Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB IV)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB IV)

Baca Sebelumnya..

BAB 4

Aku tahu, cepat atau lambat, kelalaianku pasti akan berbuntut panjang. Dan pagi itu, saat semua pekerja baru saja memulai shift, namaku dipanggil ke ruang mandor. Perasaanku langsung tidak enak.

Langkah kakiku terasa berat saat berjalan ke ruang kecil itu—ruangan yang dikenal semua buruh sebagai tempat di mana suara rendah bisa berubah jadi bentakan, dan senyum bisa berganti dengan coretan tinta merah di atas selembar kertas peringatan.

Di sana, Pak Beni sudah menungguku. Wajahnya tak menunjukkan marah, tapi ekspresi datarnya justru membuat jantungku berdegup tak karuan.

“Rina,” katanya datar, “Ini bukan pertama kalinya kamu telat setor laporan kerja. Kemarin, komponen salah susun. Hari ini, kamu tidak hadir di briefing pagi. Kamu tahu akibatnya, kan?”

Aku mencoba menjelaskan, suaraku nyaris tercekat. “Maaf, Pak… Adit—anak saya—demam tinggi semalam. Saya kurang tidur, dan…”

Pak Beni langsung memotong. “Kami tidak bisa terus-menerus mengakomodasi masalah pribadi. Ini tempat kerja, bukan tempat curhat. Saya ngerti kamu ibu tunggal, tapi semua orang di sini punya masalah. Tugas saya adalah memastikan target pabrik tercapai.”

Ia menyodorkan selembar kertas. Surat peringatan resmi. Tanda tangannya sudah di situ. Hanya tinggal tanda tangan dariku sebagai “pengakuan pelanggaran”.

Aku menatap kertas itu beberapa detik. Jari-jariku gemetar. Aku tahu apa artinya. Jika aku dapat dua kali lagi surat seperti ini, aku bisa dikeluarkan. Bukan hanya gajiku yang hilang, tapi seluruh keamanan yang selama ini kutumpukan pada pekerjaan ini.

Namun aku tak punya pilihan. Dengan tangan berat, kutandatangani surat itu. Pak Beni mengangguk dingin.

“Satu lagi. Mulai bulan depan, kita naikkan target harian 15 persen. Jadi, kamu harus lebih fokus. Gak ada lagi toleransi.”

Aku terdiam. Target dinaikkan? Padahal bahkan target lama pun sudah membuat tubuhku seperti mesin yang dipaksa kerja tanpa henti.

Keluar dari ruangan itu, aku menunduk, berusaha menahan air mata. Di lorong, aku melihat wajah-wajah rekan sesama buruh. Semuanya terlihat letih. Ada yang menguap sambil berjalan, ada yang memijit pundak sendiri sambil menahan sakit. Tapi tak satu pun bersuara. Kami semua tahu: pabrik bukan tempat untuk mengeluh.

Di jam makan siang, aku duduk sendiri di sudut kantin. Nasi bungkus yang kubawa dari rumah terasa hambar. Pikiranku masih terbayang wajah Adit yang demam semalam. Ia memanggil-manggilku dalam tidurnya, memeluk bantal karena aku belum pulang. Aku hanya bisa menatapnya dari balik pintu kamar sambil menyeka air mata.

“Kalau kamu keluar, kamu mau makan apa?” bisikku sendiri di sela isak yang kutahan.

Tapi kalau aku terus seperti ini… kapan aku bisa benar-benar ada untuk anakku?
Sore harinya, sebelum pulang, aku mengecek slip gaji yang baru turun. Ada potongan karena lemburku tidak lengkap. Gajinya bahkan lebih kecil dari bulan lalu. Rasanya seperti dihukum dua kali.
Namun saat keluar dari gerbang pabrik, aku melihat Adit berdiri menungguku di kejauhan. Ia datang ditemani Bu Rani, tetangga kami. Adit melambaikan tangan kecilnya, wajahnya berseri melihatku.

Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil menahan air mata. Entah kenapa, pelukan Adit saat itu terasa lebih berat dari biasanya. Seakan tubuh kecilnya tahu beban di pundakku semakin besar.
Malam itu, setelah Adit tidur, aku duduk di pojok kamar, menatap slip gaji yang lusuh. Kuambil buku catatan kecil dan mulai menghitung. Uang tabungan tinggal sedikit. Tapi… kalau terus seperti ini, aku akan kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar uang.

