Bersyaratnya Hak dan Kewajiban Uang Kompensasi PKWT

Buruh menolak omnibus law RUU Cipta Kerja.

” Uang kompensasi salah satu politik hukum pemerintah. Uang kompensasi bentuk respons terhadap aksi pekerja yang sejak lama menuntut pemerintah menghapus PKWT”

UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciker) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2021 (selanjutnya disebut PP) merupakan peraturan perundang-undangan yang pertama kali memperkenalkan terminologi uang kompensasi (UK). Meskipun baru, praktik pemberian kompensasi bukan hal baru dalam praktik hubungan kerja. Mirip dengan UK, sejak lama pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dikenal terminologi ‘tunjangan pesangon’ dan ‘santunan pekerja’ migas.

Kedua hal itu bisa ditelusuri melalui keputusan menteri, antara lain Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No. 27 tahun 2000 Tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Sebelum Kepmenaker itu terbit, pada sektor pertambangan migas terdapat program ‘tabungan pesangon’ pekerja. Payung hukum dari program itu diatur di dalam Keputusan Bersama Menteri Petambangan dan Energi dan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 1470 K/78/M/PE/1996 & Nomor: 180.A/MEN/1996.

Berpedoman pada Keputusan Bersama ke dua menteri di atas, pada waktu PKWT berakhir, pekerja migas menerima ‘tabungan pesangon’ sebesar satu bulan upah. Tabungan pesangon dibayarkan oleh Yayasan Dana Tabungan Pesangon (YDTP) Migas. Untuk melaksanakan program itu, perusahaan penunjang selaku pemborong pekerjaan di lingkungan pertambangan migas menyetor kepada YDTP Migas iuran sebesar 8,33% dari upah sebulan. Hasil akhir dari pengumpulan iuran itu, ketika kontrak kerja (PKWT) berakhir, YDTP membayarnya kepada pekerja.

Kedua kementerian di atas kemudian menerbitkan Keputusan Bersama Nomor: 743.K/78/MPE/2000 dan Nomor: 26/Men/2000, tanggal 29 Februari 2000. Keputusan Bersama ini mencabut keputusan bersama sebelumnya. Selanjutnya Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Kepmenaker No. 27 tahun 2000, tanggal 29 Februari 2000. Kepmenaker itu mengubah terminologi program ‘tabungan pesangon’ menjadi program ‘santunan pekerja’ migas. Di dalam regulasi ini YDTP masih dipertahankan untuk menampung dan mengelola dana ‘santunan pekerja’ yang berasal dari perusahaan pemborong (kontraktor).

Iuran yang dibayar kontraktor kepada YDTP masih sama seperti sebelumnya sebesar 8,33% dari upah sebulan. Norma Kepmenaker sedikit berbeda dari Keputusan Bersama dua menteri sebelumnya. Kepmenaker memberi kebebasan kepada kontraktor untuk mengelola sendiri program ‘santunan pekerja’. Kontraktor tidak diwajibkan menyetor iuran kepada YDTP. Prinsipnya perusahaan yang mempekerjakan tenaga kontrak di lingkungan pertambangan migas diwajibkan memberikan santunan sebesar satu bulan upah ketika waktu PKWT berakhir.

Pekerja pada sektor migas yang menerima ‘tabungan pesangon’ maupun ‘santunan’ adalah pekerja dari perusahaan pemborong pekerjaan yang hubungan kerjanya terikat PKWT. Pemborong pekerjaan itu dikenal sebagai perusahaan jasa penunjang. Masuk dalam golongan perusahaan jasa penunjang adalah perusahaan yang melaksanakan pekerjaan penunjang pada operasi pertambangan migas. Kalau dikaitkan dengan UU Ciker, perusahaan jasa penunjang atau pemborong pekerjaan itu disebut perusahaan alih daya.

Memperhatikan jejak regulasi di atas, sebelum omnibus law menghasilkan UU Cipta Kerja, terdapat dua praktik pengakhiran PKWT. Pertama, pada sektor pertambangan migas, setelah berakhir kontrak kerja, pekerja menerima satu bulan upah melalui YDTP. Kedua, pekerja PKWT di luar sektor pertambangan migas, tidak menerima santunan pengakhiran PKWT.

Kini, UU Cipta Kerja dan PP No. 35 tahun 2021 mengatur kewajiban baru bagi pengusaha. PP mengatakan pengusaha wajib membayar UK kepada pekerja PKWT. Kalau melihat segi manfaatnya, UK versi UU Cipta Kerja memiliki tujuan yang sama dengan ‘tabungan pesangon’ dan ‘santunan pekerja’ migas. Yang membedakannya, UU Cipta Kerja dan PP No. 35 tahun 2021 tidak mengamanatkan pembentukan badan khusus seperti YDTP untuk mengelolah UK.

