Balada Upah Dalam Rumah Tangga Buruh

Mojokerto, KPonline – Sayup-sayup terdengar dari dapur, suara siaran televisi yang memberitakan kenaikan upah minimum di suatu daerah. Sambil memasak, istri seorang buruh berkata pada suaminya yang sedari tadi duduk disampingnya, menunggu masakannya.

“Alhamdulillah mas.. perjuanganmu sama kawan-kawan serikat pekerja tidak sia-sia. Akhirnya kita bisa ada sisa pengeluaran, semoga bisa untuk nabung,” kata istrinya sambil menyodorkan tempe goreng diatas piring. Makanan pembuka

Suaminya, seorang buruh pabrik yang telah 10 tahun bekerja namun tetap sebagai pekerja kontrak dan masih dibayar UMK itu cuma tersenyum tipis.

“Kenaikan Upah tahun depan kan lumayan, ekonomi kita tidak terlalu seret. Tapi kenapa mas tidak cerita hasil aksi di kantor Gubernur kemarin?” Tanya istrinya nyerocos sambil menggoreng ikan asin dan pete.

Aroma masakan itu perlahan mulai menyeruak melingkupi ruangan dapur. Namun bagi suaminya seolah semakin menambah adukan pikirannya yang tengah berkecamuk.

“Ditanya kok diem saja, Ada apa to mas? Sariawan ya?” Goda istrinya tersenyum genit.

“Oh ya.. besok waktunya bayar kontrakan lo, sekalian bayar BPJS sekeluarga.” Lanjutnya.

“Gakpapa kok dek. Itu masakannya kapan matang? Jangan sampai gosong.” Jawab suaminya mengalihkan pembicaraan.

Bagi dirinyanya yang menjadi aktivis buruh, upah dan jaminan sosial ibarat urat nadi dan nafas. Upah adalah urat nadi ekonomi buruh dan jaminan sosial adalah nafas kehidupan rakyat.

Tanpanya keduanya rasanya sulit mewujudkan makmur sejahtera. Sedangkan upahnya masih UMK dan BPJS nya harus bayar sendiri karena perusahaan belum berkehendak mendaftarkan dirinya sekeluarga. Beban pengeluaran perusahaan dalih manajemennya waktu itu.

“Sudah dimakan dulu, mumpung masih hangat, nanti habis ini saya pijitin,” Rayu istrinya. Masakan oseng-oseng jantung pisang campur teri dan pete telah tersaji di depannya. Sebuah menu andalan dan kesukaannya. Hidangan khas kaum tersisih di negeri yang berlimpah ini.

Makan menggunakan tangan, ia begitu menikmati makanan itu. Keringat mengalir deras, mungkin masakannya agak pedas. Kesederhanaan yang indah, sebuah rejeki yang begitu ia syukuri.

Masih terekam jelas dalam ingatannya, kemarin waktu berangkat aksi, istrinya memberikan bekal berbungkus kertas, isi masakan urap-urap daun pepaya, tempe goreng dan ikan pindang. Tak lupa, uang belanja 15 ribu terpaksa harus berpindah ke kantongnya. Biaya perjuangan, katanya.

“Kau sungguh beruntung, istrimu begitu perhatian,” Kata temannya saat bekal itu dimakan bersama waktu istirahat ditengah aksi. Ia hanya tertawa kecil, sebuah rejeki lain yang patut disyukurinya.

Sehabis makan dia pun mencuci piringnya sendiri. Tiba-tiba dari belakang istrinya menepuknya, “Mas… ada yang ingin aku bicarakan, kita bicara dikamar yuk, “. Tanpa menunggu jawabannya, ia mengikuti istrinya yang menarik tangannya.

Setelah duduk ditepi ranjang tidur, istrinya berkata, “Gini Lo mas, kira-kira tahun depan itu upah segitu cukup kah? kebutuhan apa tidak naik? Adel mulai sekolah, sewa kontrakan naik, belum nanti harga sembako, harga BBM, listrik, LPG, BPJS dan sebagainya. Apa aku tak kerja saja ya??”

Beg..! Pukulan telak di ulu hati suaminya. Nyeri, nafas terasa berat. “Ndak usah, kasihan anak kita. Asuhan keluarga untuk anak itu yang utama. Nanti aku cari usaha lain yang bisa menambah pendapatan, ” jawabnya gamang mencoba menenangkan diri.

Dia sangat paham, kenaikan 8,03 % dari upah lama, memang kelihatannya besar, naik sekitar 250 ribuan. Tetapi itu tidak berdasarkan survey kebutuhan hidup layak, cuma nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi dari akumulasi inflasi barang-barang yang kadang dia tidak bisa/tidak perlu membelinya serta pertumbuhan ekonomi dari rata-rata daerah, bukan daerahnya sendiri. Parahnya lagi semua itu nilai asumsi, nilai kira-kira.

Artinya kemungkinan kehidupannya untuk tidak layak semakin terbuka lebar. Kira-kira cukup, kira-kira bisa hidup. “Asu!,” Batinnya menyumpah serapah. “Astagfirullah,” Desisnya pelan begitu ia tersadar.

“Kenapa mas? Aku salah?” Kejar istrinya. “Tidak, bukan itu. Ini soal upah yang sudah terlanjur ditetapkan” Balas suaminya.

“Apa keputusan itu tidak bisa dirubah? Apa pemerintah bisa menjamin harga-harga tidak naik? Apa kawan-kawanmu tidak paham akan hal ini?” Tanya istrinya polos dan memborbardir.

“Disyukuri saja dan banyaklah berdoa. Kita sudah berusaha namun begitulah hasilnya. Sudah jangan terlalu pesimis, jalani saja hidup ini. Aku mau cari angin sebentar,” Jawab suaminya singkat. Dalam batinnya ia berkata, “Setidaknya suamimu bukan pecundang dan penjual kepentingan. Upah terlalu banyak permainan istriku…”

Dari hasil aksi kemarin, memang upah beberapa daerah mendapatkan kenaikan cukup tinggi. Jerih payah dirinya dan kawan-kawan selama 6 bulan terakhir dengan menjalankan survey, menyusun konsep dan melakukan loby, berbuah manis. Memecahkan mitos. Meskipun ada saja pihak yang mencoba menjadi pahlawan kesiangan. Namun begitulah perjuangan.

Tetapi malangnya upah daerahnya sendiri malah seakan dijadikan tumbal, mentok di 8,03 % dan itu bukanlah harapannya. Terlebih lagi bila mengingat ucapan istrinya, rasanya berat baginya untuk sekedar menerima apalagi mensyukurinya. Upah telah menjadikannya musrik??

Di tepi persawahan, dengan semilir angin, ia mematung sendiri. Mengorbankan upah daerahnya, harapan daerahnya, untuk memberikan harapan dan kebaikan pada daerah yang jauh dari kesejahteraan. Sebuah bisikan terngiang di telinganya,
“Dalam upah mereka terdapat ibadahmu. Adanya beban atau balasan pastilah sesuai kemampuan dan perbuatannya. Bertawakalah,”

Wiji Sekar Melur Sari