Aku mulai berpikir, mungkin sudah waktunya mulai cari jalan keluar. Tapi ke mana? Dan bagaimana?

*************

Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku sepanjang malam. Aku duduk diam menatap plafon rumah kontrakan kami yang mulai mengelupas. Lampu kamar sudah kupadamkan, tapi mata ini tak bisa terpejam. Setiap detik yang berlalu terasa seperti tik-tok jam yang menegurku: “Kamu gak bisa terus begini, Rina.”

Besok target naik. Tubuhku belum pulih dari pingsan dua hari lalu. Gajiku dipotong. Dan Adit… anak semata wayangku, anak yang dulu selalu kusebut sebagai alasanku bertahan… kini justru yang paling sering kubiarkan sendiri.

Pagi harinya aku bangun telat. Alarm ponsel tak terdengar, atau mungkin sengaja kupadamkan tadi malam. Adit sudah duduk di meja makan. Wajahnya cemberut. Dia tidak menatapku ketika aku buru-buru merapikan seragam kerja.

“Adit, Maaf ya… Mama harus cepat-cepat, nanti telat…” kataku sambil menyiapkan bekal nasi goreng sisa semalam.

Adit hanya diam. Tapi sebelum aku melangkah ke pintu, ia bertanya lirih, pelan, tapi suaranya menamparku lebih keras dari surat peringatan apa pun.

“Ma, aku gak penting lagi ya?”

Langkahku terhenti. Aku menoleh. Anak kecil itu menatapku dengan mata besar yang penuh tanda tanya. Di matanya, ada rindu yang tertahan, kecewa yang belum sempat ditumpahkan.
Aku berusaha tersenyum, walau bibir ini terasa kaku. “Kok Adit ngomong gitu, sih? Adit penting banget buat Mama…”

“Tapi Mama nggak pernah ada sekarang,” katanya cepat. “Adit tidur sendirian, makan sendirian, PR juga ngerjain sendiri. Mama selalu kerja, kerja, kerja…”
Hatiku runtuh. Aku berjalan pelan mendekatinya dan memeluk tubuh kecil itu. Rasanya seperti memeluk hati yang hancur—hatinya dan hatiku sendiri.

“Adit nggak salah,” bisikku. “Mama cuma… Mama cuma berusaha supaya Adit bisa punya masa depan.

Tapi Mama ngerti sekarang… kalau Mama terlalu sering ninggalin Adit demi ngejar sesuatu yang bikin

Adit justru makin jauh…”

Hari itu aku pergi ke pabrik dengan hati tak tenang. Aku bekerja seperti mesin yang kehilangan arah. Aku melihat jam terus-menerus, menghitung menit menuju jam pulang. Tapi hari itu juga jadi hari paling sibuk. Mandor baru datang dan memantau langsung jalur produksiku. Aku tidak bisa sedikit pun lengah.

Setelah pulang, aku tak langsung istirahat. Aku membuka laptop bekas yang selama ini kupakai hanya untuk menonton video tutorial menjahit. Kali ini aku nekat: aku mulai membuat akun di beberapa platform freelance. Aku cari kerja sambilan yang bisa dikerjakan malam hari.

Data diriku kuisi cepat-cepat. Aku unggah contoh tulisan, tawarkan jasa pengetikan, entri data, apapun yang bisa kulakukan dari rumah. Aku juga membuka beberapa forum jual beli online dan memikirkan cara menjual tas sederhana yang mulai bisa kubuat sendiri dari sisa-sisa kain.

Aku belum berani keluar dari pabrik, tapi aku mulai menyiapkan perahu kecil sebelum kapal besar ini tenggelam dan menyeretku bersama.

Malam itu, aku juga mulai menabung. Seribu, dua ribu, lima ribu. Uang receh yang biasanya kubiarkan tercecer, kini mulai kusimpan rapi dalam kaleng bekas susu bubuk Adit.

Ini mungkin tampak kecil. Tapi buatku, ini adalah benih harapan. Karena aku sadar, aku tak bisa kehilangan Adit hanya demi mengejar angka-angka yang tak pernah peduli pada siapa aku sebenarnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Adit menungguiku di depan pintu kamar. Ia tersenyum kecil dan berkata,

“Mama, kalau Mama bisa kerja di rumah, aku janji nggak akan ganggu. Asal Mama ada…”

Aku tersenyum. Tangisku jatuh diam-diam.
—————————
Baca Kelanjutannya..