5 Pernyataan Sikap Terkait Perppu Ormas dari 5 Organisasi Ternama di Indonesia

Jakarta, KPonline – Disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengudang reaksi yang beragam. Tidak sedikit yang menolak keberadaan Perppu tersebut. Beberapa pernyataan sikap yang menolak keberadaan Perppu Ormas tersebut datang dari 5 organisasi  yang cukup terkenal di Indonesia.

1. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak terbitnya disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Sebab keberadaan Perppu ini mengancam kebebasan berserikat bagi masyarakat sipil. Tidak hanya itu, keberadaan Perppu ini juga dinilai bisa menjadi pintu masuk kembalinya rezim otoriter. Demikian disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Kamis (13/7/2017).

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Said Iqbal menegaskan, bahwa keberadaan Perppu ini akan menghambat gerakan sipil – termasuk gerakan buruh — dalam meperjuangan hak-haknya. Hal ini, karena, dengan adanya Perppu Ormas ini, Pemerintah akan dengan mudah bisa membubarkan Ormas yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan dan kemauan pemerintah.  “Wewenang pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak bertentangan dengan prinsip negara hukum,” katanya.

Said Iqbal menilai, tidak menutup kemungkinan Pemerintah juga membubarkan serikat buruh tanpa melalui proses pengadilan. Lebih lanjut pria yang juga menjadi Governing Body ILO ini menegaskan, arogansi kekuasaan tercium sangat kuat dalam Perppu Ormas ini.

Sekedar mengingatkan, saat masih berupa RUU, KSPI dan buruh Indonesia sudah ikut mengawal pembahasan RUU Ormas. Saat itu buruh berpendapat, RUU Ormas kala itu menutup kebebasan masyarakat sipil karena yang mendapat represi adalah kelompok buruh dan rakyat adat, sebab bisa jadi setiap tuntutan mereka akan disebut sebagai ancaman keamanan nasional. Karena itulah, kata Said Iqbal, ketika kemudian diterbitkan Perppu Ormas yang berpotensi mengekang kebebasan berserikat dan berekspresi, maka KSPI akan bergerak kembali.

KSPI mendukung upaya pemerintah memberantas paham radikalisme, terorisme, dan segala hal yang bertentangan dengan idiologi Pancasila. Tetapi tidak dengan menerbitkan Perppu Ormas. Karena tuduhan seperti itu harus dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan.

KSPI juga menilai bahwa keberadaan Perppu Ormas tidak tepat. “Pemerintah seperti kurang kerjaan dengan menerbitkan Perppu Ormas. Ditengah kelesuan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat akibat upah murah (dikarenakan terbitnya PP 78/2015), sehingga mengancam PHK besar-besaran di sektor ritel seperti 7-eleven dan Hypermart, dan tidak menutup kemungkinan potensi PHK pekerja ritel di Hero, Ramayana, hingga Giant,” jelas Said Iqbal.

Alih-alih mencari solusi penyelesaian, Pemerintah malah mengeluarkan Perppu Ormas yang tidak bermanfaat bagi masyarakat untuk saat ini. “Di tengah menumpuknya hutang pemerintah yang semakin menggunung dan kelesuan ekonomi, seharusnya pemerintah fokus pada masalah ini. Bukan malah melakukan pengalihan isu, dengan mengeluarkan Perppu Ormas.”

Sementara itu, banyaknya perusahaan yang melakukan PHK dan tidak membayar THR seperti PT Smelting di Gresik dan PT Freeport di Papua. Terkait kasus ini pun tidak ada penyelesaian oleh Menteri Ketenagakerjaan. Termasuk pengusiran terhadap TKI di Malaysia, dan mahalmya gas industri di sektor keramik yang berdampak pada PHK besar-besaran di industri keramik. “Seharusnya permasalahan inilah yang dikedepankan pemerintah, ketimbang mengeluarkan Perppu Ormas,” tegas Said Iqbal.

“Buruh dan rakyat kecil tidak butuh Perppu Ormas, yang dibutuhkan adalah jangan menaikan tarif listrik 900 Va, jangan menaikkan harga gas industri, jangan menaikkan harga BBM, cabut PP 78/2015 dan naikkan daya beli agar industri ritel tidak kolaps,” pungkasnya.

