Presiden dari Pabrik: Kisah Nyata Tentang Harapan, Skandal, dan Kemenangan

Presiden dari Pabrik: Kisah Nyata Tentang Harapan, Skandal, dan Kemenangan

Oleh: Lestareno

Di sudut kota Sao Bernardo do Campo, Brasil, pada suatu sore di awal 1970-an, suara palu dan dentingan logam bergema dari pabrik baja yang berasap. Di antara ratusan buruh yang membungkuk di atas mesin, ada satu pria muda dengan jari kelingking yang hilang, tatapan keras, dan semangat yang tak bisa dipadamkan. Namanya: Luiz Inacio Lula da Silva, yang kelak dunia kenal sebagai Presiden Brasil tiga periode dan simbol harapan rakyat kecil.

Lula bukan pemimpin yang dilahirkan oleh elite. Ia adalah anak dari kemiskinan, dari jalanan berdebu di timur laut Brasil, dan dari keringat buruh yang tak pernah diperhitungkan dalam kalkulasi kekuasaan. Ia dibesarkan oleh ibunya yang buta huruf namun berkemauan baja, dan mengenal kelaparan lebih dulu daripada sekolah. Pendidikan formalnya terhenti di usia 12 tahun. Tapi pendidikan sejatinya dimulai justru di tempat yang paling keras, yaitu pabrik.

Di pabrik logam itulah Lula mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya kehilangan jari kelingking. Tapi kehilangan itu justru menjadi simbol perjuangan yang akan terus ia bawa dan bukti bahwa ia benar-benar berasal dari dunia yang selama ini dilupakan oleh politik.

Pada akhir dekade 1970-an, saat Brasil masih berada di bawah kediktatoran militer, Lula bangkit sebagai pemimpin serikat buruh. Ia memimpin pemogokan besar-besaran. Menentang ketidakadilan, menolak diam di tengah represi. Ketika ia ditangkap, banyak buruh berdiri di belakangnya. Ketika ia dibebaskan, mereka mengangkatnya sebagai suara mereka.

#Dari gerakan ke partai

Lula tahu bahwa perjuangan tak bisa hanya berlangsung di jalanan. Pada 1980, ia ikut mendirikan Partido dos Trabalhadores (Partai Buruh), partai politik yang lahir dari rahim perjuangan kelas pekerja. Partai ini bukan sekadar kendaraan politik, tapi simbol perlawanan terhadap sistem yang selama puluhan tahun hanya melayani segelintir orang kaya.

Namun jalan menuju istana bukanlah jalan lurus. Tiga kali Lula mencalonkan diri sebagai presiden, dan tiga kali ia kalah. Banyak yang menyuruhnya menyerah. Tapi Lula tahu, sejarah tidak berpihak pada mereka yang mudah lelah.

Pada 2002, setelah dua dekade perjuangan dan pengorbanan, Lula akhirnya menang. Dunia menyaksikan dengan haru saat ia dilantik pada 1 Januari 2003. Seorang mantan buruh, tanpa gelar akademik, duduk di kursi yang selama ini hanya dihuni oleh teknokrat dan politisi elite.

Satu jari hilang, jutaan harapan tumbuh
Masa kepemimpinan Lula dikenal luas dengan keberhasilan mengangkat lebih dari 20 juta orang keluar dari kemiskinan. Program Bolsa Familia dan Fome Zero menjadi model kebijakan sosial yang ditiru negara-negara lain. Brasil berubah dan tidak hanya secara ekonomi, tapi juga dalam cara rakyatnya memandang diri mereka sendiri.

Namun tak semua perjalanan menuju keadilan bebas dari badai. Setelah masa jabatannya berakhir, Lula terseret dalam pusaran skandal Lava Jato, operasi antikorupsi terbesar di Amerika Latin. Ia dijatuhi hukuman penjara pada 2017, meski kemudian Mahkamah Agung membatalkan vonis tersebut karena cacat prosedur hukum. Banyak pihak, termasuk media internasional dan PBB, menilai proses hukumnya sarat kepentingan politik.

Tapi seperti dalam hidupnya yang penuh tikungan, Lula tak pernah hilang dari panggung. Pada 2022, ia kembali mencalonkan diri dan mengalahkan Jair Bolsonaro dalam pemilu paling polaristik dalam sejarah Brasil. Ia kembali menjadi presiden, dimana kali ini sebagai simbol perlawanan terhadap populisme sayap kanan dan kembalinya semangat solidaritas.

#Lebih dari sekadar kemenangan politik

Lula bukan hanya presiden. Ia adalah simbol bahwa perubahan sejati tidak selalu datang dari atas. Bahwa mereka yang berasal dari bawah, dari lumpur dan peluh, punya hak, bahkan tanggung jawab untuk memimpin.

Di usia 79 tahun, Lula kini menghadapi tantangan baru: memulihkan demokrasi, mempersatukan negara yang terpecah, dan membuktikan bahwa politik bisa menjadi alat untuk merawat martabat manusia.

Dari seorang bocah yang tidur di lantai tanah bersama tujuh saudara, hingga menjadi tokoh dunia yang berdialog dengan presiden Amerika dan pemimpin G7, Lula telah membuktikan satu hal: bahwa masa lalu tidak menentukan siapa kita, tetapi bagaimana kita memilih untuk bangkit dari masa lalu itulah yang menentukan masa depan kita.