Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Sebut Banyak PHK Akibat INA CBGs

Jakarta, KPonline – Sistem INA CBGs yang dalam penerapan tarifnya tidak dilihat dari upah minimum daerah, menyebabkan banyak rumah sakit yang kesulitan membayar biaya pekerja. Akibatnya, banyak pekerja rumah sakit yang sulit mendapatkan upah layak dan bahkan di kehilangan pekerjaan (PHK).

Demikian disampaikan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES/R), Idris Idham, di Jakarta, Rabu (11/10/2017).

Idris mencontohkan, pasien diagnosa thypoid di klaim oleh BPJS Kesehatan dengan sistem tersebut sebesat 3 juta.

“Nah baik itu di Aceh, Jakarta, Jawa Tengah dan lainnya di klaim sama oleh BPJS. Padahal di Jakarta upah minimum 3,3 juta. Sedangkan di Jawa Tengah upah minimumnya 1,5 juta,” kata Idris. Akibatnya, daerah-daerah yang UMP nya masih kecil ipengusahanya meraup untung besar. Tetapi di Jabodetabek rumah sakit kesulitan yang berdampak kepada pekerja di rumah sakit yaitu negosiasi upah yang yang sulit dan banyaknya tenaga kerja yang di PHK kemudian diganti outsourcing agar bisa dibayar murah.

“Ini benar – benar sistem yang gila dan tidak manusiawi,” sesal Idris Idham.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menuntut agar sistem INA CBGs dicabut dan diganti dengan fee for service. Sebabnya adalah, sistem kapitasi terlalu murah sehingga menyebabkan penurunan kualitas pelayanan klinik dan rumah sakit.

INA CBGs mengatur harga obat yang harus diberikan kepada pasien BPJS Kesehatan berdasarkan formularium yaitu suatu sistem penyediaan obat-obatan nasional yang akan dipakai dalam BPJS Kesehatan. Tim formularium mewajibkan obat generic dalam seluruh layanan BPJS Kesehatan. Kewajiban ini didasari alasan minimnya anggaran dalam paket diagnosis.

Penggunaan obat generic secara massive di tingkat nasional memberi dampak langsung terhadap produsen obat patent. Untuk dapat bergabung dalam obat BPJS Kesehatan produk patent harus memberi diskon hingg sebesar 70% dari harga normal.

Parahnya, pemberian diskon tidak lantas memastikan obat patent tersebut semerta-merta digunakan oleh Rumah Sakit Pemerintah maupun Swasta. Apalagi beberapa rumah sakit telah melakukan kontrak dengan perusahaan farmasi tertentu yang berani memberi diskon di awal kontrak. Selain itu beberapa rumah sakit merupakan bagian dari grup holding yang telah memiliki afiliasi farmasi tersendiri.

Tertutupnya ruang gerak bagi produsen obat paten memberi dampak yang tidak kita harapkan. Efisiensi menjadi senjata andalan saat bisnis perusahaan farmasi sedang tidak stabil.

FSP FARKES/R yang berafiliasi dengan KSPI juga mengatakan bahwa saat ini banyak industri rumah sakit dan farmasi yang menerapkan outsourcing.

Hal ini sebabnya adalah, asosiasi pengusaha dari industri farmasi dan rumah sakit membuat suatu aturan tersendiri tentang  pekerjaan cor bisnis dan non cor bisinis.

“Asosiasi rumah sakit menganggap pekerjaan cor bisnis itu hanya dokter, bidan, dan perawat. Kemudian asosiasi farmasi menganggap yang termasuk cor bisnis dari input-proses-output adalah yang ada di prosesnya dengan kata lain bagian pengepakan bukan cor bisnis”, ungkap ketua umum Idris Idham.

Padahal, tegas Idris, rumah sakit ataupun di industri farmasi adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus (cor bisnis) karena saling terintegrasi dan tidak bisa di kontrak ataupun di outsourcingkan.