Hak Pekerja PKWT

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tidak mengatur tentang UK. UK diatur di dalam PP No. 35 tahun 2021. PP mengatur syarat, teknis, dan nilai UK. Pekerja yang telah bekerja selama12 bulan berhak menerima UK sebesar 1 (satu) bulan upah. Kalau bekerja kurang atau lebih dari satu tahun maka UK dihitung secara proporsional dengan rumus: masa kerja dibagi 12 dikali satu bulan upah.

Menurut PP No. 35 tahun 2021, pekerja yang berhak menerima UK adalah pekerja PKWT yang telah memiliki masa kerja paling sedikit 1 (satu) bulan. Hak pekerja memperoleh UK muncul setelah waktu PKWT berakhir. PP tidak membedakan alasan dari segi siapa yang mengakhiri PKWT. Merujuk Pasal 17 PP, pekerja PKWT berhak menerima UK tanpa mempermasalahkan siapa yang mengakhiri PKWT. Paralel dengan Pasal 17, Pasal 15, pengusaha ‘wajib’ memberikan uang kompensasi ketika waktu PKWT berakhir. Ketika kata ‘wajib’ dikaitkan dengan Pasal 17 dan Pasal 15 ayat (2), maka apapun alasan yang menyebabkan PKWT berakhir, pekerja ‘dikesankan’ berhak menerima uang kompensasi secara absolut.

Apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak menerima uang kompensasi? Apakah PKWT yang berakhir karena pekerja misalnya melakukan pelanggaran berat, ditahan pihak berwajib atau divonis bersalah oleh pengadilan, berhak atas UK PKWT? Kalau merujuk semata-mata pada redaksi Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 17 PP No. 35 tahun 2021, contoh alasan di atas tidak meniadakan hak pekerja menerima uang kompensasi.

Sebelum melihat alasan yang dapat mengecualikan pembayaran UK, perhatikan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Pengusaha diwajibkan di dalam ketentuan itu untuk membayar uang ganti rugi (UGR). Ketika Pasal 62 dikorelasikan dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 17 PP, ketika pengusaha mengakhiri PKWT lebih awal dari waktunya, maka kewajiban pengusaha muncul dua yaitu membayar UGR dan UK.

Pihak yang mengakhiri PKWT menurut Pasal 62 UU Ketenagakerjaan wajib membayar UGR. Apakah boleh tidak membayar UGR? Merujuk pada Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat mengatur alasan mengakhiri PKWT tanpa UGR di dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Mencermati kaidah Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dan PP No. 35 tahun 2021, ketika pengusaha mengakhiri PKWT, regulasi itu memberi kesan seolah-olah pekerja berhak secara absolut atas UGR dan UK. Kalau merujuk hanya pada PP No. 35 tahun 2021, ketentuan di sana tidak mengatur alasan membebaskan pengusaha membayar UK. Namun demikian, kalau merujuk pada Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan, pengusaha memiliki hak bersyarat untuk tidak membayar UK asalkan mengatur syaratnya di dalam PK, PP atau PKB.

Merujuk pada hukum positif, secara umum dikenal 6 (enam) macam hak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu: (1) uang pesangon (Upes); (2) uang penghargaan masa kerja (UPMK); (3) uang penggantian hak (UPH); (4) uang pisah (Upis); (5) uang ganti rugi (UGR); (6) uang kompensasi (UK). Sesuai kaidahnya, yang berhak menerima hak pada angka 1 sampai dengan angka 4 adalah pekerja ikatan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sedangkan hak pada angka 5 dan 6 merupakan hak pekerja ikatan PKWT.

Meskipun keenam hak di atas diatur di dalam PP dan UU Ketenagakerjaan, keenamnya tidak bersifat absolut. Menurut hukumnya, keenam hak tersebut, karena alasan tertentu, implementasinya bisa bersifat alternatif. Karena alasan itu, pekerja PKWTT berpotensi mendapatkan UPMK tetapi tidak berhak menerima uang pesangon. Bahkan terdapat kemungkinan pekerja hanya menerima UPH dan uang pisah dengan tanpa pesangon.

Sekarang jelas, yang berhak memperoleh komponen hak di atas adalah pekerja yang memenuhi syarat. Hukum positif mensyaratkan, bahwa untuk mendapatkan komponen hak pada angka 1 – angka 3 secara kumulatif, selain harus memenuhi masa kerja, harus dipastikan, pekerja di PHK bukan karena melanggar syarat kerja. Syarat seperti itu memberi petunjuk bahwa pekerja berpotensi mendapat kompensasi nilai maksimal atau minimal. Merujuk pada kaidah tersebut, perilaku pekerja di dalam dan di luar tempat kerja memengaruhi haknya pada saat di PHK. Bisa ditegaskan, pekerja berstatus PKWTT sedari awal tidak bisa dipastikan akan menerima kompensasi hak pada angka 1 – angka 4. Begitu juga pekerja ikatan PKWT, berpotensi tidak mendapat komponen hak sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan angka 6. Prinsipnya, untuk mendapatkan hak dengan nilai maksimal, pekerja tidak boleh melanggar kaidah hukum heteronom maupun otonom.

