Antara Aku, Mudik, dan Infrastruktur

Bogor, KPonline – Tanggal 26 Desember 2018, suasana libur panjang sudah semakin makin terasa hari ini. Bagaimana tidak, dari pihak management perusahaan sudah menempel pengumuman tentang hari libur Natal dan libut Tahun Baru dibeberapa mading di lingkungan perusahaan.

Terlihat beberapa anggota Garda Metal dan pengurus struktural PUK menyiapkan kelengkapan sumbangan bakti sosial yang sedianya akan disalurkan dan didistribusikan kepada para korban bencana alam angin puting beliung di Bogor Selatan dan Bogor Timur.

Nampak juga beberapa orang kawan yang sedang mempersiapkan perlengkapan material, dokumen, dan lain-lainnya untuk suatu pekerjaan atau persiapan rekreasi selama liburan akhir tahun 2018 ini.

Di tengah-tengah kesibukan mereka itu, saya semakin bertambah “galau”. Ada keinginan untuk pulang kampung, tapi apalah daya gaji yang diterima terasa “mepet” untuk bulan ini.

“Bang, ente bisa ikut nggak kegiatan bakti sosial besok?” Tanya salah seorang anggota Garda Metal ke saya.

Sapanya memecah lamunan saya tentang pertimbangan saya untuk pulang kampung.

“Mohon maaf bang, saya tidak bisa ikut bang. Insya Allah saya mau pulang kampung Bang,” jawabku singkat.

“Oh ya sudah, nggak apa-apa bang. Oh iya hati-hati dijalan ya bang,” ujar kawanku itu sambil berlalu.

Jarum jam menunjukkan pukul 16.25 WIB, ketika saya sedang bercengkrama dengan anak-anak, sebelum saya tinggalkan mereka pulang kampung malam ini.

Selepas sholat Isya’, sopir dari keluarga Pak Tsung mulai memacu mobil yang kami tumpangi menelusuri rute untuk pulang kampung.

Perjalanan malam hari memang tidak cukup banyak memberikan pemandangan yang mampu memanjakan mata. Terlebih disaat kantuk melanda. Hanya Pak Supir yang dengan setia, berjuang menahan rasa kantuk.

….

Memasuki jalan tol Jagorawi, saya teringat tentang kritik pimpinan-pimpinan buruh, dan FSPMI tentunya, tentang pembangunan infrastruktur.

Bahkan secara massif, tidak hanya kaum buruh yang mengkritisi pembangunan infrastruktur dengan menggunakan hutang luar negeri. Akan tetapi, masyarakat secara luas.

Saya pun berpikir kembali, bahwa apa yang disampaikan Said iqbal waktu itu benar adanya. Dia mempertanyakan, “untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut?”

Hal tersebut adalah wajar, karena mayoritas kaum buruh di Indonesia, mempergunakan kendaraan bermotor roda dua, bukan roda empat.

“Sebenarnya, pembangunan infrastruktur yang sering digaungkan oleh pemerintah sekarang untuk siapa sih?” Pikir saya sambil melihat alat-alat berat untuk pembangunan itu.

Bukannya pembangunan ini hanya salah satu tanda keperpihakan pemerintah kepada pemodal? Tidak pro-nya pemerintah kepada rakyat yang tidak mampu? Apakah pernah, seorang buruh yang hanya memiliki kendaraan bermotor roda dua, bisa menikmati mulusnya jalan tol?

Jawabannya tentu tidak akan pernah. Karena di jalan tol hanya untuk kendaraan roda empat atau lebih. Kendaraan bermotor roda dua dipersilahkan melewati jalan-jalan kampung yang becek, dipersilahkan melewati jalan-jalan yang aspalnya sudah rusak dan berlubang. Padahal, setiap kendaraan dikenakan pajak, salah satu peruntukannya itu untuk perbaikan jalan.

Waktu merambat perlahan, saya disajikan pemandangan tahun-tahun politik dipinggir-pinggir jalan. Terlihat olehku foto-foto calon anggota dewan perwakilan rakyat dan juga banyak berkibar bendera-bendera partai politik serta foto pasangan calon presiden.

Rakyat memang butuh infrastruktur yang bagus dan baik. Selain terlihat sedap dipandang mata sebagai estetika, dan tentunya meminimalisir kecelakaan yang kerapa terjadi.

Rakyat juga membutuhkan daya beli yang kuat, harga-harga kebutuhan pokok yang terjangkau, rakyat juga membutuhkan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Sayup-sayup terdengar bait-bait lagu Aku Cah Kerjo, yang dilantunkan Nella Kharisma. Ya, saya hanya seorang buruh, dan hanya bisa mampu memandang “keindahan pembangunan infrastruktur” tanpa bisa mencicipinya. (Pion Kbm)