 

2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI Bersama 15 Kantor LBH se-Indonesia

Pada tanggal 10 Juli 2017, Pemerintah telah mengundangkan PERPPU No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kami YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia telah mengikuti secara seksama dinamika penerbitan PERPPU sebagaimana dimaksud. Sepintas penerbitan PERPPU tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam perpu tersebut.

1. Seolah akan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras sehingga Pemerintah dinilai telah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara.

2. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cara menjamin Rasa Aman, karena akan menindak Ormas-Ormas yangmelakukan tindakan-tindakan kekerasan dan dipandang mengganggu ketertiban umum.

3. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cera menindak ormas-ormas yang mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum, seperti melakukan sweeping, pembubaran acara atau tindakan-tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), bahkan persekusi.

4. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara untuk beragama dengan menindak ormas yang dianggap melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terahadap agama yang dianut di Indonesia.

5. Negara seolah-olah akan melindungi kedaulatan bangsa ini dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis.

6. Negara seolah-olah melindungi Dasar Negara Pancasila dengan menindak ormas-ormas yang menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila.

Namun mengamati pasal-pasal yang terdapat didalamnya kami menemukan setidaknya 6 kesalahan PERPPU 2/2017:

1. Secara Prosedural penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas.

2. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perpu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.

“Keamanan nasional” misalnya untuk melindungi keberadaan suatu bangsa atau keutuhan teritorialnya atau kemerdekaan politik melawan kekerasan atau ancaman kekerasan. Keamanan nasional misalnya tidak bisa diberlakukan dalam hal :
• Sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolasi kepada hukum dan ketertiban.
• Sebagai dalih untuk memberlakukan pembatasan yang kabur atau sewenang-wenang dan hanya bisa diberlakukan ketika terdapat perlindungan yang memadai dan pemulihan efektif untuk pelanggaran.

3. PERPPU sebagai mana dimaksud juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas.

4. PERPPU ini menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP

5. PERPPU ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang ketentuan ini tidak jelas definisinya. Padahal pasal penyalahgunaan dan penodaan agama selama ini sering digunakan oleh orang/kelompok intoleran atau radikal untuk menyeragamkan praktek keagamaan atau keyakinan.

6. PERPPU ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun.

Bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu.

Kami juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain.

Atas Dasar itu, YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia menyatakan protes yang sangat keras atas diundangkannya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

 

3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) protes keras atas disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu ini telah menunjukkan watak insekuritas dan kegagapan negara dalam melihat dinamika kebebasan berserikat, berkumpul dan termasuk tanding tafsir atas situasi kebebasan beropini serta gagasan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keluarnya Perppu ini adalah indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental yang sebenarnya dapat dikelola secara dinamis menggunakan alat uji dan fungsi penegakan hukum.

KontraS mencatat beberapa pokok hal yang dapat menyulut permasalahan hukum dan perlindungan HAM di masa depan pasca dikeluarkannya Perppu ini:

Pertama, tentang tafsir ambigu derogasi HAM. Menurut hukum HAM internasional, hak asasi manusia dapat diderogasi (dibatasi) dengan sejumlah ukuran ketat yang telah diatur oleh instrumen hukum HAM internasional melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Derogasi tersebut dapat digunakan secara absah oleh negara-negara pihak dari ICCPR untuk menjamin berlangsungnya roda negara dan perlindungan absolut atas operasionalisasi hak-hak asasi manusia lainnya jika situasi ancaman, konflik, kedaruratan terjadi.

Pada dokumen ini, derogasi kemudian dirujuk langsung kepada Pasal 4 ICCPR (khusus soal kedaruratan) yang menemukan alas hukumnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 138/PUU-UI/2009 yang dijabarkan sebagai berikut:

Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Namun KontraS tidak melihat operasionalisasi dari “hal kegentingan yang memaksa” sehingga Putusan MK, Pasal 4 ICCPR, yang dielaborasi melalui Pasal 22(1) dan 28J UUD 1945 (perihal situasi khusus dan keadaan darurat dan kewenangan negara untuk membatasi hak asasi manusia) juga bertautan dengan konsep partikularisme HAM di kawasan Asia Tenggara yang membangun sentimennya tersendiri pada universalisme HAM sebagaimana yang dirujuk melalui Deklarasi HAM ASEAN, yang menurut KontraS dengan merujuk Deklarasi HAM ASEAN yang memiliki banyak kritik dan kecacatan konsep juga mengurangi derajat Perppu ini sendiri. Negara sekali lagi telah menggunakan tafsir derogasi ambigu yang seakan-akan situasi “kegentingan yang memaksa” hasil dari situasi penegakan hukum yang compang camping belakangan ini menjadi pembenar lahirnya Perppu 2/2017.

