Akibat FSPMI Lakukan Pemogokan di Smelting, Freeport Hadapi Masalah Berat

Gresik, KPonline – Mogok kerja yang dilaklukan Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Logam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PUK SPL FSPMI) PT Smelting terjadi sejak 19 Januari 2017. Pemogokan dipicu karena masalah Perjanjian Kerja Sama antara pemilik smelter dengan karyawan. Karena aksi pemogokan ini, Freeport menghadapi masalah berat. Produksi konsentrat Freeport tak bisa terserap, gudang penuh, dan produksi terpaksa disetop. Produksi yang disetop ini membuat karyawan terancam berhenti bekerja.

Sebelumnya, KPonline sudah menurunkan tulisan terkait mogok kerja di Smelting. Tulisan pertama berjudul Buruh Smelting Mogok Kerja dan tulisan kedua berjudul 4 Pelanggaran Yang Memicu Pekerja Smelting Melakukan Mogok Kerja.

Bacaan Lainnya

Diketahui, Freeport memiliki 25% saham di PT Smelting, selaku pengelola smelter di Gresik. Sisanya dimiliki oleh pihak Mitsubishi. Smelter di Gresik ini menyerap 40% dari hasil produksi Freeport, atau sekitar 1 juta ton konsentrat per tahun.

Dikutip dari kumparan.com, PT Freeport Indonesia di area pertambangan Graseberg di Tembagapura akan terhenti dalam beberapa hari ke depan. Akibatnya, sekitar 238.000 pekerja terancam kehilangan pekerjaan. Ini terjadi apabila dua hal ini tetap tidak berubah. Pertama, apabila pemogokan buruh di smelter Gresik yang dikelola Mitsubishi tidak kunjung berakhir. Kedua, izin ekspor konsentrat tidak juga terbit.

Selama ini PT Freeport Indonesia mengirim produksi 40 persen konsentratnya ke smelter di Gresik dan mengekspor 60 persen produksinya. Namun sejak tanggal 12 Januari 2017, Freeport tidak bisa lagi mengekspor konsentratnya. Izin ekspor mineral olahan beberapa jenis, antara lain tembaga, bijih besi, dan pasir besi, yang dimiliki Freeport sesuai PP nomor 1 tahun 2014 atas perubahan PP No 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, otomatis tidak berlaku lagi.

Izin perpanjangan ekspor itu habis seiring pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 atas perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010. Dengan tidak ada izin ekspor, PT Freeport Indonesia hanya bisa mengeluarkan 40 persen ore yang diproduksinya ke smelter di Gresik. Sisanya, yang seharusnya diekspor, terpaksa ditimbun di gudang.

Namun, sejak beberapa hari lalu, Freeport juga tidak bisa mengirim 40 persen konsetratnya ke Gresik. Ada persoalan internal dan demo buruh di Mistubishi yang akhirnya smelter tidak beroperasi optimal. Akibatnya, 100 persen konsentratnya tidak bisa didistribusikan dan menggunung di gudang.

“Sekarang warehouse kami sudah penuh. Dalam beberapa hari ke depan, kurang dari seminggu, PT Freeport Indonesia akan menghentikan operasinya,” kata juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama.

Tidak ada gunanya Freeport melanjutkan eksplorasinya, termasuk eksplorasi bawah tanah yang sedang dikembangkannya, karena tidak punya tempat lagi untuk menyimpan hasilnya. Satu-satunya jalan yang ia lakukan adalah menghentikan operasi.

Bila langkah ini dilakukan Freeport, bukannya tanpa risiko. Risikonya besar: ada sekitar 238 ribu pekerja yang terancam kehilangan kesempatan kerja. Rinciannya, 38 ribu adalah pekerja internal Freeport dan 200 ribu adalah pekerja dari para partner Freeport.

Freeport Hadapi Masalah Berat

Lokasi tambang Freeport di Papua (Foto: Reuters)

Sementara itu, detik.com melaporkan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Papua, yaitu PT Freeport Indonesia, sedang menghadapi masalah berat. Negosiasinya dengan pemerintah untuk kepastian usaha tengah buntu.

Presiden Direktur Freeport Indonesia, Chappy Hakim, mengatakan pihaknya tidak menyetujui usulan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi. Klausul di dalam IUPK tidak sesuai dengan keinginan Freeport, karena memberikan ketidakpastian. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, IUPK menjadi syarat bagi Freeport untuk bisa mendapatkan izin ekspor sementara, dengan syarat membayar Bea Keluar (BK), itu pun dengan syarat dalam 5 tahun Freeport harus membangun smelter di dalam negeri

“Jadi kontrak harus menjadi izin (IUPK), apabila tidak menjadi izin tidak bisa ekspor,” kata Chappy.

Pemerintah sendiri masih kukuh dengan aturan pajak yang berlaku pada IUPK ini. Selain IUPK, Freeport juga tidak setuju dengan aturan kewajiban divestasi atau penjualan saham hingga 51%, seperti yang ada dalam PP No.1 Tahun 2017.

“Freeport tidak akan beri 51% karena bisa kehilangan pengendalinya,” jelas Chappy.

Pihak Freeport berharap negosiasi dengan pemerintah bisa memunculkan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memang sampai saat ini negosiasi masih buntu, dan Freeport menghadapi masalah berat, yaitu tidak bisa mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya.

Pos terkait