Sejarah Tidak Berpihak pada Mereka Yang Mudah Lelah

Sejarah Tidak Berpihak pada Mereka Yang Mudah Lelah

Hujan turun sejak dini hari. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat jalanan tanah di desa Leran menjadi lumpur yang menahan kaki siapa pun yang berniat melangkah. Di balik jendela rumah kayu yang sudah rapuh, Surya duduk memandangi langit kelabu, sambil menyalakan sebatang rokok yang tinggal separuh.
“Masih mau terus?” tanya ibunya, suaranya pelan seperti angin yang menyelinap lewat celah dinding. Pertanyaan itu bukan pertanda lelah, hanya keikhlasan yang perlahan tumbuh setelah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian.

Surya tidak menjawab. Ia hanya menatap sebuah map lusuh di pangkuannya, dokumen tanah warisan kakeknya yang telah berganti nama di atas kertas, bukan karena dijual, tetapi karena dipaksa. Di atasnya, cap merah perusahaan tambang mengukuhkan kemenangan mereka yang tak pernah berhenti membayar, menggertak, dan menulis ulang peta.

#Jejak yang Terhapus Diam-Diam

Kisah ini bukan hanya tentang Surya. Ia hanyalah satu dari banyak wajah yang pernah berteriak di jalanan kota, mengangkat spanduk dengan huruf-huruf besar yang kini lusuh dan dilupakan. Dahulu mereka disebut “pengganggu pembangunan”. Kini, mereka tidak disebut sama sekali.

Rini, rekan perjuangan Surya, dulu orator paling nyaring di depan gedung DPRD, kini bekerja di warung kopi, mengaduk gelas tanpa gairah. “Capek, Sur,” katanya ketika Surya datang suatu malam. “Hidup nggak bisa ditawar cuma pakai idealisme”

Pak Yono yang dulu sering duduk bersila di tengah aksi mogok makan, kini terbaring di dipan kayu, paru-parunya dipenuhi debu tambang. “Dulu saya pikir diam itu dosa,” katanya terbatuk. “Tapi ternyata bicara pun tak menyelamatkan siapa-siapa”

#Mereka yang Bertahan di Pinggir Waktu

Namun Surya tetap datang setiap Jumat ke balai desa, menghadiri rapat kecil yang kini hanya dihadiri empat orang. Mereka tidak lagi berbicara dengan megafon, tidak lagi membawa poster. Mereka berbicara dengan peta, dengan data debit air sungai yang menyusut, dengan laporan warga yang batuk terus-menerus karena udara tak lagi bersih.

“Berapa lama lagi, Sur?” tanya Darto, pemuda yang baru bergabung. “Kalau pun kita menang, orang-orang tidak akan tahu kita pernah berjuang”

Surya menatap pemuda itu. “Bukan supaya orang tahu. Tapi supaya bumi ini tahu, kita tidak tinggal diam”

Di kota, sebuah rapat besar digelar. Para pejabat duduk di kursi empuk, membahas percepatan investasi, menyusun strategi pembangunan jangka panjang. Nama Leran hanya muncul sekali, dalam kalimat yang disampaikan sambil lalu: “Sektor tambang di kawasan utara menunjukkan potensi tinggi dengan risiko sosial yang telah diminimalkan”

Minimalkan. Satu kata itu cukup untuk menenggelamkan suara puluhan keluarga yang dipindah paksa, suara anak-anak yang tak lagi bisa bermain di sungai karena airnya berubah hitam.

#Sejarah Tidak Mengenal Orang Lelah

Sejarah bukanlah catatan harian mereka yang menyerah di tengah jalan. Ia disusun dari langkah-langkah yang tetap dipaksakan meski lutut berdarah. Ia mencintai mereka yang dikhianati berkali-kali namun tetap memilih berkata “tidak”. Mereka yang tahu bahwa kemenangan tidak selalu tampak seperti sorak-sorai di televisi, melainkan seperti satu pohon yang tidak jadi ditebang. Seperti sungai kecil yang airnya mulai bening kembali.

Di sudut kamar, Surya menyimpan satu lencana logam kecil dari organisasi lingkungan yang tak pernah dikenal luas. Itu bukan medali kemenangan. Itu hanya tanda bahwa ia pernah berdiri, ketika yang lain memilih duduk.

Lima tahun dari hari itu, mungkin tidak ada yang ingat siapa Surya. Namanya tidak akan masuk buku pelajaran. Wajahnya tidak akan terpampang di baliho Hari Lingkungan Hidup. Tapi sejarah akan mengenalnya. Bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai saksi bahwa dunia pernah diancam oleh kelelahan, dan masih ada yang memilih terus berjalan.

Dan kelak, ketika tanah Leran tak lagi bergetar oleh ledakan dinamit, ketika hutan kecil di belakang rumah kembali dihuni burung-burung, sejarah akan menyelipkan satu baris sunyi: “Di tempat ini, seseorang menolak menyerah”