Bekasi, KPonline – Buruh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Bekasi kembali menyambangi perusahaan Yamaha Music Manufacturing Asia, aksi ini merupakan buntut dari dugaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap Ketua dan Sekretaris Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (PUK SPEE) FSPMI PT. Yamaha Music Manufacturing Asia beberapa bulan lalu.
Ada beberapa tuntutan yang mereka suarakan pada Senin (23/6) ini. Salah satunya adalah ‘Cabut Surat Peringatan (SP)’.
Surat Peringatan (SP) dalam dunia ketenagakerjaan pada dasarnya adalah instrumen pembinaan. Tapi kini, di sejumlah tempat kerja, SP menjelma menjadi alat represi. Semakin banyak kasus dimana pekerja aktif serikat menerima SP bukan karena indisipliner, melainkan karena menjalankan haknya untuk berserikat.
Sebut saja A, yang merupakan anggota Serikat Pekerja di perusahaan tersebut, menerima SP dan mengarah kepada pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan alasan yang tidak jelas, (tidak sesuai bagaimana SP itu dibuat sebagaimana mestinya). “SP ini adalah upaya intimidasi. Setiap kali kami minta kenaikan upah, pasti ada SP yang turun. Ini sudah pola,” kata A saat ditemui tim redaksi.
#SP Sebagai Alat Bungkam
Komnas HAM, dalam laporan tahunannya pada April 2025, menyebut bahwa penyalahgunaan SP menjadi modus pelanggaran kebebasan berserikat terbesar ketiga setelah intimidasi dan PHK sepihak. Komisioner Sandrayati Moniaga menyatakan:
“Kami mencatat bahwa SP sering digunakan untuk mengawali kriminalisasi terhadap pengurus serikat. Dari SP, lalu dibangun rekayasa pelanggaran, hingga akhirnya diproses pemutusan hubungan kerja”
#Telaah Hukum: UU Tidak Membenarkan SP untuk Aktivitas Serikat
Pasal 28 dan 29 UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja secara tegas melarang setiap bentuk larangan, hambatan, atau intervensi dalam kegiatan serikat. Pasal 43 menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dapat dipidana dengan kurungan hingga satu tahun atau denda hingga Rp 100 juta.
Bahkan dalam Konvensi ILO Nomor 87, yang sudah diratifikasi Indonesia lewat Keppres Nomor 83 Tahun 1998, disebutkan bahwa pekerja berhak melakukan kegiatan organisasi tanpa takut pembalasan atau tekanan.
Namun menurut Hermawan Siregar, pengacara buruh dari LBH Jakarta mengatakan bahwa masalahnya, tidak ada mekanisme tegas yang mengatur bagaimana memverifikasi SP itu sah atau tidak. Perusahaan hanya tinggal membuat notulensi sepihak, lalu SP dijatuhkan. Pekerja tidak diberi ruang banding kecuali menempuh jalur PHI yang memakan waktu dan biaya.
Dalam catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sejak 2023 hingga saat ini ada lebih banyak kasus PHK yang didahului dengan SP terhadap aktivis serikat, mayoritas terjadi di sektor tekstil dan manufaktur.
#Reaksi Pemerintah: Masih Lemah dan Minim Penegakan
Kementerian Ketenagakerjaan hingga kini belum menunjukkan sikap tegas dalam menyikapi praktik penyalahgunaan SP ini. Dalam beberapa kali pernyataan, Mereka hanya menyebut pentingnya dialog sosial.
Namun dilapangan, pekerja menghadapi tembok birokrasi. Mediasi berlarut-larut, dan sering kali justru menekan pekerja untuk “damai” dengan catatan mencabut laporan atau mengundurkan diri dari serikat.
#Apa yang Harus Dilakukan?
Organisasi buruh mendorong tiga langkah konkret:
Pertama, Regulasi turunan yang mempertegas batasan SP, termasuk kewajiban mencantumkan bukti, ruang banding internal, dan larangan eksplisit bagi SP atas kegiatan serikat.
Kedua, Pengawasan ketenagakerjaan yang proaktif, Pemerintah diminta aktif turun ke lapangan bila ada aduan SP yang dipakai menekan aktivis.
Ketiga, Solidaritas antar serikat, Banyak serikat lokal yang lemah secara struktural dan mudah ditekan. Dukungan konfederasi menjadi kunci agar tidak ada aktivis yang berjuang sendirian.
#SP untuk Siapa? Tanya Hati Nurani
Surat Peringatan bukanlah alat untuk membungkam suara buruh. Ketika SP diberikan bukan karena indisipliner, tapi karena menyuarakan keadilan, maka ia bukan lagi surat pembinaan, melainkan surat ketakutan.
Dalam hubungan industrial yang sehat, perbedaan pendapat dan kritik dari pekerja bukan sesuatu yang harus ditumpas, tapi dirangkul. Karena dari sanalah keseimbangan dunia kerja dibangun.
“Buruh yang bersuara adalah cermin perusahaan yang hidup. Bila suara itu dibungkam dengan SP, berarti yang mati bukan hanya suara, tapi nurani”