Sisi gelap regulasi BPJS. TKA Sengaja “diselundupkan”? Jamkeswatch Menggugat!

Mojokerto, KPonline — Jamkeswatch sebagai tim pemantau BPJS, tidak henti-hentinya melakukan kritisi dan koreksi, terhadap segala kebijakan dan regulasi yang lahir dalam jaminan sosial. Mulai dari aturan pokok Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hingga peraturan turunannya.

Setelah sebelumnya mengkritisi Peraturan Menteri Kesehatan No.51 tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program JKN, yang menjadi polemik di dunia kesehatan.

Bacaan Lainnya

Kali ini Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan No. 6 tahun 2018 tentang Administrasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan tidak luput dari sasaran kritik Jamkeswatch. Kritik yang membangun tentunya.

Salah satu kritikan tajam dalam sisi “gelap” regulasi BPJS oleh Jamkeswatch, adalah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam program JKN yang disebutkan pada pasal 5 ayat (1) aturan itu, yang berbunyi, “Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) termasuk WARGA NEGARA ASING yang BEKERJA di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan dan ANGGOTA KELUARGANYA sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri atas :
a. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri; dan
b. pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima gaji atau upah.”

Jamkeswatch menilai kebijakan tersebut adalah upaya penyelundupan dan penyelewengan undang-undang, bentuk ketidak berdayaan atau gagal pahamnya direksi BPJS Kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional.

Ulasan lebih lanjut Jamkeswatch mengenai TKA dalam aturan BPJS itu adalah sebagai berikut :
1. Menjadikan TKA sebagai peserta PBPU adalah kebijakan ngawur. TKA adalah jelas-jelas pekerja yang menerima upah dari Badan Usaha pengguna TKA, bukan pekerja mandiri dan bukan pula termasuk warga negara Indonesia.

Dengan TKA termasuk PBPU dan bisa menambahkan anggota keluarganya seperti peserta PBPU lainnya, seakan memberi peluang masuknya TKA berbondong-bondong ke Indonesia dan sudah dianggap setara dengan warga negara biasa. Sejak kapan TKA bisa diberi ruang mengajak kemudian mendaftarkan keluarganya dalam program pemerintah?

Ini ancaman yang sangat berbahaya, Pemerintah terindikasi telah tunduk pada kekuatan asing, kekuatan pemodal atas nama investasi. Ada kecenderungan TKA dalam Jaminan Sosial dipengaruhi oleh Peraturan Presiden No. 20/2018 tentang penggunaan TKA yang ditandatangani Presiden. Kebijakan yang sangat mencederai kedaulatan bangsa dan meminggirkan hak warga negara.

2. Dengan memasukkan TKA dalam peserta PBPU, artinya negara berpotensi kehilangan pendapatan dan kewenangannya, dalam melakukan pemungutan iuran serta pengawasan TKA dalam jaminan sosial. Bahkan konyolnya lagi, kehilangan kontrol semua aspek regulasi dalam sistem ketenagakerjaan dan tata kelola dunia usaha.

Tidak hanya menyangkut soal upahnya yang sengaja disembunyikan, namun juga lama kontrak kerja dan domisili perusahaan penggunanya, semakin tidak jelas dan tidak terdeteksi.

3. Iuran Jaminan Sosial TKA yang seharusnya dipungut sebesar 1% dari upah yang diterima TKA. Nyatanya mereka malah diberi kelonggaran, dengan hanya ditarik iuran seperti halnya peserta biasa yaitu kelas 1, kelas 2 atau kelas 3. Bandingkan perlakuan ini dengan PPU dari pekerja Indonesia sendiri.

TKA yang dikabarkan mendapatkan upah besar, tentu dengan membayar 1% iuran dari upahnya, dapatlah kiranya menambah pemasukan ditengah defisit BPJS. Bukan malah dijadikan peserta PBPU, sungguh diluar logika.

4. Dengan tidak menjadikan TKA menjadi peserta PPU, BPJS sebagai institusi pemerintah tidak punya data dan daya untuk memaksa TKA, melaporkan masa kerjanya ataupun lokasi pekerjaannya. Mereka bisa seenaknya menggunakan kartu jaminan sosial, karena mereka diselundupkan diantara warga negara dan tidak jelas statusnya.

5. Dengan TKA tidak termasuk PPU maka itu adalah karpet merah bagi Badan Usaha (BU) pengguna TKA, mereka tidak perlu membayar 4% dari kewajibannya, serta tidak perlu repot-repot mengurus atau melaporkan penggunaan TKA, ijin kontrak kerja, upah bahkan lokasi kerjanya.

BU yang telah mendaftarkan TKA nya ke peserta PBPU juga lolos dari jeratan sanksi. Cuma dengan membayar iuran kelas 1 atau bahkan cukup kelas 3 saja, yang iurannya hanya sebesar 25.000, mereka sudah gugur kewajiban. Parahnya, seperti diketahui bersama pengenaan sanksi melalui PP No.86/2013 juga tidak jelas eksekusinya.

6. Tidak masuknya TKA dalam PPU akan menjadikan kekisruhan dalam sistem jaminan sosial dan menyebabkan pertentangan besar. Sebab pada saudara tua BPJS Kesehatan, yaitu BPJS Ketenagakerjaan, jelas diatur bahwa TKA termasuk peserta penerima upah, yang ditarik iuran 1% dari upahnya. Adapun peserta Bukan Penerima Upah hanya untuk Pemberi Kerja atau investor saja. Apakah BPJS Ketenagakerjaan juga dipaksa akan mengikuti mekanisme TKA adalah PBPU? Jelas akan ada pertentangan.

Maka dari itu, Jamkeswatch meminta kepada seluruh pemangku kepentingan, pemantau independen dan seluruh masyarakat Indonesia, untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan jaminan sosial.

Karena dengan begitu, program-program yang bermanfaat dalam jaminan sosial tidak menjadi salah sasaran dan dicurangi pelaksanaannya oleh kepentingan tertentu atau politisasi sebagian golongan.

BPJS selaku penyelenggara, diharapkan mendengar masukan dan mengajak masyarakat mengambil peran aktif, serta selekas mungkin melakukan perbaikan apabila memang ada kekurangan atau kesalahan.

Sesuai amanah konstitusi, Sistem Jaminan Sosial adalah hak warga negara, harus dijauhkan dari penyelewengan, pencitraan, penjegalan maupun pemanfaatan diluar dari falsafah dan tujuan jaminan sosial.

Salam kawal BPJS
Salam sehat hak rakyat
Salam sejahtera hak pekerja

Ipang Sugiasmoro
Pengurus Jamkeswatch Jawa Timur

Pos terkait