Sidang Kedua Uji Formil UU Cipta Kerja, FSPMI Perbaiki Permohonan

Jakarta,KPonline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Permohonan diajukan Riden Hatam Aziz (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia/FSPMI/Pemohon I), Suparno (Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kabupaten/Kota Bekasi/Pemohon II), Fathan Almadani (Pekerja Kontrak PT Indonesi Epson Industry Cikarang/Pemohon III), dan Yanto Sulistianto (Karyawan Tetap PT Mahiza Karya Mandiri Tangerang/Pemohon IV). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 6/PUU-XIXI/2021 ini digelar di MK pada Selasa (4/5/2021).

Said Salahudin selaku kuasa hukum para Pemohon, dalam sidang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini menyampaikan hal-hal yang disempurnakan dari permohonannya. Salah satunya kedudukan hukum Pemohon I atas nama Riden Hatam Aziz. Semula pada permohonan dan sidang pendahuluan disebutkan bahwa Pemohon I merupakan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Akan tetapi, sambung Said, pada sidang kedua ini telah terjadi perubahan karena hasil dari kongres.

Bacaan Lainnya

“Sehingga pada permohonan perbaikan ini, Pemohon I berkedudukan sebagai Presiden FSPMI. Dan untuk surat resminya akan kami sampaikan dan lampirkan menjadi alat bukti yang disertakan dalam perbaikan permohonan,” sampai Said yang menghadiri sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra didampingi dua anggota yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Berikutnya para Pemohon juga memuat perbaikan dengan menambahkan syarat kepentingan dengan undang-undang yang dimohonkan sehingga terjadi perubahan pada teknis halaman. Pada sidang terdahulu, para Pemohon menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja pada tahap penyusunan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Seharusnya, dalam teknik penyusunan norma harus memenuhi persyaratan teknis dan sistematika penyusunan sebagaimana termuat dalam ketentuan Penjelasan Pasal 5 Huruf f Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Pada intinya, harus terdapat asas kejelasan rumusan mulai dari pilihan kata, istilah, dan bahasa hukum dalam menentukan penyusunan undang-undang, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Selain itu, para Pemohon juga menlai pembentukan norma a quo harus pulalah bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang luas untuk memberikan masukan dalam pembentukan suatu norma undang-undang. Sementara, dalam pembentukan norma a quo Pemerintah tidak bersedia membuka akses dalam rancangannya kepada publik. Pemerintah bersikap sangat tertutup dan menjadikan Naskah Akademik serta RUU Cipta Kerja sebagai dokumen rahasia yang harus dijauhkan dari jangkauan publik. Akibatnya, masyarakat mengalami pembatasan untuk mengakses RUU Cipta Kerja dan memberikan masukan kepada pemerintah.(mk)

Pos terkait