Bermasalah Secara Formil dan Substansi, MoU Perbantuan TNI Terhadap Kepolisian Harus Dibatalkan

Jakarta, KPonline – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Pekan Baru, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Manado, LBH Makassar, dan LBH Papua mendesak Presiden Jokowi membatalkan MoU TNI-Polri mengenai perbantuan TNI kepada Polri terkait keamanan.

Alasannya adalah, MoU tentang “Perbantuan TNI Kepada Kepolisian dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat” nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018 yang ditandatangani oleh KAPOLRI Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto tertanggal 23 Januari 2018 itu terdapat dua permasalahan, formil dan sunstansi.

Bacaan Lainnya

Berikut penjelasannya.

1. Permasalahan Formil

Jika dikaji dari sudut pandang hukum, TNI memang dapat membantu pihak kepolisian dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf (b) angka 10.

Namun demikian, terdapat beberapa prosedur dan persyaratan, yaitu :

Pertama: membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat harus melalui undang-undang (lihat Pasal 7 ayat 2 angka 10 Undang-Undang TNI).

Sementara TNI-Polri melakukan kesepakatan perbantuan dengan menggunakan MoU, nota yang bahkan bukan sama sekali peraturan perundang-undangan. Hal ini bertentangan dengan bunyi Pasal 7 ayat 2 angka 10 UU TNI adalah sebagai berikut: “membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.”

Kedua: kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden (Pasal 3 ayat 1 UU TNI). UU TNI pun tidak memberi tugas dan kewajiban pengerahan kekuatan TNI kepada Panglima TNI; hal yang sesuai dengan semangat supremasi sipil.

Sehingga MoU perbantuan tanpa ada keputusan hukum dari Presiden adalah anomali dalam sebuah pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Ketiga: dalam hal pengerahan kekuatan TNI, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat kecuali dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI (Pasal 17 dan 18 UU TNI).

Pada intinya, sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI, operasi militer baik perang maupun selain perang haruslah melalui keputusan politik negara. MoU atau nota kesepahaman bukanlah keputusan politik negara.

2. Permasalahan Substansi

Selain polisi, dengan adanya MoU, TNI juga bisa diminta bantuan untuk mengamankan unjuk rasa dan mogok kerja.

Adanya MoU tersebut akan menguatkan militerisme dan bertentangan dengan semangat penghapusan Dwi Fungsi ABRI yang dicapai dengan penuh perjuangan pada era reformasi, 20 tahun lalu.

Menolak militerisme di sini jangan diartikan sebagai menolak militer dan mementingkan sipil. Penolakan adalah pada bercampurnya tugas militer dan sipil. Pemimpin dari sipil pun dapat berwatak militeristik jika mencampurkan tugas militer dan sipil tersebut.

Selain itu, MoU ini berpotensi melanggar hak asasi warga negara terkait haknya untuk mengeluarkan pikiran, berpendapat, dan juga hak untuk mogok.

Sebagaimana kita ketahui kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar NRI, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Mogok pun diatur sebagai sebuah hak asasi manusia oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 25 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.

Beberapa demonstrasi sudah melibatkan TNI dalam pengamanan, seperti demonstrasi di berbagai kawasan industri, demonstrasi buruh pada Hari Kerja Layak Sedunia (Oktober 2017), demonstrasi buruh terkait upah di depan Balai Kota DKI Jakarta (10 November 2017), dan bahkan terdapat pembubaran dan pemulukan oleh tentara dalam demonstrasi mahasiswa di Makassar (15 Desember 2018).

Pos terkait