Purwakarta, KPonline — Indonesia tengah menghadapi tantangan pelik di sektor ketenagakerjaan. Dalam bayang-bayang badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang menerpa sejumlah industri, kini datang gelombang baru pencari kerja, yakni para lulusan sekolah dan perguruan tinggi tahun ajaran 2024/2025 yang siap terjun ke pasar kerja.
Jumlah pengangguran di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Mei 2025 adalah 7,28 juta orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada bulan Mei 2025 adalah 4,76%, naik sekitar 300 ribu orang dibanding akhir tahun lalu.
Dimana, lonjakan ini tidak lepas dari gelombang PHK yang terjadi sejak pertengahan 2024, terutama di sektor manufaktur, ritel, teknologi, dan media. Banyak perusahaan terpaksa merampingkan jumlah tenaga kerja akibat tekanan ekonomi global, disrupsi teknologi, serta restrukturisasi bisnis pasca pandemi covid 19.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sedikitnya 3,5 juta lulusan baru dari SMA, SMK, dan perguruan tinggi yang masuk ke pasar kerja tahun ini. Angka ini menjadi tekanan tambahan dalam situasi ketenagakerjaan yang sudah penuh sesak. Mereka harus bersaing tidak hanya dengan sesama lulusan, tetapi juga dengan para korban PHK yang sudah lebih berpengalaman.
Situasinya ibarat dua gelombang besar yang saling bertubrukan. Di satu sisi perusahaan belum pulih sepenuhnya dan belum berani membuka banyak lowongan, disisi lain jumlah pencari kerja terus bertambah.
Tak hanya itu, fenomena mismatch (ketidaksesuaian antara kompetensi pencari kerja dan kebutuhan industri) juga masih menjadi momok utama. Banyak lulusan sekolah belum memiliki keahlian yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja saat ini yang semakin terdigitalisasi. Lulusan SMK misalnya, yang dirancang untuk siap kerja, masih menghadapi tantangan kurangnya pengalaman praktis atau sertifikasi kompetensi yang diakui industri.
Pemerintah mencoba merespons kondisi ini melalui berbagai program, seperti pelatihan-pelatihan, hingga kerja sama dengan sektor industri. Namun, efektivitasnya masih dipertanyakan jika tidak dibarengi dengan pembukaan lapangan kerja baru yang sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja.
Sementara itu, di lapangan, banyak generasi muda mulai beralih ke sektor informal, freelance, dan bahkan membuka usaha sendiri sebagai upaya bertahan hidup. Platform digital seperti TikTok Shop, Shopee, hingga layanan ojek online menjadi pilihan karier sementara bagi sebagian dari mereka.
Namun tak sedikit pula yang justru terjebak dalam situasi menganggur produktif, dengan terus mencari kerja, mengikuti pelatihan daring, namun belum juga menemukan titik terang pekerjaan yang tetap dan layak.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan generasi bersabar, yakni kelompok muda yang harus menunda berbagai fase hidup, seperti menikah, membeli rumah, atau melanjutkan pendidikan akibat ketidakpastian ekonomi.
Balada para penganggur hari ini bukan hanya soal angka statistik, tetapi potret keresahan generasi muda yang merasa tertinggal dalam perlombaan hidup yang makin tak seimbang. Di tengah badai yang belum reda, harapan kini menggantung pada kolaborasi semua pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan untuk menata ulang ekosistem ketenagakerjaan yang lebih adaptif dan inklusif.