Berkurangnya Upah Dalam Undang-undang Cipta Kerja, Sinyal Buruk Bagi Pekerja

Purwakarta, KPonline – Memang, kepentingan buruh dan korporasi itu seringkali bertolak belakang. Buruh menginginkan kesejahteraan dan upah layak, kehidupan yang layak. Namun, disisi lain, perusahaan atau pengusaha dengan kacamata bisnisnya cenderung menginginkan keuntungan supaya bisnisnya berkembang dengan profit yang terus berlipat.

Dalam posisi seperti inilah, negara seharusnya mampu mengakomodasi kepentingan yang ada. Dimana, untuk selanjutnya negara harus berlaku adil agar pengusaha tidak semena-mena dan buruh tidak masuk kedalam lubang objek eksploitasi.

Bacaan Lainnya

Karena, saat ini posisi tawar buruh terhadap pengusaha mungkin masih lemah, sudah seharusnya pemerintah menguatkan daya tawar buruh Dimata pengusaha. Malah bukan dengan sebaliknya, terus menguatkan kepentingan pengusaha melalui kebijakan atau peraturan ketenagakerjaan yang penuh ketidakseimbangan lewat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Menurut kacamata pekerja/ buruh, degradasi kesejahteraan terjadi di UU tersebut. Diantaranya, soal Pengupahan.

Berikut adalah ketentuan dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU 11/2020 tentang Cipta Kerja adalah sebagai berikut:
1. Jenis upah dikurangi

Ketentuan Pasal 88 ayat (3) dalam UU Ketenagakerjaan diubah oleh UU Cipta Kerja sehingga berbunyi sebagai berikut.

Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

upah minimum;

struktur dan skala upah;

upah kerja lembur;

upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;

bentuk dan cara pembayaran upah;
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan

upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan, Pasal 88 ayat (3) berbunyi sebagai berikut.

Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
meliputi :

upah minimum;

upah kerja lembur;

upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

bentuk dan cara pembayaran upah;
denda dan potongan upah;

hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

upah untuk pembayaran pesangon; dan
upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Dalam UU Cipta Kerja, terdapat beberapa poin yang hilang dari UU Ketenagakerjaan, yaitu poin tentang upah karena tidak masuk kerja karena berhalangan, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

2. Komponen hidup layak tidak dimasukkan

Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 88 ayat (4) ketentuan tentang penetapan upah minimum bagi pekerja berbunyi sebagai berikut.

Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Sementara dalam UU Cipta Kerja, ketentuan tentang penetapan upah minimum diatur dalam Pasal 88D, yang sebelumnya tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan, dan berbunyi sebagai berikut.

Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.

(1) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(3) Perbedaan standar penetapan upah minimum antara UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja adalah pada poin kebutuhan hidup layak.

UU no 13/2003 Ketenagakerjaan menyebut bahwa salah satu standar penetapan upah minimum adalah berdasarkan kebutuhan hidup layak, namun UU no 11 Cipta Kerja meniadakan poin tersebut dalam ketentuan penetapan upah minimum.

3. Masa kerja tidak dipertimbangkan

Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 92 ketentuan tentang penyusunan struktur dan skala upah bagi pekerja berbunyi sebagai berikut.

Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan mem-perhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Sementara dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dalam Pasal 92 diubah hingga berbunyi sebagai berikut.

Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Perbedaan penyusunan struktur dan skala upah antara UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja adalah pada pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja.

UU Ketenagakerjaan menyebut bahwa penyusunan struktur dan skala upah harus memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja.

Namun, UU Cipta Kerja meniadakan pertimbangan tersebut dan melimpahkan penyusunan struktur serta skala upah hanya berdasarkan kemampuan dan produktivitas perusahaan.

Selain dihadapkan dengan kebijakan yang merugikan dan menjadi sinyal buruk. Pekerja/ Buruh dalam dunianya, khususnya di lingkungan kerja. Ketika ingin mengejar atau mendapatkan target atau hasil, biasanya kata-kata kasar sang atasan masih terdengar merdu di telinga mereka.

Bahkan, intonasi kata bernada tinggi disertai tatapan tajam disinyalir masih mewarnai perintah kerja pun kerap mereka rasakan.

Tidak berhenti sampai disitu, kepastian kerja yang tak jelas dengan sistem outsourcing dan kedok pemagangan masih mendera kelas pekerja atau kaum buruh di negeri ini (Indonesia).

Pos terkait