Buruh Go Politik, Sebuah Keniscayaan

Rakernas KSPI memutuskan sikap politik untuk mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019. Dari Kanan: Deputi Presiden/Ketua Harian KSPI Muhamad Rusdi, Presiden KSPI Said Iqbal, dan Sekretaris Jenderal KSPI Ramidi.

Jakarta, KPonline – Dalam perjalanan ke Jakarta, kemarin, saya memutar kembali ingatan tentang aksi-aksi yang pernah saya ikuti. Aksi itu, kami menyebutnya sebagai parlemen jalanan. Sebentuk kontrol sosial. Perlawanan atas berbagai kebijakan yang tak tepat sasaran.

Sejatinya, setiap aksi unjuk rasa memiliki makna yang penting dalam demokrasi. Sekecil apapun aksi itu terjadi.

Sebagai satu cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum, ia mensyaratkan keberanian — termasuk memiliki gagasan. Maka aksi bukan saja unjuk kekuatan, tetapi juga pertarungan gagasan. Untuk menegaskan bahwa selayaknya aspirasi kita lah yang paling layak untuk diikuti.

Hal ini berbeda dengan para pecundang hanya berkoar di balik punggung kekuasaan. Sementara para demostran dengan gagah mengambil resiko dengan maju ke hadapan.

Tetapi inilah pokok soalnya. Apakah suara-suara itu hanya akan menggema di jalanan berdebu, lalu hilang tersapu bising knalpot kendaraan? Jika beruntung akan diliput media. Diberitakan. Tetapi tetap saja tak digubris. Suara rakyat yang katanya suara tuhan itu tetap saja diabaikan. Barangkali memang didengar, tetapi tidak untuk diimplentasikan.

Apa jadinya jika selain di jalanan, di dalam ruangan pun suara itu juga diperdengarkan? Ada penyambung lidah. Sehingga tuntutan-tuntutan itu akan menggema lebih lama.

Kemudian muncullah gagasan buruh go politics. KSPI memutuskan untuk terlibat aktif dengan menempatkan kader-kadernya dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan. Mereka inilah yang nantinya akan bertarung dan terlibat langsung dalam perdebatan mengenai rute menuju kesejahteraan dan keadilan.

Saya percaya, jika berhasil menembus perlemen (di semua tingkatan), mereka bisa memberikan warna, dengan syarat: tetap mengikatkan diri pada organisasi.

Sebab dari sanalah cita-cita itu memancar. Organisasi adalah sumber aspirasi. Pohon yang tercerabut dari akarnya akan mudah tumbang. Begitu pun dengan aktivis yang duduk dalam legislatif, eksekutif, yudikadif; tetapi kemudian menjauh dari organisasinya.

Dengan kata lain, “go politik” adalah alat untuk memenangkan tuntutan.

Alih-alih sebagai hambatan, saya melihat ini sebagai peluang. Apalagi selama ini kita cukup banyak dikecewakan dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.