Warung Bude Yang Terusir

Bogor, KPonline – “Pokoknya saya nggak mau tau! kosongkan kontrakan ini di akhir bulan. Bikin gaduh saja!”

Mendengar bentakan pak Welly, Bude gemetar. Telinganya merah merona. Dia hanya bisa membisu. Tertunduk lesu dan diam seribu bahasa.

Bacaan Lainnya

Ya, kami semua memanggilnya Bude. Sampai detik ini pun, kami belum mengetahui nama lengkapnya. Dalam bahasa Jawa, Bude adalah sebutan untuk kakak dari Ibu atau Bapak kita. Secara harfiah, panggilan Bude adalah sebuah panggilan “kehormatan” kepada seseorang perempuan yang lebih tua dari Ibu kita.

Memang, Bude layak untuk dihormati. Bahkan Budi, anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki Bude, tidak kalah istimewa.

Saat Pak Welly menghardik dan mencoba mengusir Bude dan Budi dari kontrakan, Budi malah tersenyum. Bahkan Budi sempat membuatkan segelas teh hangat untuk Pak Welly.

Dalam situasi yang kurang kondusif dan suasana emosional yang tinggi, Budi tetap tersenyum. Meskipun dia tahu bulan depan harus angkat kaki dari kontrakan ini.

Kami merasa harus bertanggung jawab. Karena sering kumpul-kumpul di warung dan kontrakan Bude, akhirnya Pak Welly empunya kontrakan marah dan murka.

Meski jarak dan waktu memisahkan Pak Welly dengan kontrakan miliknya, pembisik dan pengadu pasti sudah bergentayangan terlebih dahulu.

Warung dan kontrakan Bude sering kami gunakan sebagai sarana berkumpul dan konsolidasi. Warung dan kontrakan tersebut berada tepat di seberang pabrik dimana kami pernah bekerja dulu. Sekarang, kami sudah ter-PHK dengan alasan sudah habis kontrak kerja. Padahal banyak diantara kami yang sudah belasan tahun masa kerjanya.

Perundingan demi perundingan sudah kami lalui, bahkan mediasi di Disnaker pun sudah kami jalani. Pengawas Ketenagakerjaan dan Dinas Ketenagakerjaan pun memberikan anjuran yang sama, yaitu mempekerjakan kami kembali.

Anjuran tinggallah hanya sebuah anjuran. Selembar kertas tak berarti, karena pihak perusahaan tidak mau mempekerjakan kami kembali.

Surat anjuran tersebut tidaklah “se-sakti” yang kami kira.

Kami pun berkumpul seraya mencarikan solusi yang terbaik buat Bude dan Budi. Kami mendekati Pak Welly, berharap Bude dan Budi masih diperbolehkan mengontrak hingga Lebaran nanti.

Kami merasa bersalah, karena kumpulnya kami dan sering konsolidasi di warung dan kontrakan, membuat Bude dan Budi harus “terusir”. Kami akui, jika disaat kami berkumpul, suara-suara berisik sering terlontar tanpa kami sadari.

Tak jarang kami pun berkumpul dan berdiskusi hingga larut malam. Sampah dan kotoran bekas makanan dan minuman berserakan disana dan disini. Mungkin itu juga salah satu alasan Pak Udin mengadukan kami ke Pak Welly. Sampai saat ini, yang ada di benak kami hanyalah, bagaimana caranya agar Bude dan Budi tidak ” diusir” dari warung dan kontrakan.

Pak RW dan Pak Gendut tertawa sinis, mereka berdua merasa senang dan menang. Karena hasil kasak-kusuk mereka selama ini sudah berhasil, dan sudah barang tentu pihak Management yang membayar mereka akan senang.

Keberhasilan mereka untuk membendung gerakan-gerakan buruh-buruh ter-PHK tersebut, pasti akan mengalirkan pundi-pundi uang ke kantong mereka. Entah apa yang ada didalam benak mereka berdua, tentang nasib dan kisah tragis warga sekitar pabrik. Yang ada didalam benak dan kepala Pak RW hanyalah uang dan keuntungan pribadi.

Buruh-buruh ter-PHK yang sudah jelas-jelas merupakan warga sekitar pabrik, ahh bodo amat!

Maafkan kami Bude. Karena kami Bude dan Budi harus terusir dari warung dan kontrakan. Dengan senyum tipis dan penuh kehangatan layaknya seorang Ibu, Bude tersenyum ke arah kami.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, sudah menjadi takdir saya dan Tuhan sudah menggariskan seperti ini,” ucapan Bude seraya berbisik ke dalam relung hati kami yang paling dalam.

“Semoga pahit perjuangan ini akan indah pada waktunya, dan perjuangan ini tak akan pernah berhenti hanya sampai disini. Karena janji Tuhan itu pasti, bagi orang-orang yang terus berjuang dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Maafkan kami Bude…….

Pos terkait