Yang Mengecewakan dari Film Bumi Manusia

Jakarta, KPonline – Semalam saya berkesempatan menonton Bumi Manusia. Memang, begitu mendengar film ini sudah tayang, saya sudah kepincut untuk menonton. Ini semua karena pengaruh buku Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer yang telah lebih dahulu membentuk imajinasi tersendiri dalam benak saya.

Saya sudah memiliki gambaran siapa itu Minke, Annelis, Nyai Ontosoroh, hingga Jean Marais jauh sebelum ini. Karen itulah, sulit bagi saya untuk bisa adil sejak dalam pikiran ketika memutuskan untuk menonton film ini.

Bacaan Lainnya

Dalam film, kisah percintaan Minke dan Annelies terlalu dominan. Apalagi dengan kata-kata lebay mirip Dilan. Akibatnya, saya justru melihat sosok Dilan ketimbang Minke yang merupakan pemuda pribumi yang memiliki ambisi besar.

Kawan saya, Suhari mengatakan, jika kita sudah baca bukunya terlebih dulu, maka kita sudah punya gambaran tokoh yang ada di buku tersebut. Jika diangkat ke layar lebar tentu ada sedikit yang di luar ekspektasi kita

Percakapan Minke dan Jean Marais, perdebatan Minke dengan Sarah dan Miriam de la Croix, hingga diskusinya dengan sang guru favorit yang mengajarkan dia bahasa dan sastra di HBS, Magda Peters, hanya mendapat porsi sedikit di film.

Maiko, salah satu pelacur di rumah Bordil menjadi salah satu karakter yang menarik. Sayangnya, kisah hidup Maiko di film tidak diungkap secara mendalam. Padahal, ini menjadi satu bagian menarik tentang pergolakannya bertahan hidup.

Kawan saya, Suhari mengatakan, jika kita sudah baca bukunya terlebih dulu, maka kita sudah punya gambaran tokoh yang ada di buku tersebut. Jika diangkat ke layar lebar tentu ada sedikit yang di luar ekspektasi kita.

Saya sepakat dengan cnnindonesia.com ketika menulis, bahwa olemik demi polemik terasa hanya sekadar hadir demi kelengkapan. Tapi tidak jauh masuk ke dalam pergulatan batin masing-masing karakter. Agar anda tahu perdebatan itu, satu-satunya cara adalah dengan membaca bukunya.

Ini kekecewaan juga yang menjadi kekecewaan saya terhadap film Bumi Manusia. Tetapi secara keseluruhan, saya harus jujur, bahwa film ini sangat bagus.

Mungkin targetnya adalah agar millenial bisa lebih menerima film ini. Namun disadari atau tidak, emosi dan energi seorang Minke tidak sepenuhnya keluar. Fase ketika kesadaran terhadap rasa kebangsaan dan kemanusiaan yang tumbuh kurang tergali.

Padahal Bumi Manusia tidak hanya berpusat pada kisah cinta. Kita juga akan menemukan perjuangan Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema. Perempuan hebat yang meski tidak pernah sekolah tetapi kemudian belajar menjadi pengusaha ulung.

Nyai Ontosoroh yang diperankan Sha Ine Febriyanti patut diapresiasi. Terlebih, dalam momen ia menjalani pengadilan kulit putih dan diperlakukan sebagai masyarakat kelas ketiga.

“Saatnya mengisi tinta dengan darah.” Dalam proses ketika menghadapi pengadilan, terlihat bagaimana Minke menggunakan kata-kata sebagai senjata. Dari kata-kata, mereka akhirnya mengorganisir kekuatan untuk melakukan perlawanan.

Di sini banyak pelajaran yang bisa kita petik, khususnya untuk kalian yang aktif terlibat dalam gerakan. Bagaimana media sangat efektif untuk menggalang kekuatan perlawanan.

Hal lain yang mengesankan, ketika di akhir film, Nyai menuturkan kalimat yang fenomenal: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Selepas menonton ini, bagi yang belum, saya sarankan untuk membaca buah karya Pram dalam bentuk buku. Saya jamin tidak akan mengecewakan.

Pos terkait