Sebagaimana Komentar Umum dari Komite HAM PBB (komite yang didirikan oleh PBB untuk pemantauan ICCPR) bahwa derogasi harus bersifat non-permanen dan eksepsional. Yang utama adalah apakah pengelola negara telah mendeklarasikan bahwa situasi negara masuk pada ukuran “darurat” dan “genting yang memaksa”? Maka keberadaan Perppu ini akan amat diuji dengan ukuran legalitas dan ketersediaan penegakan hukum (rule of law) yang dapat memberikan panduan.

Kedua, tentang larangan eksesif dan tidak terukur pada Pasal 59(2). KontraS menemukan banyak kejanggalan dari logika yang ditawarkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan terselenggara dengan baik. Mengapa? Pasal 59(2) memberikan bobot larangan ketimbang pembatasan yang kuat dan eksesif pada isu dan topik sebagai berikut: (a) larangan mengadopsi simbol yang memiliki kemiripan dengan ormas, negara, organisasi internasional, (b) larangan untuk menerima dan memberikan termasuk mengumpulkan dana untuk parpol, (c) larangan ormas untuk melakukan penistaan agama dan praktik kekerasan, termasuk mengambil sikap dan tindakan menyerupai aparat penegak hukum, dan (d) isu ormas dengan larangan kegiatan separatisme termasuk penyebar luasan ide dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.

Bagi KontraS keempat poin tersebut yang jika diperiksa dengan baik di Pasal 60 dan 61 tentang sanksi administratif dan sanksi pidana amat mengerdilkan apa yang dimaksud dengan penegakan hukum di Indonesia. Di badan pasal kami sama sekali tidak menemukan adanya mekanisme peradilan yang disediakan dan dijamin negara; khususnya apabila suatu ormas ingin menggugat tindakan derogasi sepihak negara. Sanksi administratif yang muncul pada Pasal 61 dititiktekankan pada: peringatan tertulis (1 kali peringatan 7×24 jam), penghentian kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum dengan mendapatkan pertimbangan dari menteri dan badan yang terkait pada bidang hukum dan HAM. Selain itu, untuk mereka yang melakukan pelanggaran kekerasan dan ketentraman publik (Pasal 59(3) c) sebagaimana diatur pada Pasal 82A dijatuhi 6 bulan -1 tahun. Mereka yang melanggar perihal penistaan agama dan isu separatisme (sebagaimana yang diatur pada Pasal 59(3) a dan b dan 59 (4)) akan dipidana 5-20 tahun maksimal seumur hidup. Ada juga nuansa pencampuradukan juga antara beberapa isu yang dipolitisasi belakangan ini seperti persoalan penistaan agama, ekspresi advokasi kekerasan ormas-ormas; dengan pokok permasalahan fundamental seperti isu ketidakadilan yang terjadi di Papua pada keranjang solusi instan yang sama.

Ketiadaan ruang yudisial pada dokumen Perppu ini sebenarnya juga melanggar Pasal 14 ICCPR, Pasal 17 dan 18 UU No. 39/1999, KUHP maupun KUHAP perihal peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Maka siapa saja yang melanggar Pasal 59(2) dalam kacamata negara dan pengelola hukum adalah potensi ancaman negara. Pasal ini kemudian dapat mengancam ormas-ormas yang selama ini hadir dengan gagasan HAM yang kuat dan mengajak negara untuk mengoperasionalisasikan ideologi dasar negara dan termasuk Pancasila secara konsekuen dengan tren akuntabilitas global dapat dijadikan target ancaman.

