusiaan yang perlahan-lahan dilucuti. Satu per satu.

***

Aku berdiri terpaku di depan papan pengumuman itu. Geram. Target produksi dinaikkan lagi. Dan tak satu pun manajemen datang menanyakan keadaanku sejak Adit dimakamkan.

Entah kenapa … tiba-tiba ada sesuatu yang menghalangi niatku. Aku tidak boleh pergi!

Padahal hari ini, aku membawa surat pengunduran diriku. Sudah kutulis sejak lama, saat jiwaku masih penuh luka kehilangan. Tapi melihat papan itu, membaca angka-angka yang semakin tak masuk akal, dan menyadari bahwa tak ada satu pun suara yang membela kami para pekerja, aku tahu, pergi bukanlah jawabannya.

Kalau aku pergi, tak ada yang tersisa di sini untuk melawan.
Kalau aku pergi, Adit hanya akan menjadi catatan sakit yang dilupakan.

Lagian, aku sekarang sendiri, tak ada beban. Jika ada yang mulai melawan, itu harus aku!

Jadi kulipat kembali surat resign itu. Kuselipkan di balik dompet, dan untuk pertama kalinya sejak hari itu, aku melangkah ke dalam pabrik bukan sebagai buruh biasa.

Aku melangkah sebagai seseorang yang siap melawan!

Di antara suara mesin jahit yang bising dan aroma pelumas yang menusuk hidung, aku mulai memperhatikan satu per satu wajah-wajah lelah itu. Mereka yang masih bekerja meski demam, mereka yang tak sempat makan siang, mereka yang mengangguk patuh meski ingin menangis.

Mereka seperti aku.

Dan kalau aku bisa bicara, mungkin mereka juga bisa.

Aku mulai mendekati orang-orang yang kupercaya. Nina dari bagian pengemasan. Pak Rio dari gudang. Yani yang selalu pulang terakhir. Aku tidak bicara terang-terangan. Semuanya diam-diam. Lewat bisikan saat istirahat, lewat pesan singkat, lewat kopi sore sebelum lembur.

“Kita bisa bentuk suara sendiri,” kataku lirih. “Kalau kita satu, kita tak bisa diabaikan.”

Mereka ragu. Tentu saja. Di pabrik ini, bicara terlalu keras bisa berarti SP. Bertanya terlalu banyak bisa berarti mutasi. Tapi aku bersabar. Aku tahu luka mereka belum sembuh, dan mereka belum percaya bahwa bisa ada harapan.

Tapi malam demi malam, satu demi satu mulai mendekat. Mereka bertanya lebih banyak. Mereka mulai bercerita. Dan akhirnya, mereka bertanya hal yang paling berani:

“Kalau kita mulai … mulai dari mana?”

Aku menahan air mata saat mendengar itu. Bukan karena takut. Tapi karena tahu, aku tidak lagi sendirian.

Aku tidak langsung tahu jawabannya. Aku bukan ahli hukum. Aku bukan aktivis. Aku hanyalah seorang ibu yang kehilangan anak karena sistem yang tak memihak buruh kecil. Tapi malam itu, aku duduk di depan layar ponselku, mencari satu demi satu informasi tentang hak pekerja, serikat buruh, dan cara membentuknya—secara legal, secara aman.

Ternyata… kita punya hak. Selama ini, kami dibungkam bukan karena kami tak punya suara, tapi karena kami tidak tahu cara menggunakannya.

Keesokan harinya, di sela istirahat, aku bertemu dengan Nina dan Pak Rio di belakang ruang forklift, tempat biasa kami berteduh dari matahari. Aku tunjukkan beberapa catatan dan link yang sudah kucatat semalam.

“Ada Undang-Undang yang melindungi kita,” bisikku. “Kita punya hak berserikat. Tapi harus pelan. Kalau terlalu terbuka, bisa disabotase sejak awal.”

Pak Rio mengangguk, wajahnya tegang tapi matanya menyala. “Kita mulai dari yang percaya dulu.”

Maka terbentuklah lingkaran pertama. Kami menyebutnya Lingkar Telinga. Tidak ada ketua. Tidak ada rapat. Hanya diskusi kecil dan saling jaga. Semua dilakukan diam-diam—bahkan saat mencetak brosur kecil tentang hak buruh, kami menggunakan printer rumah Nina dan menyelipkannya dalam bungkus nasi bungkus saat makan siang.

Jumlah kami tumbuh. Dari 5 menjadi 11. Lalu 17. Lalu 24. Ada yang datang dengan semangat. Ada yang datang dengan takut. Tapi yang pasti, tidak ada yang datang dengan harapan palsu. Semuanya datang karena lelah.

Suatu malam, aku mengumpulkan mereka di rumahku. Aku siapkan teh panas dan kursi plastik seadanya. Kami duduk dalam lingkaran, memegang tangan satu sama lain seperti keluarga.

“Kita akan membuat Serikat Pekerja, Serikat ini bukan untuk melawan,” kataku, suaraku lirih tapi mantap. “Ini untuk menyelamatkan. Kita tidak mau jadi korban berikutnya. Kita mau didengar.”

Tangis kecil terdengar dari ujung. Yani, yang anaknya juga sempat masuk IGD karena kekurangan gizi. Ia menggenggam tanganku.

“Aku nggak mau kehilangan anakku juga, Rin.”

Malam itu, kami menamai serikat kami: “Suara Mesin”—karena kami lah mesin-mesin yang tak pernah berhenti bekerja, tapi juga manusia yang ingin hidup layak.

Namun perjuangan belum dimulai. Kabar soal gerakan kami mulai tersebar. Ada yang berbisik, ada yang mengawasi lebih sering. Mandor tampak lebih waspada. Bahkan, di ruang produksi, mulai ada CCTV baru dipasang diam-diam.

Aku tahu, kami akan segera masuk ke fase paling berbahaya:
Saat suara mulai terdengar, telinga yang tak suka akan mencoba membungkamnya!

Tapi kami tak bisa mundur.
Karena di belakangku, ada puluhan orang yang menggantungkan harapan. Dan di hatiku, ada nama Adit yang tak boleh sia-sia.

Baca Kelanjutannya..