Upah, Tapera, dan Wacana Partai Politik Alternatif (Analisa Media)

IMG_20151210_120716

Jakarta, KPonline – Sepanjang tahun 2016, ada beberapa isu utama yang diperjuangkan buruh Indonesia. Beberapa isu tersebut, diantaranya adalah, upah layak, jaminan pensiun dan kesehatan, Tabungan Perumahan Rakyat, Revisi UU PHI, K3, Objek Vital, Outsourcing, Stop PHK, Pajak Pesangon, serta maternity protection. Selain itu, beberapa isu yang juga diangkat adalah mengenai penyelesaian kasus kriminalisasi 26 buruh, PHK sepihak pasca mogok nasional, dan harga BBM yang terlalu tinggi.

Bacaan Lainnya

Salah satu faktor penting dari keberhasilan perjuangan gerakan sosial, termasuk kaum buruh, adalah media. Dalam kaitan dengan itu, secara rutin, penting bagi buruh untuk menganlisis isi pemberitaan di media mengenai seberapa kuat isu-isu yang sedang mereka perjuangkan. Termasuk, juga, untuk mengetahui tanggapan pihak-pihak terkait mengenai isu-isu tersebut.

Dalam melakukan Analisa Media, saya memasukkan sejumlah kata kunci di Google Alerts. Berita yang dikumpulkan adalah berita yang terpantau melalui Google Alerts selama kurun waktu tanggal 28 Februari – 5 Maret 2016. Kliping berita tidak dibatasi hanya pada media tertentu, misalnya Republika, Kompas, atau Viva. Dengan demikian, berita-berita yang muncul di media seperti kastaranews, rimanews, atau jabarpublisher, juga ikut terjaring.

Selama pekan pertama bulan Maret, isu perjuangan buruh yang mendominasi media adalah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), upah, PHK, dan partai politik alternatif. Beberapa isu yang juga menguat adalah berkaitan dengan perjuangan untuk menurunkan harga BBM, objek vital, dan politik.

Isu Upah Layak dan Penolakan PP 78/2015

Bukannya mencabut, nampaknya Pemerintah justru akan memperkuat keberadaan PP 78/2015. Hal ini terlihat dengan rencana mereka membuat aturan turunan, dengan dalih untuk memperpendek kesenjangan upah. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa pemberitaan berjudul, ‘Pemerintah Janjikan Perpendek Kesenjangan Upah (Republika, 29/2/2016), dan ‘Jarak Upah Dipangkas (Republika, 1 Maret 2016).

Sebenarnya, upaya untuk mempendek kesenjangan upah bisa dimengerti. Karena gini ratio di Indonesia tergolong tinggi. Namun, kita ingin mengingatkan kepada pemerintah, cara memperpendek kesenjangan upah bukan dengan cara menekan tingkat kenaikan upah melalui PP 78/2015. Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah mencabut PP 78/2015, kemudian menaikkan upah mínimum dengan meningkatkan jumlah KHL menjadi 84 item.

Kritik yang disampaikan buruh terhadap upah murah juga semakin kuat. Salah satunya melalui Suara.com, dengan berita berjudul, ‘Said Iqbal: Bohong Jika Upah Pekerja di Indonesia Sudah Tinggi’. Sementara itu, beberapa media lain juga menurunkan berita yang hampir sama: ‘Upah Pekerja Indonesia Rendah (Republika, 2/3/2016), dan KSPI: Pekerja UMKM Harus Digaji Sesuai Stándar UMR (Satuharapan.com, 29/2/2016).

Pemberitaan ini berhasil membantah klaim pengusaha yang menyatakan bahwa upah di Indonesia sudah tinggi. Termasuk menjawab tuduhan yang mengatakan bahwa serikat buruh memanipulasi dan berbohong mengenai data upah. Padahal data yang disajikan adalah data resmi ILO, Bank Dunia, bahkan data dari Pemerintah sendiri.

