Aspek Formal dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak: Antara Harapan dan Realitas Partisipasi Publik

Seminar RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Foto: KSPI Media Center

Jakarta, KPonline – Ketika membaca berita bahwa DPR, dengan persetujuan yang luas dari mayoritas fraksi telah menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) untuk dibawa ke rapat paripurna dan diharapkan segera menjadi undang-undang, ingatan saya tertuju pada tanggal 19 Juni 2022. Itu adalah hari ketika saya diundang untuk ikut berbicara dalam sebuah seminar mengenai RUU yang dimaksudkan untuk melindungi dan mendukung fase 1.000 hari pertama kehidupan ibu dan anaknya.

Persoalan ibu dan anak, saya rasa bukan hanya persoalan perempuan. Itulah sebabnya, saya merasa berkepentingan untuk ikut terlibat dalam diskusi tentang isu ini.

Jika ada yang mengatakan bahwa persoalan ibu dan anak hanya sebatas wilayah perempuan, pandangan sempit ini mengabaikan kenyataan bahwa isu tersebut adalah tanggung jawab bersama. Tanpa dukungan penuh dari semua gender, usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat tidak akan pernah tercapai sepenuhnya. Oleh karena itu, advokasi dan aksi kolektif lintas gender esensial untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan ibu dan anak.

Baru-baru ini, Ketua Komisi VIII DPR RI, M. Ashabul Kahfi, menyatakan dengan semangat bahwa delapan dari sembilan fraksi mendukung RUU ini, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, menyampaikan apresiasi mendalam atas dukungan yang diberikan.  Semua tampak baik-baik saja pada permukaan.

Namun, di balik pengakuan tersebut terdapat lapisan keprihatinan mendalam mengenai proses yang dilalui RUU KIA. Di mana, RUU ini dianggap belum maksimal melibatkan partisipasi publik dalam pembahasannya. Dari workshop yang dilaksanakan oleh Aliansi Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk Perbaikan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (AKUKIA) pada tanggal 20-21 Juni 2023, terungkap bahwa banyak serikat pekerja dan buruh merasa terisolasi dari proses yang seharusnya terbuka dan inklusif.

Aliansi Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk Perbaikan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (AKUKIA) sudah membuat kertas posisi.

Secara teoritis, berdasarkan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, prinsip keterbukaan dan partisipasi publik harus menjadi pusat dari setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara, yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, serta hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, menegaskan pentingnya partisipasi publik.

Melalui partisipasi yang bermakna, masyarakat diharapkan tidak hanya didengar tetapi juga pertimbangan dan penjelasan mereka dipertimbangkan dalam setiap rancangan undang-undang, sebagaimana yang dijelaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020. Namun, dalam praktiknya, baik DPR maupun Pemerintah belum memberikan ruang yang memadai bagi serikat pekerja dan buruh untuk benar-benar terlibat dalam pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Ini adalah sebuah ironi yang mencerminkan jurang antara idealisme undang-undang dan realitas partisipasi masyarakat.

Partisipasi yang terbatas ini menimbulkan pesimisme dan kritik tajam dari berbagai pihak yang berkepentingan, mempertanyakan sejauh mana RUU ini benar-benar mewakili dan melindungi kepentingan masyarakat yang paling rentan. Meskipun RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak memiliki tujuan mulia, kegagalan dalam mengakomodir partisipasi publik yang substansial dan bermakna dapat menodai esensi dan efektivitas undang-undang yang dihasilkan.

Dengan penerimaan yang hangat di tingkat permukaan tetapi dengan proses pembentukan yang tersembunyi, RUU ini berpotensi menjadi simbol dari ketidaksesuaian antara aspirasi dan realitas. Hal ini menegaskan perlunya reformasi proses legislasi di Indonesia untuk memastikan bahwa suara dari setiap lapisan masyarakat dapat terdengar dan terlibat sepenuhnya dalam pembentukan undang-undang yang menentukan masa depan mereka.

Kesejahteraan Ibu dan Anak adalah tanggungjawab kita bersama.

Dengan adanya indikasi kuat bahwa DPR RI dan Pemerintah belum memberikan ruang yang memadai bagi serikat pekerja dan buruh untuk benar-benar terlibat dalam pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, muncul kesan pesimis di kalangan aktivis dan publik. Partisipasi yang dikangkangi ini tidak hanya meredupkan nilai demokrasi tetapi juga secara langsung menciderai aspirasi dari ribuan pekerja dan buruh yang seharusnya diwakili.

Ketika partisipasi publik dikangkangi, tercipta jarak antara pembuat kebijakan dan mereka yang kehidupannya akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Dengan tidak menyertakan kontribusi nyata dari seluruh pihak terkait, ada risiko bahwa RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak akan kehilangan dimensi penting yang dapat menguatkan hak-hak dan perlindungan untuk ibu dan anak, terutama dari keluarga pekerja.

Kegagalan dalam mengintegrasikan perspektif dan kebutuhan riil pekerja dan buruh tidak hanya mengkhianati proses demokrasi tetapi juga bisa berujung pada pembentukan undang-undang yang tidak lengkap dan tidak adil. Ketika aspirasi publik diciderai, kepercayaan pada institusi demokrasi pun tergerus, dan masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada proses legislatif itu sendiri.

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang seharusnya menjadi tonggak dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kini berada di bawah bayang-bayang pertanyaan tentang legitimasi dan inklusivitasnya. Jika tidak ditangani dengan segera, situasi ini dapat menciptakan preseden negatif untuk pembentukan kebijakan di masa depan dan meninggalkan bekas luka dalam narasi pembangunan nasional yang inklusif dan berkeadilan.

Penulis: Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden KSPI dan juga Wakil Presiden FSPMI