Tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Demi Masa Depan Anak Cucu

Purwakarta, KPonline – Utuhnya nilai kesejahteraan atas hak-hak yang sudah didapat kelas pekerja atau kaum buruh saat ini akan berkurang atau bahkan menghilang dengan hadirnya Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja.

Bagi pekerja, aturan ini dinilai merugikan karena banyak hak buruh yang tercerabut. Hal lain yang membuat pekerja keberatan dengan aturan ini adalah perubahan upah menjadi per jam yang membuat pekerja hanya dilihat sebagai mesin produksi.

Bacaan Lainnya

Sementara bagi pengusaha dan investor, aturan ini menguntungkan karena mereka tidak harus menanggung risiko dari apa yang ditakutkan oleh para pekerja.

Kembali, kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya terlihat sekali, pengusaha dan investor lebih banyak diuntungkan dengan adanya aturan ini. Karena dari awal emang ditujukan untuk bikin ekosistem usaha yang memberikan kenyamanan bagi investor, jadinya Isi RUU ini sangat kental dengan kepentingan investor.

Kemudian, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal memberikan alasan kenapa KSPI menolak RUU tersebut, yaitu:

1. Hilangnya Upah Minimum.

2. Hilangnya Pesangon.

3. Penggunaan Outsourcing yang bebas.

4. Jam kerja eksploitatif.

5. Penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas.

6. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskilled Workers.

7. PHK yang dipermudah.

8. Hilangnya jaminan sosial bagi pekerja atau buruh. Khususnya kesehatan dan pensiun.

9. Sanksi pidana yang dihilangkan bagi pengusaha.

Lalu bila memang RUU ini disahkan, tentu saja untuk selanjutnya bisa merugikan anak dan cucu kita.

Kenapa?

“Memang saat ini anak saya masih sekolah. Namun, bila nanti lulus sekolah, mereka akan merasakan dampak dari RUU ini, ” ucap lestareno (Bidang Infokom PUK SPAI-FSPMI PT. Sepatu Bata.

Dalam RUU tersebut, selain akan hilangnya UMP atau UMK karena upah berparameter dengan hitungan per jam, nilai pesangon yang selama ini ditegaskan dalam pasal 156 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan berkurang.

Hal pesangon tersebut pun dibenarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah kepada detik.com pada Senin (24/2/2020).

“Ya, pesangon memang jumlahnya tidak sebesar UU 13 tahun 2003. Tetapi yang harus dilihat secara utuh bahwa ada perlindungan baru yang diberikan di RUU ini. Kita ingin memberikan kepastian perlindungan,” ungkap Ida.

Seharusnya, perbaikan itu menjadi lebih baik tujuannya. Namun, dengan pengurangan nilai pesangon yang lebih kecil daripada UU sebelumnya, apakah hal tersebut bisa dikatakan lebih baik. ujar Lestareno menambahkan.


“Omnibus Law RUU Cipta kerja adalah ancaman serius bagi kelas pekerja atau kaum buruh. Dampaknya juga akan terasa bagi anak cucu kita. Dimana setelah menjadi pekerja nanti, mereka akan mendapatkan hak-hak pekerja yang nilainya tidak lebih baik daripada saat ini,” kata Alin Kosasih selaku Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Aneka Industri Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PC SPAI-FSPMI) Purwakarta kepada Media Perdjoeangan.

Perlindungan hukum bagi pekerja atau buruh melalui Undang-undang untuk kepastian hidup layak dan sejahtera semakin tidak jelas bila RUU tersebut memang hanya diciptakan untuk kepentingan kaum oligarki.

Padahal seharusnya pemerintah dalam hal ini, harus mampu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sesuai pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945, dan berbunyi bahwa; ” Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Pos terkait