Pengusaha berdalih, skill buruh yang rendah membuat mereka enggan membayar upah tinggi. Ini diberitakan Jawa Pos, ‘Hadapi MEA Tidak Hanya Pikir Tapi Siapkan Skill’ (29/2/2016).

Permasalahan upah memang berkaitan dengan hal lain, termasuk sumber daya manusia. Tetapi rasanya tidak adil jika menyalahkan buruh terkait rendahnya skill mereka, karena pada saat yang bersamaan pendidikan masih mahal. Bahkan terkesan dijadikan bisnis. Ironisnya, guru-guru honorer digaji murah sekali. Bagaimana mungkin berharap pendidikan yang berkualitas dengan situasi seperti ini?

Dalam hal ini, sikap buruh untuk mendukung perjuangan guru, adalah upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk pada gilirannya meningkatkan skill.

Sementara itu, pemerintah  terus mengkampanyekan agar permasalahan perburuhan tidak diselesaikan dengan demo. Dalam kunjungan ke Kudus, ia bahkan menegaskan agar ‘Buruh Harus Tahu Dosis Demontrasi (Republika, 28/3/2016). Yang menarik, adalah berita di Detik.com dengan judul, ‘Menaker Ajak Buruh di Kudus Rutin Jalan Sehat Agar Lebih Sejahtera (28/2/2016). Menaker telah mereduksi peran pemerintah untuk membuat kebijakan yang berkualitas, dengan sekedar mengajak buruh pada agenda formalitas: jalan santai, menanam pohon, melakukan seremonial, ikut seminar di hotel-hotel, dsb. Tetapi pada saat yang bersamaan, buruh-buruhnya masih tetap miskin.

Kritik keras mengenai upah juga diberitakan, ‘KSPI Tuding Kebijakan Upah Murah Perparah Ekonomi Indonesia (Suara.com, 1/3/2016). Entah karena kebetulan, pernyataan itu ditimpali dengan berita berjudul  ‘Surya Chandra: Upah Minimum Terlalu Tinggi Akan Berbahaya (Suara.com, 3/3/2016)’. Padahal, selama ini Surya dikenal sebagai orang yang dekat dengan gerakan buruh.

Sementara itu, mengenai PP 78/2015, Pansus Pengupahan Komisi IX DPR RI masih terus bekerja. Salah satunya diberitakan Tribunnews, ‘Jadi Kontroversi dan Diprotes Buruh DPR Siap Revisi PP Penguapahan.’

Isu Tapera

Isu Tapera juga semakin menguat. Dalam hal ini, buruh berhasil masuk dalam perdebatan mengenai tabungan perumahan rakyat. Pengusaha sendiri sejak awal sudah menolak Tapera, salah satunya seperti diberitakan Bisnis.com, ‘Kalangan Pengusaha Tetap Tolak Tabungan Perumahan (1/3/2016). Berbeda dengan kalangan pengusaha, buruh justru mengkritik sikap pengusaha yang selalu menolak kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada titik ini, buruh berhasil menunjukkan posisinya.

Selanjutnya buruh menjelaskan jika dukungannya terhadap Tapera dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Salah satunya dimuat dalam Koranjakarta.com, ‘Buruh Dukung Program Tapera Dengan Syarat(2/3/2016)’.

Buruh juga cepat memanfaatkan isu Tapera dengan mengkaitkan isu upah, ‘KSPI Setuju Tapera Asalkan Upah Buruh Naik (inilah.com, 1/3/2016), dan ‘KSPI: Kalau Buruh Sudah Terima Upah Layak Tapera Bisa Jalan(bisnis.com, 1/3/2016).