Ketiga, ketidakmampuan negara untuk membedakan pembatasan hak dengan situasi kedaruratan. Sebagaimana pada poin pertama isu “kegentingan yang memaksa” nampak kabur dan dipaksakan dengan konsep pembatasan hak. Pada Komentar Umum No. 29 untuk Pasal 4 ICCPR, Komite HAM PBB menerangkan bahwa,”derogasi untuk beberapa kewajiban kovenan di masa dan situasi darurat harus dapat dipisahkan dengan larangan atau pembatasan (limitations) yang diperbolehkan di masa damai (normal) untuk sejumlah aturan-aturan yang memang telah diatur di dalam Kovenan.” (Para. 4). Komentar ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya negara tanpa melalui Perppu yang sumir ini tetap bisa melakukan pembatasan hak dengan ukuran-ukuran penegakan hukum yang ada. Selain itu Pasal 4 ICCPR juga harus diikuti dengan Pasal 5 ICCPR yang menerangkan pokok kewajiban negara untuk menggunakan tafsir berlebihan dalam mengoperasionalisasikan Pasal 4 ICCPR.

Perppu yang tidak memiliki prinsip proporsionalitas, legalitas, tujuan dan manfaat ke depannya (nesesitas) ini dan oleh karenanya, KontraS secara tegas menyatakan bahwa:

Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan Perppu Pembubaran Ormas dan melakukan kajian hukum seksama atas situasi penanganan praktik ujaran kebencian, advokasi kekerasan dan operasionalisasi diskriminasi yang dilakukan ormas-ormas garis keras menggunakan landasan penegakan hukum yang telah tersedia dan bisa dimaksimalkan.

Dewan Perwakilan Rakyat harus segera melakukan pembahasan dan menolak keberadaan Perppu pembubaran Ormas.
Pemerintah harus bertanggungjawab atas segala kemungkinan ekses buruk yang mungkin saja terjadi karena lahirnya kebijakan jalan pintas melalui Perppu ini, termasuk memastikan bahwa Perppu ini tidak berdampak pada semakin mengentalnya polarisasi masyarakat di akar rumput.

Menghentikan segala bentuk jalan pintas yang melangkalahi hukum dan prinsip-prinsip HAM dalam menghadapi dinamika politik dan kebangsaan.

 

4. Imparsial

Pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perubahan Undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Alasan diterbitkannya Perppu itu dikarenakan UU Ormas yang ada dinilai belum memadai untuk menindak Ormas-ormas yang kegiatannya dianggap bertentangan dengan Pancasila.

IMPARSIAL memandang penerbitan Perppu Ormas sebagai langkah yang tidak urgen. Penerbitan Perppu itu sebagai langkah terburu-buru dan bersifat reaktif, serta tidak didukung dengan alasan-alasan yang kuat. Tidak ada situasi genting dan mendesak—yang merupakan syarat pembuatan Perppu, sehingga pemerintah harus menerbitkan Perppu Ormas. Karena pengaturan tentang Ormas termasuk pengaturan tentang penjatuhan sanksi sejatinya sudah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013, sehingga tidak ada kekosongan hukum bagi aparat pemerintah untuk menangani kegiatan Ormas yang dianggap bermasalah.

Sejumlah ketentuan baru yang diatur dalam Perppu berpotensi mengancam demokrasi dan HAM. Di antaranya ketentuan dalam Pasal 82A Perppu yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana kepada siapapun yang menjadi pengurus dan atau anggota Ormas baik langsung maupun tidak langsung yang melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) serta penistaan terhadap satu agama yang diatur di Indonesia, dengan ancaman sanksi minimal pidana 5 tahun penjara. Perppu ini juga menghapus pendekatan persuasif dalam penanganan Ormas yang dianggap melakukan pelanggaran.

Kita memang menghadapi fenomena merebaknya Ormas-ormas yang aktivitasnya mempromosikan intoleransi, radikalisme, dan bahkan terorisme. Bukan hanya sekedar ide dan gagasannya yang anti-demokrasi dan HAM, tetapi di antaranya sudah diwujudkan melalui tindakan nyata yang mengancam keamanan, menyerang dan memberangus kebebasan, hak asasi, dan ke-Bhineka-an.