Alasan Pengecualian

Ketentuan dari UU ketenagakerjaan, sejauh tidak diubah atau dihapus oleh UU Ciker, ketentuan itu berlaku sebagai hukum positif. Oleh karena itu UU Ciker dan aturan pelaksananya tidak bisa dipisahkan dari UU Ketenagakerjaan. Merujuk pada Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat mengatur syarat untuk tidak memberikan UK. Peluang pengusaha ke arah itu didasarkan pada alasan: a. Sama dengan UGR, UK merupakan hak bersyarat; b. Yang berhak menerima UK adalah pekerja PKWT yang waktunya berakhir bukan karena melanggar hukum atau syarat kerja. Ketentuan yang bisa dipedomani membebaskan pengusaha membayar UK, yaitu: a. Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan; d. Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 35 tahun 2021.

Alasan PHK tanpa pesangon dan UPMK ditemukan di dalam penjelasan Pasal 52 ayat (2) PP No. 35 tahun 2021 yang disebut alasan mendesak. Jenis-jenis perbuatan di dalam ketentuan itu merupakan contoh belaka. Kaidah Pasal 52 ayat (2) bersifat terbuka. Ketentuan itu memberikan hak kepada pengusaha untuk merinci lebih banyak jenis perbuatan di dalam PK, PP atau PKB sebagai alasan mendesak.

Memberi kewenangan seperti itu kepada pengusaha muncul karena 4 (empat) alasan: (1) jenis perbuatan yang termasuk sebagai alasan mendesak di dalam Pasal 52 ayat (2) hanya merupakan contoh yang bersifat umum; (2) contoh perbuatan di dalam penjelasan Pasal 52 ayat (2) tidak cukup mengakomodir jenis perilaku spesifik lainnya pada sektor industri tertentu; (3) masing-masing sektor industri memiliki karakteristik dan sensitivitas yang berbeda; (4) pengusaha lebih mengetahui perbuatan yang dapat merugikan atau membahayakan perusahaan.

Ketika PP mengatakan UK sebagai hak pekerja dan wajib dibayar ketika waktu PKWT berakhir, hal itu memberi kesan bahwa pengusaha wajib membayar UK sekalipun PKWT berakhir karena pekerja melanggar syarat kerja atau hukum. Memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum untuk menerima UK dengan nilai yang sama justru akan menciptakan ketidakadilan bukan saja kepada pengusaha tetapi juga kepada sesama pekerja. Kalau pekerja yang mentaati syarat kerja atau hukum diberikan hak yang sama dengan yang melanggar syarat kerja atau hukum, hal seperti itu mengajarkan pekerja yang lain untuk melanggar syarat kerja atau hukum. Oleh karena itu, pengusaha beralasan memberikan hak yang lebih baik kepada pekerja yang setia mematuhi syarat kerja atau hukum. Bisa dikatakan, pekerja yang berhak menerima UK adalah pekerja yang waktu kontraknya berakhir tanpa melanggar hukum atau syarat kerja.

UK salah satu politik hukum pemerintah. UK bentuk respons terhadap aksi pekerja yang sejak lama menuntut pemerintah menghapus PKWT. Kebijakan itu mengindikasikan bahwa pemerintah menolak menghapus PKWT. Merujuk pada realitas itu, mengatakan UK sebagai instrumen dari pemerintah untuk mengajak pekerja menerima PKWT bukan hal yang salah.

Upaya pemerintah memberikan tambahan hak ekonomi kepada pekerja PKWT, peraturan perundang-undangan mencatat telah menggunakan tiga terminologi yang berbeda, yaitu ‘tabungan pesangon’ pekerja migas, ‘santunan pekerja’ migas, dan ‘uang kompensasi’. Kalau ditilik dari aspek sosiologis dan juridis, UK bukan kebijakan tanpa landasan.

Pemerintah terbukti mengadopsi praktik pemberian santunan pada sektor pertambangan migas. Melalui PP No 35 tahun 2021 pemerintah memberlakukan UK pada semua sektor industri. Meskipun demikian, perusahaan memiliki hak untuk mengatur alasan tertentu sebagai dasar hukum untuk tidak memberikan UK kepada pekerja. Syarat seperti itu bisa dibenarkan sepanjang diatur di dalam PK, PP, atau PKB. Dengan demikian, pengusaha dapat mengatur UK menjadi hak dan kewajiban bersyarat.

*)Juanda Pengaribuan adalah Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat ini sebagai Advokat dengan spesialisasi hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Sedangkan Brilian Lawyer adalah mahasiswa hukum Universitas Tarumanegara.

Sumber berita : https://m.hukumonline.com Bersyaratnya Hak dan Kewajiban Uang Kompensasi PKWT Oleh: Juanda Pangaribuan dan Brilian Lawyer*)