Tagihan Minimal Listrik PLN Rugikan Masyarakat dan Pekerja, Begini Polanya

Bekasi, KPonline – Masalah shock billing atau tagihan listrik yang mengejutkan karena tiba-tiba menjadi besar sebenarnya sudah pernah terjadi sejak dulu. Namun semenjak diberlakukannya Pembatasaan Sosial Berskala Besar (PSBB) barulah kasus ini menjadi besar dan viral karena diuangkap oleh netizen di berbagai media sosial.

PSBB yang diberlakukan pemerintah pusat untuk memutus penyebaran pandemik Covid19 menyebabkan banyak aktivitas masyarakat yang terhenti termasuk aktivitas pekerja pencatat meter PLN. Sementara PLN selalu melakukan pembelaan dengan berdalih bahwa pemakaian masyarakat lah yang menyebabkan tagihan menjadi besar karena masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah. Selain itu pihak pekerja sebagai pencatat meter juga menjadi kambing hitam karena kesalahan mencatat.

Padahal kebijakan PLN dalam menentukan tagihan minimal menjadi penyebab shock billing. Tagihan minimal yang dilakukan PLN adalah pelanggan harus membayar listrik pasca bayar sebanyak 40 jam nyala. Kebijakan ini diterapkan bila pemakaian pelanggan mulai nol kWh sampai 40 jam nyala yang dikonversi menjadi nilai kWh sesuai dengan tarif daya.

Berdasarkan informasi yang dari pekerja PLN bahwa jika rumah yang dianggap kosong atau rumah yang meteran listriknya tidak terjangkau untuk dicacat stand meternya maka pelanggan tetap harus membayar sebanyak 40 jam nyala sesuai daya kontraknya. Contoh jika rumah yang dianggap kosong dengan daya R1 900VA selama 40 jam nyala adalah (900VA : 1000) x 40 jam = 36 kWh maka penghitungannya adalah 36 kWh x RP. 1.352/kWh = Rp. 48.672,-. Jadi masyarakat dengan tarif daya R1 900VA wajib membayar listrik sebesar Rp. 48.672, ini belum termasuk biaya untuk penerangan jalan umum dan biaya admin untuk operator loket pembayaran listrik yang nilainya bisa berbeda-beda.

Contoh lain untuk tarif daya R1 1300VA yaitu (1300VA : 1000) x 40 jam = 52 kWh. Lalu penghitungannya adalah 52kWh x RP. 1.467,28/kWh = Rp. 76.298,-. Sementara untuk tarif daya 2200VA yaitu (2200VA : 1000) x 40 jam = 88 kWh. Jadi penghitungannya adalah 88 kWh x RP. 1.467/kWh = Rp. 129.120,64,-. Penghitungan tersebut belum termasuk termasuk biaya untuk penerangan jalan umum dan biaya admin untuk operator loket pembayaran listrik.

Sempat muncul juga di channel youtube video seorang tukang tambal ban bernama Gultom yang biasanya bayar listrik hanya 60 ribu perbulan tiba-tiba menjadi 300 ribu rupiah. Gultom merasa adanya ketidakwajaran karena besarnya 5 kali lipat dari biasanya. “Tagihan segitu tidak masuk akal padahal saya Cuma pakai 3 lampu, tidak masuk akal…”. ungkap Gultom. Pasalnya selama pandemic Covid19 dia selalu menutup usahanya lebih awal.

Melalui akun media sosial Gultom mengadukan masalah yang dia alami dan mendapat respon PLN melalui pesan langsung. Namun sepertinya Gultom tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena dia tetap harus membayar tagihan yang ada.

Tidak Puas, Gultom mendatangi kantor PLN Cikarang Kota dan harus mengorbankan waktu serta meninggalkan usahanya berharap mendapatkan keadilan. Tidak sia-sia seperti yang ditayang dalam video tersebut akhirnya Gultom hanya dikenakan biaya pemakaian minimal saja sebesar 48 ribu rupiah.

Tim Media Perdjoeangan Bekasi mencari informasi dari pelanggan yang mengalami kasus seperti ini. Seorang pelanggan PLN Tambun bernama Ibu Gilang, tagihannya tiba-tiba membengkak pada bulan Juni 2020 sedangkan pada bulan-bulan sebelumnya pelanggan membayar listrik tidak pernah sampai 150 ribu rupiah selama 6 bulan berturut-turut dengan besaran tagihan yang sama persis.

Lalu pelanggan bersama Tim dari MP Bekasi mencoba menelusuri sampai ke kantor PLN Tambun. Akhirnya terbuka lah bagaimana shock billing terjadi karena pemakaian yang dianggap 0 kwh sedangkan yang ditagihkan senilai 88 kWh atau senilai Rp. 129.124,64. Selama 6 bulan sebelumnya didapatkan informasi bahwa pagar rumah terkunci sehingga petugas tidak dapat mencatat standa meter yang ada. Sedangkan menurut penghuni rumah, rumah tersebut berpenghuni dan ada pemakaian listrik setiap harinya.

Kerugian pelanggan adalah tagihan yang muncul dengan stand meter riil yang terbaca pada bulan juni dihitung sejak stand terakhir 6 bulan lalu di bulan Desember 2019. Artinya besaran rupiah senilai 88 kWh sudah dibayar selama 6 bulan namun di sistem PLN tanpa ada perubahan/pertambahan stand meter alias nol. Berarti pelanggan membayar kembali nilai rupiah tagihan selama 6 bulan sebelumnya juga.

Masalah yang dialami seperti Gultom dan ibu Gilang sangat mungkin terjadi pada siapa saja. Apalagi jika sasaran kesalahan dialami oleh masyarakat yang rumahnya terpaksa harus kosong atau sering ditinggalkan untuk bekerja tanpa penghuni seperti para pekerja pabrik atau PNS sekalipun.

PLN seharusnya bisa mencegah masalah seperti ini muncul dengan merubah pola kerjanya yang berintegritas. Dan sebagai wujud Integritas Layanan Publik, PLN tidak perlu harus menunggu pelanggan datang ke kantor untuk melakukan komplain. Selain itu PLN juga perlu mengembalikan uang masyarakat yang mengalami masalah yang sama namun tidak mendapatkan solusi yang sama seperti Gultom dan Ibu Gilang.

Penulis : Chandra
Foto : Dok. PLN