Dalam menyikapi persoalan itu, negara memang dituntut untuk hadir di tengah masyarakat guna menangkal dan menindak Ormas-ormas yang mempromisikan dan melakukan intoleransi dan kekerasan. Negara tidak boleh kalah dalam menghadapi kelompok-kelompok intoleran dan pelaku kekerasan. Adalah sebuah kewajiban bagi negara untuk memastikan rasa aman publik, menjamin terlindunginya kebebasan, hak asasi, dan eksistensi ke-Bhineka-an.

Namun demikian, IMPARSIAL meski ada kebutuhan menindak tegas Ormas-ormas intoleran, namun langkah pemerintah perlu dan harus dilakukan secara hati-hati dan tidak reaktif. Dalam konteks itu, pemerintah harus tetap berpijak pada koridor politik negara yang demokratik, menghormati norma dan standar HAM, dan prinsip-prinsip negara hukum. Ini penting untuk memastikan akuntabilitas kebijakan dan langkah pemerintah, tidak merusak tatanan negara demokratik, tidak mengancam kebebasan dan hak asasi manusia. Langkah reaktif dan pengabaian prinsip-prinsip di atas berpotensi melahirkan suatu kesewenang-wenangan yang mengancam dan memberangus partisipasi politik warga negara.

IMPARSIAL menilai dalam upaya menangani ormas-ormas intoleran yang kegiatannya bertentangan dengan Pancasila, mengganggu keamanan nasional, dan mengancam kebinekaan, pemerintah sebenarnya cukup berpijak pada ketentuan dan mekanisme yang diatur UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Termasuk jika pemerintah menilai ada alasan-alasan kuat, sah dan dibenarkan untuk mendorong pembekuan atau pembubarannya.

Meski penjaturan sanksi pembubaran sebuah Ormas dipandang sebagai bentuk pembatasan atas kebebasan berserikat yang kejam, namun langkah pembubaran organisasi dapat dimungkinkan sepanjang pembatasan atas kebebasan ini diatur dalam UU, ada alasan-alasan yang nyata, dan menjamin prinsip proporsionalitas. Dalam konteks pembubaran Ormas, UU Ormas juga menegaskan langkah itu tidak boleh dijalankan secara semena-mena. Suatu Ormas tidak bisa serta merta bisa dibubarkan oleh pemerintah, dan bahkan bentuk sanksi pembubaran ditegaskan sebagai langkah terakhir.

Mengacu pada UU Ormas, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum sanksi pembubaran dilakukan terhadap Ormas yang dianggap telah melakukan pelanggaran. Dimulai dari menjalankan langkah persuasif terlebih dahulu (Pasal 60). Setelah itu dilakukan, pemerintah memberikan peringatan tiga kali kepada Ormas hingga pemberian sanksi administratif (Pasal 62). Jika hingga peringatan ketiga tetap ada pelanggaran, pemerintah bisa mengajukan penghentian sementara kegiatan Ormas dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) (Pasal 65). Setelah semua langkah itu dan pelanggaran tetap dilakukan, Ormas dapat dibubarkan dengan dicabut status badan hukumnya; caranya Jaksa mengajukan ke pengadilan dan Ormas yang hendak dibubarkan harus mendapat kesempataan untuk pembelaan (Pasal 68).

Penghormatan pada prinsip due process of law sangat fundamental dan penting. Hal itu untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam tindakan itu yang berpotensi menimpa organisasi-organisasi lain di masyarakat. Lebih jauh, proses peradilan juga harus digelar secara terbuka dan akuntabel, serta putusan yang dikeluarkan pengadilan harus dapat diuji di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Atas dasar hal tersebut di atas, IMPARSIAL mendesak DPR untuk tidak menyetujui Perppu perubahan UU No 17 tahun 2013. Selain tidak ada alasan yang genting dan mendesak, Perppu ini juga bersifat represif yang mengancam demokrasi dan HAM.

 

5. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia 

Perppu Ormas Abaikan Hukum dan Ancam Kebebasan Berserikat

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2017, tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 17 tahun 2013, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)—atau selanjutnya disebut Perppu Ormas—yang dirilis Rabu (12/7), berisi hal-hal yang justru mengabaikan hukum dan demokrasi. Perppu itu bahkan bisa dipakai untuk memberangus kebebasan berserikat warga negara.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono, Kamis (13/7/2017) mengatakan Perppu Ormas menghapuskan seluruh mekanisme uji lembaga peradilan yang diatur Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas.

