Apindo Batam Ancam Gugat Disnaker dan DPK Batam Jika Tetap Lanjutkan Bahas UMSK

Batam, KPonline – Rapat Dewan Pengupahan Kota (DPK) Batam hari ini (12/12/18) dengan agenda memfasilitasi rapat bipartit antara pengusaha dan serikat pekerja kembali tanpa kesepakatan. Perwakilan pengusaha memilih untuk tidak hadir dan hanya mengirimkan surat saja.

Dalam surat yang di tandatangani oleh ketua DPP Apindo Kepri Rafki Rasyid tersebut, pihak Apindo meminta agar DPK melakukan kajian untuk menentukan sektor – sektor unggulan di kota Batam sesuai dengan peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 15 tahun 2018 tentang upah minimum.

Bacaan Lainnya

Selain itu mereka dalam jawaban tertulisnya menyebutkan bahwa tidak bersedia untuk melakukan perundingan Bipartit UMSK Batam 2019 selama belum ada kajian.

Sedangkan pada point ke empat dalam surat tersebut Apindo juga akam mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada dinas tenaga kerja kota Batam dan Dewan Pengupahan kota Batam apabila perundingan pembahasan UMSK Batam di tetap di lanjutkan dengan mengabaikan permenaker 15 tahun 2018 tersebut.

Perwakilan dari Serikat Pekerja / Serikat Buruh sendiri tetap meminta agar pembahasan UMSK Batam 2019 dikembalikan kedalam pembahasan Dewan Pengupahan Kota Batam.

Sebelumnya Sekertaris Konsulat Cabang FSPMI Batam, Andy Saputra juga mengatakan bahwa yang menjadi acuan organisasi yaitu hasil dari pembahasan kesepakatan Dewan Pengupahan Kota yang telah disepakati.

“Peraturan Menteri Tenagakerjaan nomor 15 tahun 2018 lahir setelah adanya kesepakatan Dewan Pengupahan Kota, kesepakatan itulah yang menjadi patokan kita jadi kita bisa mengabaikan peraturan Menteri Tenagakerja nomor 15 tahun 2018 tersebut”, ucap Andy Saputra

Seperti di ketahui pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum pada 23 November kemarin. Dengan Permenaker ini, penetapan Upah Minimum Sektoral (UMS) harus melalui persetujuan bipartit atau antara pengusaha dan pekerja.

Selain itu untuk menentukan industri unggulan, variabelnya juga telah dikurangi menjadi empat variabel . Empat variabel tersebut antara lain kategori usaha sesuai klasifikasi baku lapa-ngan usaha Indonesia (KBLI) lima digit, perusahaan dengan skala usaha besar, pertumbuhan nilai tambah dan produktivitas tenaga kerja.

Sebelumnya, ada tujuh variabel yakni homogenitas perusahaan, jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, devisa yang dihasilkan, nilai tambah yang dihasilkan, kemampuan perusahaan, asosiasi perusahaan, dan serikat pekerja serta serikat buruh terkait.

Catatan Media Perdjoeangan sendiri masih ada daerah yang menetapkan upah minimum 2019 tidak sesuai PP Pengupahan sehingga kenaikannya sangat besar seperti Madiun (7,48 persen), kota Pasuruan (24,5 persen), Kabupaten Tuban (12,86 persen), dan Probolinggo (13 persen). Kenaikan upah minimum di daerah lain seperti Bekasi, dan Karawang juga makin tinggi melebihi Jakarta karena upah minimum yang ditetapkan tahun sebelumnya juga besar.

Permenaker Upah Minimum juga tidak mengatur secara rinci mengenai penetapan nilai Komponen Hidup Layak (KHL) yang dikaji oleh Dewan Pengupahan. Harusnya regulasi ini menjabarkan lebih lengkap mengenai peran Dewan Pengupahan untuk merekomendasikan jumlah dan nilai KHL yang baru.

Dewan Pengupahan perlu diberikan kewenangan mengambil data pembanding (selain data BPS) atau melakukan survei lapangan sehingga hasil kajiannya lebih komprehensif dan lengkap

Sementara pasal 16 Permenaker Upah Minimum bertentangan dengan pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena membatasi kewenangan Gubernur dalam menetapkan upah minimum. Ketentuan itu menjadi celah untuk meniadakan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan Kabupaten/Kota (UMSP/UMSK) sehingga merugikan buruh.

Sedangkan pasal 20 Permenaker Upah Minimum karena UMSP/UMSK hanya untuk perusahaan skala besar. Aturan itu dinilai tidak adil bagi buruh yang bekerja di perusahaan skala menengah yang berorientasi ekspor.

Penetapan UMSP/UMSK harus dalam kategori sektor unggulan dengan prosedur adanya kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor yang bersangkutan diprediksi akan ada banyak upah minimum sektoral yang ada selama ini akan hilang

Ketentuan Permenaker yang mengatur Gubernur tidak dapat menetapkan upah minimum sektoral jika tidak ada kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat buruh di sektor tersebut, hal ini berarti mereduksi campur tangan pemerintah dalam pengupahan karena menyerahkannya kepada para pihak secara bipartit. (LS)

Pos terkait