Buntut Surat Edaran Gubernur Jabar, FSPMI Purwakarta Siap Lakukan Aksi

Purwakarta, KPonline – Pada umumnya, menentukan besaran upah di tahun selanjutnya, Gubernur selalu menetapkan upah minimum melalui Surat Keputusan (SK). Tetapi untuk tahun ini, Gubernur Jabar hanya mengeluarkan Surat Edaran (SE) dalam penetapan upah di tahun 2020. Langkah Gubernur tersebut, akhirnya dikecam para buruh dan FSPMI akan melakukan aksi penolakan atas hal tersebut secara serentak diberbagai daerah seperti; Bogor, Bekasi, Karawang, Cirebon, Purwakarta serta berbagai daerah lainnya di wilayah Jawa Barat.

Dalam rangkaian aksi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) atas penolakan Surat Edaran terbitan Ridwan Kamil, Buruh FSPMI Purwakarta akan mendatangi Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Purwakarta.

Bacaan Lainnya

Rencananya dalam aksi tersebut, Kamis, 28 November 2019. Buruh FSPMI Purwakarta meminta kepada Dinas terkait bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta, untuk mengeluarkan surat rekomendasi penolakan atas kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat.

“Besok kita akan lakukan aksi, semua buruh FSPMI Purwakarta turun ke jalan dan meminta kepada Bupati bersama Dinas terkait untuk membuat surat rekomendasi penolakan Surat Edaran terkait pengupahan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jabar,” ujar Supriadi Piyong selaku koordinator daerah Garda Metal FSPMI Purwakarta, dalam rapat koordinasi persiapan aksi FSPMI di Kantor Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta pada Rabu (27/11/2019).

Menurut kutipan sumber CNBC Indonesia (23/11). Ridwan Kamil beralasan surat edaran secara prinsip sama saja, ia ingin ada keadilan, terutama bagi industri padat karya. Ia mengakui di Jabar sudah banyak pabrik tutup dan sebagian lagi pindah, karena upah yang tinggi.

Di sisi lain dan tidak senada, diucapkan Anne Patricia Sutanto selaku Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Harian Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) kepada CNBC Indonesia (13/09/2019). Ia mengatakan; “Fenomena yang terjadi atas banyaknya perusahaan tekstil di Indonesia yang tutup, karena impor dari China. Produk China makin superior daripada produk lokal, karena harganya yang sangat kompetitif,” ucapnya

Dua keterangan kontradiktif dari narasumber diatas terkait masalah yang terjadi dalam dunia industri dan perburuhan belakangan ini menandakan bahwa masalah mendasar atau utama atas tutupnya pabrik-pabrik, sebenarnya bukan karena upah. Kenapa?

Bila dikaitkan, kutipan Gubernur tersebut tidak bisa dibenarkan. Karena di penghujung tahun 2018, PT. Dada Indonesia yang terletak di wilayah Sadang-Purwakarta, Jawa Barat tutup. Sebelum mereka tutup, PT. Dada Indonesia memberikan upah kepada pekerja di bawah upah minimum kabupaten atau kota (UMK). Hal tersebut ternyata telah dilakukan oleh PT. Dada Indonesia sejak 2014.

Dan kutipan gubernur jabar tersebut, seharusnya bisa lebih untuk terbantahkan, dengan kembali diperkuat atas hal yang terjadi di PT. Dada Indonesia, menurut informasi yang berkembang dan setelah ditelusuri lebih lanjut, awal dari tutupnya PT. Dada Indonesia adalah karena buyer utama mereka yaitu Adidas, tidak lagi memberikan order kepada mereka. Hal tersebut dijelaskan melalui pernyataan seorang pekerja PT. Dada Indonesia. Ia mengatakan; “Setelah ditinggal buyer Adidas, perusahaan mulai kehilangan arah. Walau sempat berharap kepada buyer yang baru, namun dengan adanya kehadiran buyer yang baru, ternyata tidak mampu untuk membuat PT. Dada Indonesia bertahan,” ucapnya kepada media perdjoeangan saat itu.

Di tahun yang berbeda, tepatnya 2017, hal yang sama pun terjadi di Jawa Tengah. Perusahaan Jamu legendaris Nyonya Meneer yang berdomisili di Jl. Kaligawe Km. 4 Semarang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Padahal pada tahun tersebut, upah di Semarang, Jawa Tengah hanya sebesar Rp2.125.000,

Indoktrinasi yang memanfaatkan kelemahan daya pikir pekerja atau buruh, pengusaha mampu membentuk opini yang mumpuni. Dengan menakuti pekerja melalui “Pabrik tutup bila upah sesuai UMK” menjadi senjata mereka untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin. Apalagi atas hal yang telah dilakukan oleh Gubernur Jabar, dengan hanya mengeluarkan Surat Edaran (SE), bukan dengan Surat Keputusan (SK) dalam menentukan ketetapan besaran upah untuk tahun 2020. Bisa memberikan jalan bagi para pengusaha di Wilayah Jawa Barat, untuk memberlakukan upah tidak layak yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sesungguhnya bagi para pekerja atau kaum buruh.

Supriadi Piyong pun menambahkan, “Pemerintah segera menetapkan upah minimum 2020 dengan Surat Keputusan (SK), bukan dengan Surat Edaran (SE),” harapnya.

Pos terkait