UU Ormas mengatur dengan rinci dan tegas setiap tahapan yang harus dilalui untuk membubarkan Ormas. Tahapan itu harus diawali dengan peringatan tertulis hingga tiga kali, penghentian bantuan dan atau hibah, penghentian sementara kegiatan dan atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum melalui pengadilan.

UU Ormas sendiri menuai kritikan, karena berpotensi menjadi pasal karet, tutur Suwarjono. Namun UU Ormas masih mengatur mekanisme pembubaran Ormas yang harus dilakukan melalui putusan lembaga peradilan. Lembaga pengadilan yang harus menguji, memeriksa, mengadili dan memutuskan ormas melanggar hukum atau tidak, lanjut Suwarjono.

“Jika ada kekurangan UU Ormas, silahkan revisi bersama DPR. Bukannya mengeluarkan Perppu dengan menghapus bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat yang sudah dijamin Konstitusi. AJI menuntut proses pembubaran organisasi apapun harus melalui pengadilan yang adil dan transparan,” kata Suwarjono.

Kini, Perppu Ormas mencabut seluruh tahapan pembubaran melalui putusan lembaga peradilan itu, dan Perppu Ormas menjadikan Pemerintah berwenang penuh untuk secara sepihak membubarkan ormas.

“Perppu Ormas ini menempatkan pemerintah menjadi penafsir tunggal dalam menilai sebuah ormas layak dibubarkan atau tidak. Perppu tidak membuka ruang bagi lembaga peradilan untuk menguji apakah dasar-dasar pembubaran ormas yang dinyatakan pemerintah sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini berpotensi menjadi pasal yang menindas,” kata Suwarjono.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho mengatakan Perppu Ormas rawan digunakan Pemerintah untuk memberangus kritik.

“Perumusan penjelasan Pasal 59 ayat (3) huruf a. secara serampangan dapat memperluas dan mengaburkan makna ujaran kebencian. Rumusan penjelasan itu tidak hanya meliputi ujaran kebencian dalam hal agama, ras, suku. Makna ujaran kebencian diperluas sehingga mencangkup pandangan politik maupun ujaran kepada penyelenggara negara. Perumusan ujaran kebencian kepada penyelenggara negara, berikut ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup, sangat berbahaya dan mengancam hak warga negara untuk menjalankan hak konstitusional yang diatur Pasal 28F UUD 1945,” kata Iman.

Lebih jauh lagi, “tindakan permusuhan” yang pengertiannya akan ditentukan sepihak oleh Pemerintah itu disertai ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

“Perumusan aturan itu jelas-jelas mengabaikan kewajiban Negara untuk menjamin pelaksanaan Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan hak setiap warga negara atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pemerintah juga mengabaikan perintah Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan jaminan hak setiap warga negara untuk untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” kata Iman.

Iman mengingatkan Indonesia telah mengesahkan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Angka 3 Pasal 19 Konvenan Sipol pembatasan kebebasan berpendapat hanya dapat dilakukan Negara untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

Akan tetapi, Pemerintah tidak boleh melepaskan Pasal 19 angka 3 itu dari ketentuan Pasal Pasal 2 angka 1 Konvenan Sipol, yang menyatakan Negara wajib menghormati dan menjamin semua hak, termasuk hak menyatakan pendapat tanpa pembedaan apapun, termasuk perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

“Perumusan Perppu Ormas jauh melampaui pembatasan yang patut menurut ketentuan Konvenan Sipol,” kata Iman.

Baca artikel lain terkait Perppu yang berhubungan dengan Pembubaran Ormas

6 Pendapat Para Tokoh Ini Akan Membuatmu Percaya Untuk Menolak Perppu

Ini Hal-hal Yang Berubah Pasca Terbitnya Perppu Ormas

3 Alasan Pemerintah Mengeluarkan Perppu Terkait Pembubaran Ormas

Membidik HTI Melalui Perppu Pembubaran Ormas. Kemunduran Demokrasi?

Said Iqbal: Arogansi Kekuasaan Tercium Kuat Dalam Perppu Ormas

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *