Catatan Akhir Tahun 2017: Bungkam Aktivis Kritis, Pasal Makar Dihidupkan Lagi

Presiden KSPI memberikan keterangan kepada pers usai diperiksa sebagai saksi terkait makar.

Jakarta, KPonline – Pada tanggal 2 Desember 2016, beberapa jam sebelum aksi damai 212 yang di pusatkan di Monumen Nasional dimulai, beberapa aktivis yang terkenal kritis ditangkap. Mereka dituduh melakukan makar dan ditetapkan sebagai tersangka.

Nama-nama yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri. Namun demikian, mereka dipulangkan setelah menjalani pemeriksaan 24 jam di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.

Bacaan Lainnya

Sementara tiga lainnya, yakni Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan Rizal Kobar ditahan di Polda Metro Jaya. Ketiganya dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE dan juga Pasal 107 Jo Pasal 110 KUHP tentang Makar dan Permufakatan Jahat.

Pimpinan KSPI Diperiksa Dalam Kasus Terkait Makar

Kasus dugaan melakukan makar dan permukatan jahat juga menyasar pimpinan serikat buruh. Presiden KSPI Said Iqbal dan Sekjen KSPI yang saat itu masih dijabat oleh Muhammad Rusdi dipanggil sebagai saksi terkait tindak pidana makar sebagaimana tersebut di atas.

Memang, bertepatan dengan Aksi Damai 212, elemen buruh juga melakukan aksi nasional. Namun demikian, berbeda dengan Aksi 212, tuntutan buruh dalam aksi nasional tersebut Cabut PP 78/2015 dan menuntut UMK 2017 yang baru ditetapkan direvisi.

Gambar bagan berisi alur dana makar ke sejumlah orang ini beredar luas di media sosial. Salah satu orang yang dituduh menerima adalah Said Iqbal. Said Iqbal melaporkan bagan ini ke Polda Metro Jaya karena merupakan fitnah.

Pasal Makar Untuk Membungkam Orang-Orang Kritis.

Terkait dengan hal ini, Presiden KSPI Said Iqbal meminta pemerintah dan aparat penegak hukum tidak menjadikan pasal makar untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Serikat buruh menilai, pasal makar sudah tidak relevan lagi digunakan di era demokrasi dan keterbukaan publik. Apalagi jika pasal makar disangkutkan dengan perjuangan kaum buruh yang menuntut upah layak.

Perjuangan buruh tidak memiliki kekuatan senjata, dana dan logistik untuk menggulingkan pemerintahan. Bagaimana mungkin orang mau makar, tidak punya senjata, tidak punya logistik, tidak punya massa, tidak punya peralatan yang cukup untuk melakukan sebuah makar?

Nampaknya pandangan ini ada benarnya. Faktanya, dari sekian orang yang ditetapkan sebagai tersangka, hingga akhir tahun 2017, tidak ada satu pun yang kasusnya dibawa ke meja hijau.

Pertanyaan kita, atas dasar para aktivis ini dijerat dengan pasal makar?

Pos terkait