Isu Stop PHK

Suara.com pada judul, ‘KSPI Klaim 12.680 Buruh di PHK Dalam Dua Bulan (Suara.com, 1/3/2016)’ menjelaskan dengan baik isu PHK massal yang saat ini terjadi. Berita mengenai PHK juga menguat di hari-hari berikutnya. Beritasatu.com menurunkan berita, ‘Pekerja di PHK Dalam Dua Bulan (2/3/2016). Sementara itu, Rimanews.com menulis, ‘Pekerja di Indonesia Alami PHK Selama Januari – Februari 2016 (2/3/2016).

Kuatnya pemberitaan mengenai PHK, akhirnya memaksa pemerintah angkat bicara. Hal ini ditulis oleh Kompas.com, ‘Data PHK Versi Buruh dan Pemerintah Simpang Siur (3/3/2016)’. Sementara itu, Tribunews.com juga menulis, ‘Data Angka PHK Versi Pemerintah dan Serikat Buruh Berbeda, Kok Bisa (3/3/2016).

Saya rasa, buruh berhasil. Kita ingat, beberapa waktu lalu, pemerintah selalu membantah ada PHK.

Setidaknya pemerintah mengakui adanya PHK tersebut. Jika basis data yang dipakai Pemerintah adalah yang dilaporkan Disnaker, maka sesungguhnya data yang sebenarnya jauh lebih besar. Banyak kasus PHK yang tidak dilaporkan, terutama buruh kontrak dan outsourcing yang paling rentan kehilangan pekerjaan.

Selain pemerintah, Surya Chandra juga berkomentar mengenai PHK (setelah sebelumnya juga berkomentar tentang upah), dengan nada hampir sama yang disampaikan Pemerintah: ‘Inilah Sebab Data PHK antara Buruh dan Pemerintah Simpang Siur (Suara.com, 3/3/2016).

Entah karena kebetulan atau bukan, sehari kemudian, bisnis.commenurunkan tulis, INDEF: Insentif Pajak Bisa Cegah PHK (bisnis.com, 4/3/2016).

Seolah ada penggiringan opini, bahwa banyaknya PHK menjadi alasan Pengusaha untuk meminta insentif. Karena itu, jika tidak dikelola, isu PHK massal justru akan digunakan pengusaha hitam untuk meminta insentif dengan dalih mengatasi PHK. Padahal yang kita inginkan adalah insentif untuk buruh yang menjadi korban PHK, sekaligus meminta tanggungjawab Negara untuk menghentikan PHK massal tersebut.

Isu Partai Politik Alternatif

Kompas.com dalam judul ‘Said Iqbal: Buruh Siap Berpolitik Langkah Awal Bentuk Ormas (1/3/2016)’ memberitakan dengan baik tahapan pembentukan partai tersebut. Sementara itu, Republika.co.id menulis, ‘Said Iqbal Buruh Siap Berpolitik Pada 2017 (1/3/2016)’, sedangkan Viva.co.id menurunkan berita, ‘Serikat Buruh Diwacanakan Jadi Partai Politik (1/3/2016).

Hingga beberapa hari kemudian, media masih diramaikan dengan pemberitaan mengenai partai politik alternatif yang sedang digagas kaum buruh. Diantaranya, ‘Presiden KSPI Mewujudkan Indonesia Baru (Bussiness.com, 2/3/2016), ‘Akankah Muncul Partai Alternatif untuk Buruh di 2017 (Majalahkartini.co.id , 2/3/2016), dan ‘Said Iqbal Buruh Siapkan Kendaraan Politik (Medanbisnisdaily.com, 2/3/2016).

Sejauh ini belum ada tokoh yang mengomentari ide kaum buruh yang hendak membentuk alat politik. Karena isu ini sudah menguat, sebaiknya terus dirawat. Apalagi 1 Mei, rencana deklarasi Ormas dilakukan, tinggal dua bulan. Termasuk perlu adanya pernyataan tokoh-tokoh dari lintas element yang siap mendukung partai alternatif yang hendak didirikan kaum buruh.

Komentar yang mendeskreditkan dan tendensius justru muncul dari kolom-kolom komentar di setiap berita, khususnya di kompas.com. Untuk hal ini, perlu ada klarifikasi untuk menjawab komentar tersebut, agar apa yang mereka sampaikan tidak menjadi pembenaran.

Dalam kaitan dengan politik, pasca deklarasi terkumpulnya 156 ribu KTP, berita mengenai Obon Tabroni yang maju sebagai calon independent juga semakin menguat. Salah satunya diberitakan, Sabekasi.com dengan judul ‘Meski Sempat Dijegal dan Dicibir, Sobat Obon Tak Menyerah (28/2/2016)’.

Ditengah pemberitaan yang positif mengenai Obon, Beritacikarang.com menurunkan berita dalam judul ‘Nyumarno Siap Bertarung Dengan Obon di Pilkada Bekasi (5/3/2016).’ Judul ini provokatif, ‘siap bertarung.’ Dalam teori komunikasi politik, Nyumarno yang anggota DPRD dari partai ini memang tidak mungkin secara terbuka mendukung Obon. Dia bisa dipecat dari partainya.

Berita ini sempat menimbulkan pro-kontra di kalangan buruh sendiri. Namun begitu, secara politik buruh bisa mengambil keuntungan dari pernyataan Nyumarno, yaitu betapa pentingnya memiliki kendaraan politik sendiri. Tidak menumpang di kendaraan orang lain.

Isu Objek Vital

Isu tentang objek vital menemukan momentumnya dengan adanya pembubaran buruh Bekasi yang mengawal penyerahan somasi ke perusahaan-perusahaan yang mem-PHK buruh-buruhnya pasca mogok nasional 2015.

Redaksikota.com dengan judul ‘Polisi Kembali Bubarkan Demonstrasi Damai Buruh di Bekasi (3/3/2016)’, menggambarkan, betapa kawasan industri yang dijadikan objek vital telah memberangus hak buruh untuk mogok dan menyatakan pendapat di muka umum.

Berita lain yang terkait adalah beritaekspres.com dengan judul, ‘LBH FSPMI dan Eggy Sudjana Somasi Perusahaan Bekasi (4/3/2016), dan dan Jakartapublisher.com, berjudul ‘ Kapolres Bekasi: Polisi Tidak Lakukan Aksi Kekerasan Kepada Buruh (4/3/2016).

Momentum ini sebaiknya kita gunakan untuk memperkuat isu mengenai objek vital. Termasuk dengan menyerukan peraturan mengenai objek vital di kawasan industri.

Isu Jaminan Pensiun dan Kesehatan

Kegiatan Jamkeswacth juga mulai naik ke media massa, meskipun belum masif.

Redaksikota.com dengan judul, ‘Jamkeswatch Lihat Bobroknya Pelayanan RSSM Terhadap Rakyat Miskin (6/3/2016), dan ‘Jamkes Watch Sumut Advokasi Bayi yang Tak Dibiayai BPJS Kesehatan’ mewakili agenda Jamkeswatch untuk jaminan kesehatan. Dengan memiliki akses terhadap Dewas BPJS Kesehatan, saya rasa kita harus optimis isu jaminan kesehatan yang kita perjuangkan bisa semakin menguat, sehingga cita-cita dulu saat memperjuangkan UU BPJS bisa diwujudkan.

Harga BBMB

Seruan kaum buruh agar harga BBM diturunkan juga mendapat tempat. Salah satunya oleh sindonews.com, dengan judul ‘Buruh Desak Pemerintah Turunkan Harga BBM Jadi Rp 5000/liter (1/3/2014). Selain itu, Rimanews.com menerbitkan berita, ‘Bulan Depan Pertamina Isyaratkan akan Turunkan Harga BBM Bersubsidi(4/3/2016). Ada harapan BBM segera turun, meskipun ini harus tetap kita kawal. (*)

 

Kahar S. Cahyono

Wakil Presiden DPP FSPMI

 

Pos terkait